Film dokumenter “Dirty Vote” yang ditayangkan secara cuma-cuma di platform YouTube menarik perhatian publik karena mengungkap berbagai kecurangan Pemilu 2024. Tuduhan soal penyalahgunaan wewenang Presiden Jokowi, hingga ketidaknetralan KPU dan Bawaslu jadi poin penting di dalamnya. Dimensi kehadiran film ini bisa punya dampak besar karena diluncurkan beberapa hari sebelum pemungutan suara. Menariknya, ada istilah “politik gentong babi” yang dibahas dalam film ini, yang nyatanya menjadi praktik politik yang jamak dilakukan.
Film dokumenter “Dirty Vote” adalah sebuah karya yang disutradarai oleh Dandhy Laksono. Publik mungkin familiar dengan Dandhy sebagai sosok jurnalis dan aktivis yang kerap membuat karya dokumenter terkait perjuangan masyarakat yang tersisihkan akibat pembangunan dan ketidakadilan.
Di tahun 2019 lalu, Dandhy membuat film “Sexy Killers” yang kala itu juga diluncurkan beberapa hari jelang Pemilu 2019. Sexy Killers juga menarik perhatian publik karena mengungkap benang merah keterkaitan Pilpres dan sosok-sosok yang bertarung di 2019 dengan perusahaan serta bisnis tambang yang merusak lingkungan.
Berbeda dengan Sexy Killers yang menggunakan footage dari Ekspedisi Indonesia Baru, film Dirty Vote kali ini berfokus pada penampilan tiga ahli Hukum Tata Negara, yakni Bivitri Susanti, Zainal Arifin Mochtar, dan Feri Amsari.
Konsep film Dirty Vote unik, tidak ada perpindahan tempat atau suasana, tidak ada reka adegan yang mengilustrasikan suatu kejadian nyata, dan tidak ada musik dramatis. Sepanjang durasi kurang lebih 1 jam 57 menit, kita hanya melihat pemaparan dari ketiga pakar tersebut. Mereka memaparkan sejumlah data dan mengurai pelanggaran hukum pada Pemilu 2024.
Salah satu topik yang dibahas dalam film ini adalah “politik gentong babi”. Istilah ini disinggung oleh Bivitri Susanti. Politik gentong babi adalah sebuah kiasan untuk pengeluaran yang diusahakan oleh politisi atau anggota parlemen untuk daerah pemilihannya sebagai imbalan atas dukungan politik, baik dalam bentuk kampanye atau suara pada Pemilihan Umum. Tujuannya agar mereka dapat terpilih kembali dalam Pemilu.
Dalam konteks politik saat ini, Bivitri mengatakan politik gentong babi adalah cara berpolitik yang menggunakan uang negara. Uang tersebut digelontorkan ke daerah-daerah pemilihan oleh politisi agar dirinya bisa dipilih kembali. Dalam konteks Presiden Jokowi, ini berkaitan dengan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang disebut-sebut didukung sang presiden itu. Pasangan mantan lawan Jokowi dan putra sulungnya ini disebut menjadi poin utama politik gentong babi.
Lalu, bagaimana menguraikannya?
Politik Gentong Babi
Politik Gentong Babi adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada strategi politik yang menekankan pada pembagian sumber daya atau keuntungan kepada kelompok tertentu, sering kali tanpa memperhatikan kepentingan umum atau kesejahteraan masyarakat secara luas.
Istilah ini dapat digunakan untuk menggambarkan berbagai bentuk korupsi, nepotisme, dan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh elite politik atau pemerintah. Dalam konteks ini, “gentong babi” merupakan metafora yang menunjukkan tindakan yang merugikan atau menyakiti masyarakat secara keseluruhan.
Dalam sejarahnya, politik gentong babi berangkat dari era perbudakan di Amerika Serikat, di mana para budak berebut untuk mendapatkan daging babi yang diawetkan di dalam gentong.
Konsep politik gentong babi telah ada dalam sejarah politik dan pemerintahan di banyak negara di seluruh dunia. Meskipun istilah ini mungkin tidak digunakan secara eksplisit, praktek-praktek yang merujuk pada politik gentong babi telah muncul di berbagai zaman dan budaya.
Salah satu contoh sejarah politik gentong babi yang terkenal adalah pada masa pemerintahan beberapa diktator di beberapa negara di Afrika dan Asia. Diktator-diktator ini sering kali memperkaya diri sendiri dan kelompok elite mereka dengan menyalahgunakan kekuasaan politik dan ekonomi, sementara sebagian besar masyarakat hidup dalam kemiskinan dan penderitaan.
Penerapan politik gentong babi bisa sangat beragam, mulai dari skandal korupsi besar-besaran hingga praktik nepotisme yang lebih halus. Korupsi adalah salah satu bentuk paling jelas dari politik gentong babi. Ini bisa meliputi suap, penggelapan dana publik, penyuapan, atau praktek-praktek ilegal lainnya yang bertujuan untuk menguntungkan pihak tertentu di dalam pemerintahan.
