HomeHeadlineIran vs Israel, PD III Sudah Dimulai?

Iran vs Israel, PD III Sudah Dimulai?

Dengarkan artikel berikut

Ketakutan akan Perang Dunia III mencuat bersamaan dengan serangan yang dilakukan Iran ke Israel. Mungkinkah kita sudah berada di awal Perang Dunia III?


PinterPolitik.com

Di tengah waktu yang seharusnya menjadi periode masa damai karena perayaan Hari Lebaran Idul Fitri 1445 H, dunia dihebohkan oleh kabar tentang serangan yang dilakukan Pasukan Garda Revolusi Iran (IRGC) kepada Israel. Ya, pada tanggal 14 April 2024 ini militer Iran diketahui meluncurkan ratusan drone dan rudal langsung ke pangkalan-pangkalan militer di perbatasan Israel.

Sontak, respons orang-orang terhadap serangan ini langsung tertuju kepada potensi meletusnya Perang Dunia III. Hal ini dikarenakan tidak hanya dengan adanya potensi penggunaan senjata nuklir oleh Iran dan Israel, tetapi juga kemungkinan keterlibatan Amerika Serikat (AS) sebagai salah satu sekutu paling setia Israel.

Di platform media sosial X, isu Perang Dunia Ketiga bahkan menjadi trending topic dengan cuitan melebihi 150 ribu post per pukul 10 pagi 14 April 2024. Ya, untuk pertama kalinya dalam tahun 2024 semua orang sepertinya merasakan ketakutan yang sama, yakni akan meletusnya sebuah pertempuran besar di mana banyak nyawa manusia akan jadi korbannya.

Namun, tentu pertanyaan besarnya adalah, apakah kita sudah memasuki fase awal dari sesuatu yang disebut sebagai “Perang Dunia Ketiga”? Mungkinkah ketakutan yang muncul bisa dijustifikasi atau semua ini hanyalah hiperbola?

image 2

Perang Dunia Tak Punya Pengumuman

Perang Dunia Ketiga, sebagai sebuah konsep, mungkin terkadang terasa seperti sesuatu yang jauh dari kenyataan. Namun, teori “boiling frog syndrome” atau sindrom katak mendidih mampu memberikan pandangan yang menarik tentang bagaimana perang besar bisa dimulai tanpa kita sadari, bahkan dengan munculnya konflik kecil seperti serangan Iran terhadap Israel yang baru saja terjadi.

Boiling frog syndrome merujuk pada sebuah perumpamaan tentang seekor katak yang dimasukkan ke dalam panci air yang hangat, kemudian suhu air dinaikkan secara perlahan-lahan. Secara alamiah, seekor katak tidak akan menyadari perubahan suhu yang terjadi secara gradual, dan akhirnya mati karena direbus hidup-hidup. Berbeda bila suhu tersebut dinaikkan secara drastis di mana si katak sudah pasti akan langsung melompat dari pancinya.

Baca juga :  Menguji "Otot Politik" Andika Perkasa

Dalam konteks konflik dan perang, perumpaan ini menggambarkan bagaimana kita dapat terbiasa dengan konflik-konflik kecil atau agresi militer yang terjadi di berbagai belahan dunia, tanpa menyadari bahwa kita mungkin sudah berada di ambang sebuah perang besar.

Serangan Iran terhadap Israel besar kemungkinannya adlaah salah satu contoh dari “boiling frog syndrome” dalam konteks geopolitik. Meskipun terjadi sebagai insiden tunggal, dampaknya bisa jadi memicu reaksi berantai yang melibatkan kekuatan besar lainnya di kawasan tersebut. AS, dengan keterlibatan dan keterikatannya pada keamanan Israel, mungkin akan merespons secara agresif terhadap serangan tersebut. Hal ini mulai dibuktikan ketika AS tiba-tiba menyerang kelompok Houthi di Yaman pada tahun lalu, sebuah kelompok yang kerap dianggap sebagai “proksi” dari Iran.

Kita pun tidak boleh melupakan bahwa serangan Iran ke Israel hanya menambah tumpukkan masalah geopolitik yang dalam tiga tahun terakhir cukup merepotkan dunia, tentunya, kita bicara tentang Perang Rusia-Ukraina yang belum usai hingga sekarang, hingga perang antara Israel dan Palestina itu sendiri. Jika kita melihat perang-perang ini secara satu-satu, mungkin dampaknya tampak masih bisa teratasi, tapi jika mereka digabungkan, potensi kerusakannya terhadap stabilitas politik global bisa sangat fatal.

Terlebih lagi, perang-perang ini berada di tempat-tempat yang memiliki nilai strategis bagi beberapa negara di dunia. Perang antara Israel, Iran, dan Palestina di Timur Tengah bisa mengacaukan jalur perdagangan penting seperti Terusan Suez dan Selat Hormus, sementara perang di Ukraina bisa menyakiti sektor energi dan pangan negara-negara Barat.

Mirisnya, keadaan geopolitik yang demikian sebetulnya cukup memiliki kesamaan dengan keadaan yang membuat meletusnya Perang Dunia Pertama dulu.

image 1

Kondisi yang Berulang

Ketika kita merenungkan bagaimana Perang Dunia Pertama terjadi, kita dapat melihat bahwa banyak tanda-tanda awal konflik terabaikan atau diabaikan, mirip dengan apa yang diilustrasikan oleh teori “boiling frog syndrome“.

Baca juga :  Ridwan Kamil dan "Alibaba Way"

Konflik kecil antara negara-negara Eropa pada awal abad ke-20, seperti persaingan imperialisme, aliansi militer yang terbentuk, dan ketegangan nasionalistik, semuanya merupakan tanda-tanda potensi konflik yang lebih besar. Namun, pada saat itu, banyak pihak menganggap bahwa konflik-konflik tersebut bisa diredam atau diatasi tanpa perlu melibatkan seluruh dunia dalam perang yang menghancurkan.

Namun, seperti katak yang direbus secara perlahan, ketegangan antara negara-negara Eropa semakin meningkat tanpa disadari oleh banyak orang. Ketika peristiwa-peristiwa seperti pembunuhan Archduke Franz Ferdinand dari Austria-Hongaria dan perang-perang kecil yang terjadi di Semenanjung Balka dan Eropa Timur, reaksi yang berantai terjadi dengan cepat, mendorong negara-negara untuk terlibat dalam konflik yang meluas dan akhirnya memicu pecahnya Perang Dunia Pertama.

Kalau kita ingin sedikit kritis (dan cukup pesimis), perang-perang kecil yang terjadi di Timur Tengah bisa jadi adalah “Perang Balka” abad ke-21. Kita mungkin hanya membutuhkan sebuah peristiwa pemantik seperti pembunuhan Franz Ferdinand untuk membawa ketegangan geopolitik yang terjadi menjadi sebuah krisis global. Semoga saja, hal semacam itu tidak terjadi.

Maka dari itu, refleksi atas Perang Dunia Pertama mengingatkan kita akan pentingnya untuk tidak mengabaikan tanda-tanda awal dari konflik yang bisa berkembang menjadi sesuatu yang jauh lebih besar. Teori “boiling frog syndrome” menegaskan bahwa perubahan yang terjadi secara perlahan-lahan dapat menjadi sangat berbahaya jika tidak diakui atau diatasi dengan tepat waktu.

Dengan demikian, sebagai masyarakat global, kita perlu belajar dari sejarah dan memperhatikan dengan seksama potensi konflik yang muncul, bahkan jika mereka terlihat sebagai insiden kecil pada awalnya. Kita doakan saja para pemimpin dunia bisa tetap berpegang pada akal sehat mereka dan berusaha semampu mungkin mereda ketegangan yang terjadi. (D74)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Anies Di-summon PKS!

Ahmad Syaikhu in a battle against Dedi be like, “I summon Anies Baswedan!”  #Anies #AniesBaswedan #PilkadaJawaBarat #AhmadSyaikhu #IlhamHabibie #PKS #pinterpolitik #infografis #politikindonesia #beritapolitik #beritapolitikterkini

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

More Stories

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia?