HomeHeadlineRK Gagal Jakarta-1, Golkar Rungkat? 

RK Gagal Jakarta-1, Golkar Rungkat? 

Dengarkan Artikel Ini:

Audio ini dibuat menggunakan AI

Kerugian besar kiranya akan ditanggung Partai Golkar jika melewatkan kesempatan untuk mengusung Ridwan Kamil (RK) di Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2024. Mengapa demikian? 


PinterPolitik.com 

Dikenal karena gaya kepemimpinan dinamisnya dan pendekatan inovatifnya terhadap pemerintahan, Ridwan Kamil (RK) telah menjadi sosok yang menonjol bukan hanya di Jawa Barat (Jabar), tetapi juga di panggung perpolitikan nasional. 

Karier politik mantan Gubernur Jabar itu tampak semakin menjanjikan setelah bergabung dengan Partai Golkar dan mendapat posisi sebagai Wakil Ketua Umum (Waketum) di partai berlambang pohon beringin itu. 

Dengan melihat mocernya karier politik RK, tak mengherankan jika namanya selalu diisukan untuk menempati jabatan publik yang lebih strategis. 

Terbaru, RK mengaku untuk ditawari menjadi bagian dari kabinet pemerintahan Prabowo-Gibran nantinya. 

Namun, dengan melihat kiprah politiknya selama ini, RK kiranya akan lebih cocok untuk menempati posisi kepala daerah lagi di daerah yang lebih strategis. 

ridwan kamil menteri apa

Sebagai partai legendaris Indonesia, Partai Golkar kiranya harus menjadi sebuah kekuatan utama dalam kancah perpolitikan nasional. Dan nama RK agaknya dapat menjadi pembuka jalan Partai Golkar untuk mencapai kejayaan, utamanya melalui perebutan kursi DKI atau Jakarta-1. 

Secara momentum dan posisi politik personal, RK kiranya juga sudah cukup memenuhi prasyarat ideal untuk naik kelas. 

Dengan kapasitasnya yang mumpuni, RK kiranya harus maju dalam kontestasi elektoral yang mendapat banyak atensi dari publik secara nasional dibandingkan Jabar, yakni Jakarta. 

Meskipun sejatinya partai berlambang pohon beringin itu telah menunjuk Ketua DPD Golkar DKI Jakarta Ahmed Zaky untuk maju di Pilgub DKI, namun nama mantan Bupati Tangerang itu dinilai tidak cukup familiar untuk menang dan memberikan manfaat lebih bagi Partai Golkar. 

Lantas, mengapa Partai Golkar harus mendorong pencalonan RK di Pilgub DKI? 

Kisah Ironis Golkar 

Agak mengherankan jika pasca Reformasi, Partai Golkar selalu seolah menjadi partai pengekor partai-partai lain yang berhasil berkuasa, mulai dari Partai Demokrat hingga PDIP. 

Hal ini juga kiranya berlaku pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 kali ini. Partai Golkar sejauh ini menempati peringkat kedua dibawah PDIP berdasarkan hasil hitung cepat atau quick count dengan perolehan sekitar 14 persen suara. 

Sementara, perhitungan real count dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) Partai Golkar sejauh ini memperoleh 15,07 persen suara. 

Hal ini jauh berbanding terbalik dengan kiprah mereka selama Orde Baru (Orba). Padahal, Partai Golkar dinilai memiliki mesin politik yang sangat baik sebagai warisan dari era Orba. 

Meskipun ada sisi positifnya dengan menghilangkan ketergantungan kepada sosok tertentu, ketiadaan ketokohan yang kuat dari Partai Golkar itu tampaknya membuat mereka sedikit limbung. 

Asep Nurjaman dalam publikasi berjudul Masa Depan Faksionalisme Politik Golkar Pasca Orde Baru menjelaskan jika dibandingkan dengan dua organisasi sosial politik (orsospol) warisan Orba lainnya (Golkar, PDIP, PPP), Partai Golkar memiliki kesamaan dengan PPP, yakni tak memiliki tokoh sentral dominan dalam kekuasaan internal partai. 