Sementara nepotisme terjadi ketika pejabat pemerintah memberikan posisi atau kontrak kepada anggota keluarga atau teman dekat tanpa mempertimbangkan kualifikasi atau kebutuhan sebenarnya. Hal ini bisa menghasilkan pengabaian terhadap kepentingan masyarakat dan meningkatkan ketidaksetaraan dalam akses terhadap kesempatan.
Daron Acemoglu dan James A. Robinson dalam bukunya yang terkenal “Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty,” menganalisis hubungan antara kebijakan politik, struktur kelembagaan, dan pembangunan ekonomi. Mereka membahas bagaimana praktek politik yang merugikan, seperti politik gentong babi, dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan menciptakan ketidaksetaraan yang mendalam.
Sementara penulis lain seperti Joseph Stiglitz membahas tentang ketidaksetaraan ekonomi, kebijakan pemerintah, dan masalah-masalah terkait dalam buku-buku seperti “Globalization and Its Discontents” dan “The Price of Inequality”, yang lagi-lagi juga melihat bagaimana praktik politik gentong babi terjadi.
Politik gentong babi memiliki berbagai implikasi negatif, baik bagi pemerintahan maupun masyarakat secara keseluruhan. Kondisi ini melahirkan ketidaksetaraan, menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat, serta kerusakan pada institusi demokrasi.
SBY Juga Pernah Lakukan?
Menariknya, bukan hanya Jokowi saja yang pernah melakukan praktik politik gentong babi, katakanlah lewat program bantuan sosial yang saat ini disebut sebagai praktik utamanya. Pada tahun 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meluncurkan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) dalam upaya untuk memberikan bantuan langsung kepada masyarakat Indonesia yang terdampak oleh krisis ekonomi global. Namun, program ini juga menjadi subjek perdebatan yang intens, dengan beberapa pihak mengkritiknya sebagai contoh politik gentong babi yang dilakukan oleh pemerintah.
Program BLT ini bertujuan untuk memberikan bantuan langsung kepada rumah tangga miskin di Indonesia. Bantuan ini diberikan secara tunai kepada keluarga-keluarga yang terdaftar sebagai penerima manfaat, dengan tujuan membantu mereka dalam mengatasi dampak buruk dari krisis ekonomi global yang sedang melanda pada saat itu. BLT ini diharapkan dapat membantu masyarakat yang terdampak oleh penurunan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka, seperti makanan, pendidikan, dan kesehatan.
Meskipun tujuan dari program BLT adalah untuk memberikan bantuan kepada masyarakat yang membutuhkan, banyak kritik yang dilontarkan terhadap implementasinya, menyebutkan bahwa program ini mencerminkan politik gentong babi.
Salah satu kritik yang paling umum adalah bahwa program BLT digunakan secara politis oleh pemerintah untuk memperoleh dukungan politik. Dalam beberapa kasus, penerima BLT diduga dipilih berdasarkan pertimbangan politik, bukan berdasarkan kriteria ekonomi atau kebutuhan yang sebenarnya.
Kemudian, ada juga kekhawatiran tentang kurangnya transparansi dalam penentuan siapa yang berhak menerima BLT dan bagaimana proses seleksinya dilakukan. Kurangnya akuntabilitas dan pengawasan yang efektif dapat memungkinkan praktik-praktik korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam implementasi program.
Program BLT juga dikritik karena dapat meningkatkan ketergantungan masyarakat terhadap bantuan pemerintah, daripada mendorong mandiri dan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Tanpa langkah-langkah pendampingan atau pelatihan yang memadai, penerima BLT mungkin tidak dapat mengembangkan keterampilan atau kesempatan untuk meningkatkan pendapatan mereka sendiri.
Dan kritik yang paling dominan adalah yang melihat relasi keberadaan bantuan ini dengan dampak politiknya pada kemenangan SBY di Pemilu 2009. Kita ingat bahwa SBY menang mutlak di Pemilu dengan perolehan suara hingga 60 persen, meskipun kala itu Pemilu diikuti oleh 3 pasangan calon.
Lalu apakah praktik ini – baik yang dituduhkan dilakukan oleh Jokowi maupun yang pernah dilakukan SBY – adalah hal yang salah?
Well, dalam konteks efeknya yang koruptif dan merusak, tentu saja hal ini salah. Bagaimanapun juga, demokrasi harus didorong menjauh dari praktik-praktik kecurangan. Memang masing-masing punya pertimbangan sendiri-sendiri. Jokowi misalnya, ikut “cawe-cawe” demi memastikan penerusnya akan manjalankan program-program pembangunan yang sudah digariskan. Namun, bukan berarti politik gentong babi bisa diambil sebagai cara untuk pemenuhan kepentingan.
Bagaimanapun juga, politik gentong babi akan mengancam institusi demokrasi Indonesia. Dan ini sudah lebih dari cukup membuat kita mempertanyakan ulang soal pelaksanaan Pemilu di Indonesia. (S13)