Dengarkan artikel ini:
Audio ini dibuat menggunakan AI.
Setelah dipercaya menjadi Menteri ATR/BPN, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dinilai cukup menjanjikan dalam konteks kepemimpinan bangsa di masa mendatang. Namun, faktor karpet merah yang diberikan oleh Joko Widodo (Jokowi) kiranya akan membuat AHY “terikat” dalam gentleman’s agreement tertentu. Utamanya, yang terkait Gibran Rakabuming Raka. Di titik itu, Prabowo Subianto agaknya bisa menjadi “penyelamat” AHY. Mengapa demikian?
Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menarik perhatian saat mengemban jabatan politik di pemerintahan perdananya sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Gestur santun namun elegan sebagai pejabat hingga mayor rasa bintang empat menjadi beberapa bentuk apresiasi yang datang kepada sosok purnawirawan TNI itu.
Beberapa lainnya memuji sikap dan start bagus AHY dalam adaptasi pertamanya sebagai pemimpin di level pemerintah. Ihwal yang kemudian membuat mereka tak sedikit yang menaruh ekspektasi kepemimpinan bangsa mendatang di pundak AHY. Terutama, di 2029 nanti.
Media sosial, khususnya Instagram, menjadi platform andalan AHY untuk membagikan aktivitasnya sebagai menteri.
Terlepas dari kemungkinan yang dipengaruhi oleh halo effect atau stereotip daya tarik tertentu yang kasat mata, potensi AHY sendiri sama sekali tak bisa dipandang sebelah mata.
Karier militer apik dan ber-almamater dari universitas terkemuka dunia seperti Universitas Teknologi Nanyang Singapura hingga Universitas Harvard Amerika Serikat (AS) membuat kapasitas AHY begitu “legit”.
Akan tetapi, karier politik AHY agaknya akan dipenuhi lika-liku. Terutama karena eksistensinya kini di pemerintahan adalah berkat restu Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sosok yang mana sebelumnya kerap dikritik oleh AHY dan Partai Demokrat.
Merapatnya AHY ke pemerintah tak dapat dilepaskan dari dinamika menjelang Pilpres 2024 saat Partai Demokrat memutuskan mendukung duet Prabowo Subianto yang berpasangan dengan putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka.
Berdasarkan konsep mendasar simbiosis politik yang berbanding dengan proyeksi karier politik AHY yang lebih baik setelah bergabung ke pemerintah, hipotesa yang muncul di meja analisis adalah AHY hampir pasti akan membalas budi Jokowi.
Hal itu termasuk yang terkait Gibran, tetapi bisa sangat dipengaruhi oleh Prabowo. Mengapa demikian?
AHY Utang Moral?
Sejak tahun 2014, AHY adalah menteri pertama Partai Demokrat di pemerintah. Menariknya, ini adalah pertama kalinya menteri asal PDIP dan Partai Demokrat berada dalam satu kabinet, mengingat kedua parpol adalah rival sejati di Pemilu dan Pilpres 2004 dan 2009.
Setidaknya AHY seakan sangat diuntungkan dengan dinamika politik menarik jelang kontestasi elektoral 2024. Mengalami “pengkhianatan” Anies Baswedan dan Partai NasDem serta ditikung Muhaimin Iskandar (Cak Imin sebagai) merupakan hook awal kisah baik AHY.
Di saat yang sama, momentum intrik Jokowi dengan PDIP karena keputusan merestui pencawapresan Gibran mendampingi Prabowo membuat AHY tak punya pilihan selain berada di gerbong paslon capres-cawapres yang kelak mendapat nomor urut 2 itu.
Pilihan yang terasa bukan pilihan itu nyatanya berbuah manis bagi AHY. Selain dirangkul Jokowi ke kabinet, Prabowo-Gibran yang kemungkinan besar menang di Pilpres 2024 membuat masa depan karier politik AHY tampak cerah.
Akan tetapi, karpet merah yang diberikan Jokowi kiranya tetap harus dan memang akan dibayar oleh AHY. Baik berupa kinerja terbaik sebagai menteri, maupun dalam dimensi politik.