Baca juga :  Last Battle for the Swing Voters

Meski jamak yang mengatakan terdapat plus dan minusnya, dalam dinamika politik saat ini hal itu kiranya justru menjadi kelemahan Partai Golkar saat ini. 

Nama Jusuf Kalla (JK) tampaknya sejauh ini menjadi nama terakhir yang memegang pengaruh cukup tinggi dalam personal maupun internal partai. 

Namun, JK pun belum bisa menolong kebangkitan partai berlambang pohon beringin itu. Justru, kekalahannya di Pilpres 2009 seolah semakin memperlihatkan kurangnya sosok yang dominan di internal Golkar ditengah bertaburnya elite politik tenar di dalamnya. 

Mantan Ketum Golkar Akbar Tandjung dalam bukunya The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik mengatakan jika Partai Golkar  sebagai catch-all party yang fleksibel untuk bersinergi dan menarik massa dari berbagai karakteristik, latar belakang, dan ideologi. 

Hal ini terlihat dari munculnya berbagai macam faksi di dalam internal partai. Jika diidentifikasi lebih dalam, terdapat tiga faksi besar di dalam Partai Golkar, yakni faksi Hijau Islam (ICMI hingga HMI), faksi Hijau Militer, dan faksi pengusaha. 

Kendati demikian, ketiga faksi tersebut bisa saling memiliki irisan dan positifnya, bisa saling merekatkan kepentingan satu sama lain. 

Menariknya, “konflik kepentingan” yang muncul dalam ketiga faksi besar seolah mengalami pergeseran, tak lagi berbasis fungsional, melainkan berbasis kelompok pertemanan.  

Namun, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, dari semua faksi yang ada di dalam Partai Golkar, belum ada satu pun tokoh yang kiranya dirasa cocok dengan elektabilitas yang mumpuni untuk menjadi representasi Partai Golkar di level nasional. 

Atas dasar itu, jika “memaksakan” Ahmed Zaky yang namanya masih kurang familiar untuk maju dalam Pilgub DKI kiranya merupakan sebuah perjudian besar yang bisa menjadi bumerang.

ribut breaking news ridwan kamil

RK adalah Jawaban? 

Meskipun, sebelumnya Partai Golkar telah menunjuk Ketua DPD Golkar DKI Jakarta Ahmed Zaky untuk maju dalam perebutan kursi DKI-1 lewat mekanisme Musyawarah Daerah (Musda), tampaknya Golkar tetap harus mempertimbangkan kemungkinan RK untuk maju di Pilgub DKI. 

Mengingat, saat ini RK sudah menjadi kader dari Partai Golkar, bukan tidak mungkin jika ini adalah kesempatan bagi Partai Golkar maupun RK untuk menghasilkan simbiosis politik yang signifikan. 

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, untuk saat ini tampaknya belum ada lagi politisi yang dapat menarik atensi seperti Kang Emil. Secara hitung-hitungan politik tampaknya ini juga akan menguntungkan bagi Golkar nantinya. 

Niek Mouter dalam tulisannya yang berjudul The Politics of Cost-Benefit Analysis menjelaskan jika aktor politik harus mempertimbangkan kerugian (cost) dan keuntungan (benefit) dalam memutuskan tindakan politik. 

Baca juga :  Gibran Wants to Break Free?

Berkaca dari apa yang dijelaskan oleh Mouter, Partai Golkar harus mempertimbangkan untuk mendorong RK maju dalam Pilgub DKI dibandingkan Pilgub Jabar karena kemungkinan lebih banyak keuntungan yang diraih dibandingkan kerugiannya. 

RK memiliki catatan prestasi dalam membangun infrastruktur, memperbaiki transportasi, dan memajukan sektor pendidikan dan kesehatan. Ketiga masalah ini yang kiranya dibutuhkan warga Jakarta untuk diselesaikan segera. 

Selain itu, RK memiliki pendukung yang kuat dan cukup populer di kalangan masyarakat, terutama di media sosial. 

Argumen itu didukung oleh survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada April 2022 lalu yang membeberkan 10 nama tokoh yang dinilai mumpuni untuk memimpin Jakarta.  

Kepala Departemen Politik dan Sosial CSIS Arya Fernandes menjelaskan pihaknya mendapatkan 10 nama tokoh itu berdasarkan survei kepada ahli yang memahami isu di Jakarta. 

RK sendiri berada di urutan teratas untuk memimpin The Big Durian kelak. Kang Emil mengalahkan nama-nama seperti Erick Thohir, Tri Rismaharini, Sandiaga Uno, hingga Ahmad Sahroni dalam survei CSIS tersebut. 

Meskipun sesama level gubernur, posisi DKI/Jakarta-1 kiranya lebih strategis dibandingkan dengan Jabar-1. Hal ini terjadi karena telah lama menjadi pusat perhatian nasional. 

Dalam beberapa penelitian ditemukan fakta jika konten-konten media di Indonesia masih sangat Jakarta-sentris, termasuk dalam politik. Ini menjadikan jabatan DKI/Jakarta-1 mendapatkan eksposur yang lebih dibandingkan gubernur lainnya. 

Ada beberapa contoh kasus Gubernur DKI Jakarta memiliki probabilitas untuk setidaknya mengikuti kontestasi pilpres, yakni Anies Baswedan dan Joko Widodo (Jokowi). Bahkan, nama terakhir berhasil menjadi presiden dua periode.  

Pencalonan RK di Jakarta kiranya akan menjadi investasi jangka panjang Golkar dalam kancah perpolitikan nasional. 

Terlebih, jika RK dapat menorehkan prestasi selama menjadi DKI-1 hingga kemudian nantinya mengantarkan dirinya dalam kontestasi Pilpres 2029. 

Jika skenario ini terjadi, ini akan menjadi kader pertama Golkar yang ikut kontestasi pilpres setelah Jusuf Kalla (JK) pada 2009 lalu. Sebagai partai legendaris di Indonesia, ini tampaknya menjadi jalan pembuka untuk mengembalikan kejayaan Golkar. 

Namun, jalan RK menuju DKI/Jakarta-1 tampaknya tidak akan mulus. Hal ini karena Ahmed Zaky sudah mendapat mandat terlebih dahulu untuk maju di Pilgub DKI. 

Jika ingin membatalkannya, Partai Golkar harus melakukan Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) untuk meresmikan RK maju di Pilgub Jakarta, sekaligus membatalkan keputusan untuk mengusung Ahmed Zaky.  

Selain itu, masih ada hal lain yang dapat menunda keputusan penunjukan RK, yakni tanda tanya Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (DKJ) tentang apakah pemimpin Jakarta kelak masih melalui pemilu atau penunjukan pasca tak lagi menjadi ibu kota. 

Dengan berbagai keuntungan dan kerugian yang dijelaskan diatas, nama RK kiranya harus dipertimbangkan Golkar untuk maju bertarung memperebutkan kursi DKI/Jakarta-1. (S83)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

Anies “Alat” PKS Kuasai Jakarta?

Diusulkannya nama Anies Baswedan sebagai calon gubernur (cagub) DKI Jakarta oleh PKS memunculkan spekulasi jika calon presiden (capres) nomor urut satu ini hanya menjadi “alat” untuk PKS mendominasi Jakarta. Benarkah demikian?

Pemilu 2024, Netralitas Jokowi “Diusik” PBB? 

Dalam sidang Komite Hak Asasi Manusia (HAM) PBB, anggota komite Bacre Waly Ndiaye mempertanyakan netralitas Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait lolosnya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) dari Prabowo Subianto. Lalu, apa yang bisa dimaknai dari hal itu?