HomeHeadlineOperasi Rahasia di Balik Salam 4 Jari: Menuju Ahok Jurkam Anies?

Operasi Rahasia di Balik Salam 4 Jari: Menuju Ahok Jurkam Anies?

Dengarkan Artikel Ini:

Kemunculan narasi “salam 4 jari” beberapa hari terakhir memang menimbulkan pertanyaan besar soal peluang koalisi pasangan calon nomor 01, Anies-Cak Imin, dengan pasangan calon nomor 03, Ganjar-Mahfud. Ini terkait prediksi bahwa Pilpres 2024 akan berlangsung dalam 2 putaran dengan Prabowo-Gibran keluar sebagai pemenang di putaran pertama. Namun, salam 4 jari ini nyatanya punya makna yang jauh lebih luas soal relasi politik masa lalu, serta benturan garis politik berbeda yang dipersatukan oleh pragmatisme.


PinterPolitik.com

Narasi “salam 4 jari” telah menjadi topik hangat dalam wacana politik Indonesia menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Narasi ini muncul sebagai gerakan yang mendorong koalisi antara pasangan capres-cawapres nomor urut 01, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, dan pasangan nomor urut 03, Ganjar Pranowo-Mahfud MD.

Gerakan ini dinarasikan sebagai upaya untuk mengalahkan pasangan nomor urut 02, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Narasi ini terbentuk sebagai bentuk perlawanan atas ambisi Prabowo-Gibran menang satu putaran di Pilpres 2024, atau sebagai antisipasi kelanjutan pertarungan di putaran kedua.

Menanggapi munculnya gerakan ini, Ganjar Pranowo, capres nomor urut 03, merespons dengan mengatakan bahwa gerakan ini muncul sebagai semangat dari masyarakat melihat dinamika politik yang berlangsung jelang Pemilu. Namun, Ganjar juga menegaskan bahwa tim pemenangannya saat ini tidak dalam posisi tergesa-gesa.

Sementara Anies Baswedan, capres nomor urut 01, juga memberikan tanggapan serupa. Ia menilai bahwa fenomena salam 4 jari menunjukkan aspirasi rakyat yang tidak seluruhnya terungkap. Namun, Anies juga enggan bicara banyak soal wacana koalisi 01 dan 03. Menurutnya, hari pemilihan akan menunjukkan kemauan rakyat.

Secara keseluruhan, narasi salam 4 jari mencerminkan dinamika politik yang sedang berlangsung di Indonesia menjelang Pilpres 2024. Gerakan ini menunjukkan bagaimana masyarakat berpartisipasi dalam proses demokrasi dan bagaimana mereka menggunakan media sosial sebagai platform untuk menyuarakan pendapat dan aspirasi mereka, meski tak ada yang tahu apakah gerakan salam 4 jari ini muncul murni dari narasi politik di akar rumput, ataukah hanya sekedar mainan elite politik.

Dugaan yang paling kuat muncul adalah yang menyebut narasi ini sebagai hasil fabrikasi kelompok tertentu yang ingin mencegah Prabowo berkuasa. Bisa dibilang ini jadi bagian dari cipta kondisi yang menjadi salah satu tahapan operasi intelijen yang mungkin bertujuan untuk mendorong terbentuknya koalisi besar 01 dan 03.

Selain itu, andaikata koalisi ini terwujud, tentu akan terjadi pemandangan yang menarik karena sejarah pertentangan dua kubu. Di masa lalu, Anies Baswedan menjadi simpul sosok yang ada di seberang PDIP yang di Pilkada DKI Jakarta mengusung Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Bersatunya dua kubu ini tentu akan memungkinkan situasi ketika Ahok justru menjadi juru kampanye bagi Anies.

Ini akan jadi momen yang menarik dan menjadi pertaruhan pragmatism politik dua kubu jika kemudian mereka mengabaikan pandangan-pandangan yang sifatnya prinsipil, dan secara pragmatis memilih untuk bergabung menjadi satu kubu. Pertanyaannya adalah mungkinkah hal itu terjadi?

Baca juga :  Prabowo dan Prelude Gerindra Empire?

Menantang Pragmatisme Politik

Peluang bersatunya Anies-Imin dan Ganjar-Mahfud memang bisa dilihat dari sudut pandang pragmatisme politik. Pandangan ini, sebagai pendekatan yang menitikberatkan pada kepentingan dan hasil praktis, telah memainkan peran yang substansial dalam mengubah dinamika hubungan antara faksi-faksi politik di dalam suatu negara.

Beberapa tokoh yang bicara soal pragmatisme politik antara lain Niccolò Machiavelli yang dikenal sebagai salah satu pemikir awal pragmatisme politik. Dia mengemukakan pandangan realis dan pragmatis terhadap politik, memisahkan etika dari kebijakan.

Ahli lain, John Stuart Mill, menyuarakan pandangan utilitarianisme dan menganjurkan pengambilan keputusan politik yang didasarkan pada hasil praktis dan kesejahteraan masyarakat. Sosok-sosok lain yang juga bicara soal ini adalah Otto von Bismarck, John Dewey, dan Max Weber.

Fenomena pragmatisme politik sendiri mengilustrasikan pergeseran dari konflik ideologis atau rivalitas sejarah menuju kesadaran bahwa keberadaan musuh bersama mampu menyatukan faksi-faksi politik yang sebelumnya berlawanan, termasuk partai politik, kandidat, dan elite politik. Berbagai contoh kasus di berbagai belahan dunia menunjukkan bahwa pragmatisme politik menjadi kekuatan pendorong dalam membentuk aliansi baru yang mungkin tak terduga. Salam 4 jari bisa jadi salah satunya.