Secara sederhana, praktik yang kerap dibingkai dalam idiom “no free lunch” atau “tidak ada makan siang yang gratis” seolah lumrah dalam politik.
Praktik tersebut merupakan semacam utang moral sosial-politik para aktor (socio-political debt) yang dapat memengaruhi dinamika politik. Sang “penerima makan siang” diharapkan atau berada dalam situasi yang wajib untuk mendukung kepentingan “pemberi makan siang” sebagai imbalan.
Dalam case AHY dan pemberian karpet merah oleh Jokowi, agaknya akan terkait dengan penerus Presiden ke-7 RI itu, yakni Gibran. Setelah Jokowi, plus Prabowo, yang lambat laun pasti akan purna tugas dan menepi dari hiruk pikuk politik, Gibran bisa saja menjadi lawan empuk bagi para rivalnya.
Saat itu terjadi, AHY bukan tidak mungkin diskenariokan menjadi salah satu political guardian bagi Gibran. Tentu agar trah Widodo dan Jokowi sendiri “aman”.
Dalam skenario lain yang terkait kepemimpinan selanjutnya, AHY tak menutup kemungkinan akan “mengalah” untuk Gibran.
Kendati demikian, skenario itu tentu akan sangat dipengaruhi oleh dinamika dan intrik politik berikutnya yang bisa saja berbalik menguntungkan AHY.
Mempertahankan Zeitgeist Militer?
Di titik di mana AHY seolah harus berhutang moral politik kepada Jokowi, Prabowo boleh jadi akan “memutihkannya” untuk AHY.
Akar dari postulat itu turut dianalisis oleh Salil Tripathi dalam How Will Prabowo Lead Indonesia?.
Tripathi mempertanyakan keberlanjutan aliansi Jokowi-Prabowo ke depan. Disebutkan, meski Prabowo tak mungkin menang tanpa dukungan Jokowi, Pangkostrad ke-22 itu tak perlu lagi bergantung padanya untuk menjalankan kekuasaan dan roda pemerintahan.
Jika itu terjadi, Prabowo mengaktualisasikan program andalannya di kampanye Pilpres 2024 yang, menariknya, merupakan antitesis idiom “no free lunch“, yakni “free lunch” atau “makan siang gratis”.
Prabowo mungkin menghapus, tak membiasakan, atau tak menekankan utang apapun dalam kultur politik dan kekuasaannya kelak. Hal ini tak menutup kemungkinan berlaku bagi Gibran maupun AHY yang selama ini tampak dipromosikan Prabowo pula sebagai pemimpin masa depan. Apalagi, AHY kemungkinan besar masuk ke dalam skenario pemerintahan Prabowo di 2024-2029.
Jika Prabowo secara objektif melihat Gibran tak menjanjikan jika dibandingkan dengan AHY, kemungkinan sosok Ketum Partai Demokrat itu akan diuntungkan.
Terlebih, Prabowo dan AHY sama-sama berlatar belakang militer. Prabowo dan ayah AHY, yakni Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pun belakangan menunjukkan kualitas persahabatan terbaik dalam sejarah relasi keduanya.
Roh zaman atau zeitgeist kepemimpinan berlatar belakang militer mungkin akan dipertahankan karena justifikasi relevansinya bagi kepentingan bangsa dan negara, tentu dalam perspektif politik.
Ketika dikomparasikan secara objektif, AHY pun memang tampak lebih unggul dibanding Gibran dari berbagai aspek. Termasuk komunikasi publik dan politik.
Saat skenario di atas terjadi, karier politik Gibran pun akan menjadi pertanyaan tersendiri. Apakah akan redup atau tetap dirangkul namun tak berada dalam posisi strategis.
Namun demikian, seperti yang dikatakan Tripathi, politik Indonesia sangat sukar diprediksi karena begitu banyak drama dan kepentingan di dalamnya.
Dengan spekulasi di atas pun, AHY agaknya tak akan bisa lepas dari frasa no free lunch begitu saja. Utamanya, yang terkait konsesi Partai Gerindra andai AHY menjadi aktor penerus dalam konsep sirkulasi elite Vilfredo Pareto kala benar-benar berada di puncak kekuasaan.
Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)