Dengarkan artikel ini:
Perdana Menteri (PM) Thailand Srettha Thavisin mengklaim bahwa Singapura dan Taylor Swift mempunyai kesepakatan agar negara-negara Asia Tenggara lainnya tidak bisa jadi tuan rumah bagi konser Taylor. Mungkinkah Taylor adalah ‘wildest dream’ bagi kapitalisme?
“Say you’ll see me again even if it’s just pretend” – Taylor Swift, “Wildest Dreams” (2014)
Panggung terlihat begitu megah. Dilengkapi dengan tangga-tangga yang turut menghiasi, panggung yang didominasi warna merah dan hitam itu terlihat begitu besar.
Tidak lupa juga terdapat layar-layar besar yang menampilkan pertunjukan yang dibawakan oleh sang artis. Artis besar itu bernama Taylor Swift.
Setidaknya, nuansa seperti itulah yang dirasakan oleh mereka yang menonton konser Red Tour dari Taylor pada Juni 2014 silam di Ancol, Jakarta, Indonesia. Kala itu, Taylor membawakan lagu-lagunya yang dirilisnya dalam album Red (2012).
Namun, mungkin, animo yang dirasakan dari konser-konser Taylor Swift itu adalah yang terakhir dirasakan oleh sebagian swiftie Indonesia dalam beberapa tahun ke depan. Pasalnya, Taylor memutuskan hanya akan menggelar The Eras Tour di Singapura pada Maret 2024 nanti, bukan di negara-negara Asia Tenggara lainnya.
Tentunya, para swiftie Indonesia tidak menyerah. Sebagian dari merekapun membeli tiket konser, tiket pesawat, hingga akomodasi tempat menginap di Singapura.
Namun, tidak semua swiftie Indonesia mampu melakukan hal yang sama. Bagi mereka, menyaksikan idolanya secara langsung hanyalah sebuah wildest dream (mimpi terliar).
Inipun tidak hanya dirasakan oleh para swiftie Indonesia, melainkan juga para swiftie Thailand. Perdana Menteri (PM) Thailand Srettha Thavisin mengklaim bahwa pemerintah Singapura membayar Taylor hingga USD 2-3 juta agar sang musisi asal Amerika Serikat (AS) itu tidak tampil di negara-negara Asia Tenggara lainnya.
Topik Taylor yang awalnya hanyalah persoalan promotor dan konser kini menjadi persoalan penting yang bisa jadi pembahasan dalam politik antarnegara. Taylor seakan-akan menjadi rebutan antara negara-negara Asia Tenggara.
Mengapa Taylor begitu krusial untuk diperebutkan? Apa yang menjadi kepentingan negara-negara ini? Lantas, mengapa Taylor tidak mempertimbangkan para swiftie di Indonesia?
Taylor Swift Jadi Rebutan?
Pada tahun 2023 kemarin, aplikasi layanan streaming musik, Spotify, menobatkan musisi perempuan dengan streams terbanyak sepanjang sejarah Spotify. Musisi itu adalah Taylor Swift.
Di tahun 2023 saja, streams yang didapatkan oleh Taylor Swift mencapai 26,1 miliar. Itupun hanya Spotify dan belum layanan-layanan streaming lainnnya seperti Apple Music dan YouTube Music.
Jelas, Taylor bukanlah artis biasa. Bahkan, Taylor disebut-sebut menjadi salah satu faktor yang membantu ekonomi AS agar tidak terjebak dalam resesi.
Mengacu ke tulisan Todd M. Gabe dan Nicholas A. Lisac yang berjudul Local Economic Impacts of Popular Music Concerts, konser musik populer seperti Taylor memang bisa membawa manfaat ekonomi. Banyak orang akhirnya pergi menyaksikan konser tersebut untuk melihat idola mereka.
Para penonton ini juga tidak hanya menghabiskan uang mereka untuk tiket konser. Mereka juga menghabiskan uang mereka untuk penginapan, makanan, oleh-oleh, cendera mata (merchandise), dan sebagainya sehingga membawa dampak ekonomi yang besar.
Ini terlihat dari konser-konser Taylor di AS. Menurut laporan Quartz, konser Taylor mampu menyumbang ekonomi hingga lebih dari USD1 miliar (sekitar Rp14 triliun).