Dalam banyak kasus, partai politik yang pada awalnya bersaing sengit dalam pemilihan dapat menemukan titik temu pragmatis yang mendorong kolaborasi. Aliansi yang terbentuk sering kali dipicu oleh ancaman yang muncul selama kampanye atau kondisi eksternal yang memaksa partai-partai tersebut untuk mengesampingkan perbedaan mereka.

Pragmatisme politik menjadi daya penggerak yang memungkinkan partai politik yang sebelumnya berlawanan untuk menilai bahwa bekerja sama dapat memberikan keuntungan elektoral yang lebih besar daripada persaingan.

Pada tingkat partai politik, pragmatisme dapat menciptakan koalisi-kolasi elektoral yang kuat. Partai yang sebelumnya bermusuhan dapat menemukan kesamaan dalam tujuan tertentu, terutama ketika dihadapkan pada ancaman bersama yang dapat merugikan elektabilitas mereka. Sebagai contoh, partai-partai yang berada di spektrum politik yang berlawanan mungkin bersatu dalam wajah kandidat atau gerakan politik yang dianggap sebagai ancaman serius terhadap stabilitas politik yang ada.

Aliansi seperti ini sering kali dibentuk untuk memaksimalkan dukungan elektoral. Pragmatisme politik memicu partai-partai politik untuk mempertimbangkan kepentingan jangka pendek mereka dan menempatkan tujuan elektoral di atas perbedaan ideologis. Kombinasi kekuatan dan sumber daya partai-partai yang sebelumnya bersaing dapat menciptakan kekuatan politik yang lebih besar dalam upaya meraih kemenangan dalam pemilihan.

Selain partai politik, pragmatisme politik juga memainkan peran kunci dalam mengubah dinamika antara kandidat-kandidat yang awalnya bersaing secara ketat. Kandidat dari partai yang berbeda atau aliran politik yang berlawanan mungkin menemukan kesamaan dalam agenda tertentu atau menghadapi ancaman yang mengharuskan mereka untuk bekerja sama. Perubahan ini seringkali mencerminkan pergeseran prioritas dari kepentingan individual menjadi kepentingan bersama untuk memenangkan pemilihan.

Baca juga :  Pedang Bermata Dua Anies?

Contoh nyata dapat ditemukan dalam situasi di mana kandidat-kandidat dari partai yang berbeda mendukung satu sama lain ketika dihadapkan pada kandidat atau gerakan politik yang dianggap sebagai ancaman serius. Kasus Prabowo-Gibran yang jadi kandidat terkuat di Pilpres 2024 adalah contohnya. Narasi 1 putaran mau tidak mau membuat narasi salam 4 jari muncul sebagai antitesanya.

Dalam konteks ini, pragmatisme politik menjadi motor penggerak yang mengubah persepsi kandidat dan partai politik mengenai perlunya bekerja bersama untuk mencapai kemenangan elektoral.

Mega dan Surya Paloh, Ahok dan Anies

Dalam tingkat elite politik, pragmatisme seringkali menjadi kekuatan pendorong dalam membentuk aliansi yang strategis. Elite politik yang sebelumnya bersaing untuk memperebutkan kekuasaan dan sumber daya politik dapat menemukan kepentingan bersama ketika dihadapkan pada ancaman elektoral yang signifikan. Ini mencakup kesepakatan di antara pejabat pemerintah, tokoh-tokoh politik, dan pengambil keputusan tingkat tinggi untuk membentuk front bersama demi menjaga stabilitas politik dan memenangkan pemilihan.

Bersatunya 01 dan 03 akan menjadi momen bersatunya Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Ketum Partai Nasdem Surya Paloh. Dua sosok ini dikenal kerap saling bertolak belakang dan saling sindir dalam banyak kesempatan. Akan menarik melihat keduanya bersatu jika koalisi 01 dan 03 terwujud.

Yang lain adalah soal Ahok dan Anies. Publik tentu menantikan soal akan seperti ap ajika Ahok misalnya, menjadi juru kampanye untuk Anies.

Dengan demikian, dampak dari transformasi hubungan politik yang dipicu oleh pragmatisme politik dalam konteks kontestasi elektoral atau Pemilu dapat sangat signifikan. Kolaborasi antara faksi-faksi politik yang sebelumnya bersaing dapat menciptakan stabilitas politik yang diperlukan selama proses pemilihan dan setelahnya. Aliansi ini dapat meningkatkan efektivitas kampanye, memperluas basis dukungan, dan memberikan citra solidaritas yang kuat kepada pemilih.

Namun, seperti halnya dengan aspek-aspek pragmatisme politik lainnya, dampak jangka panjang dari aliansi elektoral dapat bervariasi. Setelah pemilihan selesai, dinamika politik internal mungkin kembali ke persaingan yang lebih tradisional. Oleh karena itu, penting untuk memahami bahwa pragmatisme politik dalam konteks elektoral seringkali bersifat situasional dan dapat bergantung pada faktor-faktor spesifik yang terkait dengan pemilihan tersebut.

Secara keseluruhan, pragmatisme politik telah membentuk lanskap politik suatu negara dengan mengubah faksi-faksi politik yang pada awalnya bersaing menjadi sekutu. Dalam kontestasi elektoral atau Pemilu, kepentingan bersama untuk mencapai kemenangan elektoral sering kali memicu partai politik, kandidat, dan elit politik untuk bekerja sama.

Dampaknya terhadap stabilitas politik dan dinamika elektoral menjadi sangat penting, dan kebijaksanaan pragmatis dalam membentuk aliansi bisa menjadi kunci untuk meraih sukses dalam proses pemilihan. Mungkin yang kita perlu lakukan adalah menunggu dalam sabar, akankah wacana salam 4 jari ini benar-benar bisa terwujud. (S13)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka.