HomeNalar PolitikAnies "Alat" PKS Kuasai Jakarta?

Anies “Alat” PKS Kuasai Jakarta?

Dengarkan Artikel Ini:

Audio ini dibuat menggunakan AI

Diusulkannya nama Anies Baswedan sebagai calon gubernur (cagub) DKI Jakarta oleh PKS memunculkan spekulasi jika calon presiden (capres) nomor urut satu ini hanya menjadi “alat” untuk PKS mendominasi Jakarta. Benarkah demikian?  


PinterPolitik.com 

Sosok Anies Baswedan berpeluang kembali maju dalam kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2024 mendatang. 

PKS sebagai parpol yang selama ini mendukungnya, baik dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, menyatakan siap untuk kembali mendukung Anies dalam Pilkada 2024. 

Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera bahkan menyatakan Anies berpeluang besar untuk menang jika maju di Pilkada DKI Jakarta 2024 ini. Klaim yang disampaikan oleh Mardani Ali Sera ini kiranya bukan tanpa alasan. 

Berdasarkan hasil penghitungan perolehan suara Pilpres 2024 di tingkat DKI Jakarta, pasangan Anies-Cak Imin mendapatkan suara 41,07 persen, hanya kalah tipis dari Prabowo-Gibran dengan 41,67 persen suara. 

Akan tetapi, semua tergantung kepada mantan Gubernur DKI Jakarta itu apakah ingin bertarung kembali pada Pilkada DKI Jakarta yang digelar November 2024 mendatang. 

Saat ini, Anies masih tercatat sebagai calon presiden atau capres di Pilpres 2024, berpasangan dengan cawapres Muhaimin Iskandar (Cak Imin). 

Nama Anies kembali mencuat, setelah hasil pilpres ini diprediksi akan dimenangkan pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. 

Namun, ada keuntungan dan kerugian tersendiri bagi Anies Baswedan jika diusung sebagai cagub DKI Jakarta dalam Pilkada 2024. 

Kerugiannya adalah Anies “turun kelas” jika maju dalam Pilkada DKI Jakarta setelah sebelumnya berkontestasi dalam Pilpres 2024. 

Sementara, keuntungannya adalah jika nantinya berhasil menjabat kembali sebagai Gubernur DKI Jakarta, Anies bisa menjaga basis massanya dan kembali menjadi tokoh publik. 

Selain itu, Anies juga bisa tetap eksis di kancah perpolitikan nasional. Hal ini karena Gubernur DKI Jakarta bagaikan sebuah panggung politik yang besar. 

Para tokoh yang menjabat bisa meningkatkan atau menjaga eksistensi dan elektabilitas mereka di dunia politik. 

Lantas, mengapa PKS ingin kembali mencalonkan Anies sebagai Gubernur DKI Jakarta? 

Tak Ada Pilihan Lain? 

Munculnya nama Anies Baswedan dalam bursa cagub DKI Jakarta oleh PKS tampaknya bukan semata-mata Anies kalah di pilpres dan pernah sukses memimpin DKI Jakarta. 

Baca juga :  PKS Boncos Seperti Manchester United?

Setidaknya ada tiga alasan yang tampaknya melatarbelakangi wacana PKS terhadap pencalonan Anies sebagai cagub DKI Jakarta. 

Pertama, PKS tampaknya tidak mempunyai kader yang prominen untuk bisa bertarung dalam Pilkada DKI Jakarta. 

Seperti yang diketahui, meskipun PKS selalu setia mendukung setiap langkah politik Anies, namun mantan menteri pendidikan itu bukanlah kader PKS. 

Bahkan, terakhir kali PKS mencalonkan dan memenangkan kadernya sendiri dalam kontestasi Pilkada adalah saat menjadikan Mahyeldi Ansharullah sebagai Gubernur Sumatera Barat (Sumbar) 2021 lalu. 

Kedua, dari berbagai tokoh yang ada dalam bursa cagub DKI Jakarta kiranya hanya Anies yang bisa menjadi “corong” kebijakan atau ideologi dari PKS. 

Anies yang dikenal dekat dengan kelompok islam menjadi aset berharga bagi PKS untuk merawat dan memperkuat basis massa mereka di DKI Jakarta. 

Ketiga, dukungan yang kuat terhadap Anies kiranya juga akan berdampak pada PKS, yang mana rasionalisasi politiknya adalah dengan efek ekor jas (coattail effect). 

Melihat adanya tiga alasan itu, kiranya hubungan PKS dan Anies bukan lagi tentang sang calon dan kendaraan politiknya. Hubungan mereka tampaknya sudah berlandaskan rasa percaya satu sama lain. 

Francis Fukuyama dalam bukunya Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity memberikan perhatian khusus pada trust atau kepercayaan, karena dinilai sebagai elemen penting dalam membentuk social capital.  

Berbeda dengan human capital, di mana komunitas masyarakat bekerja sama di atas kepentingan atau transaksi tertentu, social capital adalah bentuk kerja sama yang semata-mata tumbuh di atas rasa saling percaya dan pembiasaan terhadap norma-norma moral. 

Singkatnya, dapat dikatakan bahwa kepercayaan adalah komponen vital agar suatu kerja sama dapat terjalin dengan baik di suatu komunitas. 

Dalam konteks hubungan Anies dan PKS, kerja sama politik yang mereka lakukan tampaknya berdasarkan rasa saling percaya, bukan lagi soal berdasarkan kepentingan atau transaksi tertentu. 

PKS selalu percaya pada potensi Anies dari Pilkada DKI Jakarta 2017 hingga Pilpres 2024. Sebaliknya, Anies pun kiranya juga begitu, dirinya percaya jika PKS dapat menjadi kendaraan politik yang mendukungnya untuk mencapai ambisi politiknya. 

Baca juga :  “Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Jika nantinya mereka kembali bekerja sama dalam Pilkada DKI Jakarta, tampaknya kerja sama ini akan membuat mereka menegaskan dominasi di Jakarta. 

infografis pks anies dan filosofi peci 2

Pertegas Dominasi PKS di Jakarta 

Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 menjadi kebangkitan PKS di Jakarta. Hal ini ditandai dengan dominasi mereka di perolehan kursi DPRD DKI Jakarta. 

Berdasarkan hasil rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta, PKS berhasil unggul dengan perolehan 1.012.028 suara, dan diperkirakan akan memperoleh 18 kursi DPRD DKI Jakarta untuk periode 2024-2029, bertambah 2 kursi dibandingkan periode 2019-2024. 

PKS berhasil unggul jauh dari PDIP yang berada di posisi kedua dengan perolehan 850.174 suara, dan diprediksi memperoleh 15 kursi. Jumlah ini turun drastis dibandingkan perolehan kursi pada Pileg DPRD DKI Jakarta 2019, yakni 25 kursi. 

Torehan positif PKS itu didasarkan pada beberapa faktor kunci. Pertama, konsistensi PKS dalam menjalankan peran oposisi. Kedua, menjadi suara yang lantang di DPR, terutama dalam menolak kebijakan pemerintah yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat. 

Ketiga, dukungan yang semakin meningkat terhadap duet Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, yang mana rasionalisasi politiknya adalah dengan efek ekor jas (coattail effect). 

Sunny Tanuwidjaja dalam publikasinya yang berjudul PKS post-Reformasi Indonesia menyoroti bahwa hipotesis kesuksesan PKS lebih disebabkan oleh performa stagnan partai-partai Islam lainnya daripada strategi inklusivitas dan moderasi yang diadopsi PKS. 

Oleh karena itu, berkaca pada penjelasan di atas kiranya kesuksesan PKS tidak hanya terletak pada faktor internal mereka sendiri. Namun, juga terletak pada faktor eksternal pula. 

Wacana pencalonan kembali Anies sebagai cagub DKI Jakarta pada Pilkada 2024 ini tampaknya adalah strategi PKS untuk kembali mempertegas dominasi mereka di Jakarta. 

Hal ini menjadi torehan yang positif bagi partai dengan warna islam bisa menguasai Jakarta yang merupakan daerah dengan heterogenitas suku, budaya, dan agama. 

Menarik untuk ditunggu apakah wacana pencalonan Anies menjadi cagub DKI Jakarta akan terwujud atau hanya menjadi sebuah wacana tanpa realisasi. (S83)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Dengarkan artikel ini: Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut. Meski belum juga terjadi, banyak yang...

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

Pemilu 2024, Netralitas Jokowi “Diusik” PBB? 

Dalam sidang Komite Hak Asasi Manusia (HAM) PBB, anggota komite Bacre Waly Ndiaye mempertanyakan netralitas Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait lolosnya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) dari Prabowo Subianto. Lalu, apa yang bisa dimaknai dari hal itu?

Benarkah PDIP Jadi Oposisi “Lone Wolf”? 

Wacana oposisi pemerintahan 2024-2029 diprediksi diisi oleh partai politik (parpol) yang kalah dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, yakni PDIP, PKB, PKS, Partai NasDem, dan PPP. Namun, rencana itu tampaknya akan berantakan dan menimbulkan probabilitas meninggalkan PDIP sebagai satu-satunya parpol oposisi di pemerintahan 2024-2029. Mengapa demikian?