Bahkan, belanja konsumen yang bisa dihasilkan oleh tur The Eras Tour bisa mencapai USD5 miliar (sekitar Rp70 triliun). Angka inipun hanya merupakan proyeksi tur yang ada di AS saja, belum di negara-negara lain.
Jelas saja, bagi negara manapun, angka-angka ini menjadi sangat menggiurkan – apalagi untuk negara kecil seperti Singapura. Bagi produk domestik bruto (PDB) Singapura, pariwisata sendiri bisa mengambil porsi sebesar empat persen.
Keberadaan Taylor di Singapura bisa saja meningkatkan pendapatan pariwisatanya. Apalagi, berdasarkan data dari Spotify, penggemar Taylor terbanyak justru berada di Asia Tenggara, yakni Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Filipina.
Menjadi masuk akal apabila negara-negara ini akhirnya memperebutkan Taylor. Negara manapun yang dapat pasti diuntungkan oleh konser Taylor – apalagi pariwisata merupakan sektor yang diincar oleh negara-negara Asia Tenggar, termasuk Indonesia.
Namun, apakah Taylor tidak memikirkan nasib para swiftie lainnya? Mengapa Taylor menerima tawaran Singapura – bila klaim Thavisin benar adanya?
‘Wildest Dream’ Kapitalisme?
Musisi juga butuh makan. Itu mungkin alasan yang paling mendasar dari mengapa para musisi akhirnya menggelar konser dan tur. Namun, konser Taylor lebih dari sekadar upaya untuk mendapatkan uang dari konser.
Fabian Holt dalam tulisannya yang berjudul The Economy of Live Music in the Digital Age menjelaskan bahwa terdapat pergeseran dari pemasukan para musisi ketika dunia kini memasuki zaman digital.
Bila sebelumnya musisi mendapatkan uang dari penjualan musiknya, kini mereka lebih bergantung pada konser. Pasalnya, dengan kehadiran layanan streaming, nilai musik yang mereka jual menjadi semakin kecil.
Inilah mengapa pada akhirnya para musisi sangat bergantung dari pemasukan yang didapatkan. Ini juga mengapa pandemi Covid-19 menjadi penghalang terbesar bagi para musisi agar bisa bertahan hidup.
Namun, rumor soal adanya kesepakatan antara Singapura dan Taylor bukanlah hanya persoalan konser, melainkan ini juga berkaitan dengan apa yang disebut sebagai audience labour (memperkerjakan penonton/penggemar).
Konsep ini dituliskan oleh Yuting Liu, Xinyun Luo, dan Wentao Yan dalam tulisan mereka yang berjudul Evolution of Fan Culture Under the Influence of Audience Labour in Context of Attention Economy. Tulisan itu menjelaskan bagaimana para pemilik modal (kapitalis) menggunakan para penonton sebagai pekerja gratis.
Kunci utamanya berada pada budaya penggemar (fan culture). Fan culture ini terbentuk dari komunitas penggemar yang merasa terhubung dengan para penggemarnya – dan, bila berbicara soal Taylor, basis penggemarnya mungkin adalah salah satu yang terkuat di dunia.
Namun, bagaimana caranya para penonton ini bekerja untuk para kapitalis? Jawabannya adalah perhatian (attention).
Dari perhatian yang muncul, merekapun akhirnya mendapatkan profit – misal menjual produk, tiket konser, atau cendera mata dengan nilai lebih. Perhatian inilah yang akhirnya menjadi nilai yang ditambahkan terhadap sebuah brand, artis, atau musisi.
Belum lagi, Taylor merekam kembali album-album lamanya dengan versinya sendiri – seperti Red, Fearless, dan 1989. Meski ini bermula dari sengketa dengan label lamanya, tidak dipungkiri Taylor mendapatkan keuntungan dan publisitas lebih atas persoalan ini.
Ini akhirnya menciptakan perhatian lebih juga kepada Taylor – sehingga bisa meningkatkan nilai jual Taylor sebagai musisi, termasuk pada Singapura yang akhirnya melihat nilai lebih dari penyanyi asal AS ini. Well, siapa sangka jumlah penggemar yang besar, publisitas yang tinggi, dan tiket konser yang terbatas bisa menjadi kombinasi bagus untuk mendapatkan profit lebih banyak? Wouldn’t it be the wildest dream ever? (A43)