HomeHeadlineAksi Gibran: Debat Hanyalah Political Entertainment?

Aksi Gibran: Debat Hanyalah Political Entertainment?

Dengarkan artikel ini:

Audio ini dibuat menggunakan AI.

Aksi Gibran Rakabuming Raka di debat ke-4 Pilpres beberapa hari lalu masih menjadi perbincangan publik. Gibran yang tampil agresif dalam debat juga tampil menarik lewat beberapa gimik. Memang tidak sedikit kritik yang datang pada putra sulung Presiden Jokowi itu terkait substansi gimiknya. Namun, Gibran sebetulnya telah menunjukkan inti utama dari debat Pilpres yang nyatanya hanya sekedar sebuah hiburan alias political entertainment.


PinterPolitik.com

Gibran Rakabuming Raka, calon wakil presiden nomor urut 02 dalam pemilihan presiden 2024, menunjukkan penampilan yang cukup mengesankan dalam debat keempat. Gibran dikenal karena gaya berbicaranya yang lugas dan penuh percaya diri, tampaknya berhasil menarik perhatian banyak pemirsa dan penonton debat.

Salah satu momen yang paling menonjol adalah ketika Gibran berulang kali menyindir lawan-lawan debatnya, Muhaimin Iskandar atau Cak Imin dan Mahfud MD. Misalnya, ia menyinggung Cak Imin yang membaca catatan saat menjawab pertanyaan, dan mengkritik Mahfud MD yang tidak mampu menjawab pertanyaan yang diajukan – utamanya terkait masalah greenflation. Gibran juga menyinggung soal komitmen pelestarian lingkungan terkait penggunaan botol plastik oleh kubu Cak Imin.

Gimik-gimik yang digunakan Gibran, seperti gerakan kepala yang seolah-olah mencari-cari barang yang hilang saat menyinggung Mahfud MD, berhasil menciptakan suasana yang lebih santai dan menghibur. 

Cawapres Prabowo Subianto itu juga beberapa kali meninggalkan podium saat memaparkan visi-misinya, sebuah langkah yang cukup berani dan menunjukkan kepercayaan dirinya – meskipun kemudian diingatkan moderator untuk berbicara dari podium.

Namun, penampilan Gibran tidak hanya tentang gimik. Ia juga menunjukkan pemahaman yang baik tentang isu-isu penting, seperti hilirisasi dan potensi nikel Indonesia. Gibran menekankan pentingnya melanjutkan hilirisasi dan mengembangkannya ke sektor lain, seperti sektor maritim dan digital.

Tak lupa pula ia menyinggung soal isu lingkungan, penciptaan lapangan kerja di sektor pelestarian lingkungan – yang ia sebut sebagai green jobs – dan lain sebagainya.

Secara keseluruhan, penampilan Gibran di debat keempat ini menunjukkan bahwa ia adalah seorang kandidat yang berani dan percaya diri. Ia mampu menggabungkan serangan terhadap lawan debatnya dengan pembahasan isu-isu penting, sembari memberikan hiburan bagi pemirsa dengan gimik-gimiknya.

Terkait gimik ini, tidak sedikit yang melemparkan kritik. Ada yang menyebut Gibran tak punya etika. Ada yang menyebut Gibran tak mendebatkan hal yang substansial. Namun, kalau ditelusuri soal poin debat Pilpres itu sendiri, Gibran tidaklah salah. Pasalnya banyak pihak menyebut debat Pilpres adalah political entertainment dan bukan pemaparan substansi semata. Benarkah demikian?

Baca juga :  Rahasia Kesaktian Cak Imin-Zulhas?

Political Entertainment

Debat Pilpres seringkali menjadi salah satu momen paling dinanti dalam proses demokrasi. Namun, ada argumen yang menyatakan bahwa debat Pilpres sebetulnya hanyalah hiburan politik belaka. Ada beberapa poin penjelasan mengapa argumentasi itu lahir.

Pertama-tama, debat Pilpres sering kali lebih menekankan pada retorika daripada substansi. Calon-calon cenderung mengedepankan kemampuan berbicara mereka daripada memberikan rincian konkret mengenai kebijakan yang akan mereka terapkan.

Pemilih sering kali disuguhkan dengan pidato berapi-api dan kata-kata indah tanpa adanya konten yang jelas. Hal ini membuat debat Pilpres terkesan seperti pertunjukan panggung, di mana performa retorika menjadi lebih penting daripada kebijakan yang akan diimplementasikan.

Kedua, format debat Pilpres sering kali tidak mendukung diskusi yang mendalam. Batasan waktu yang ketat sering kali membuat calon kesulitan untuk menyampaikan pandangan mereka secara komprehensif.

Selain itu, pertanyaan yang diajukan oleh moderator sering kali bersifat umum dan terkadang bersifat seremonial, tanpa memberikan kesempatan bagi calon untuk merinci rencana mereka secara mendalam. Hasilnya, debat Pilpres cenderung hanya menyentuh permukaan isu-isu krusial dan tidak memberikan pemahaman yang cukup pada pemilih.

Ketiga, debat Pilpres dapat menjadi ajang pencitraan semata. Calon-calon sering kali lebih fokus untuk menciptakan citra yang positif dari pada memberikan informasi yang jujur dan transparan. Mereka dapat menggunakan teknik retorika dan bahasa tubuh untuk mengalihkan perhatian dari isu-isu kontroversial atau kebijakan yang kurang populer.

Ini terjadi dalam gimik-gimik Gibran maupun gimik-gimik kandidat lain, misalnya capres Anies Baswedan. Dengan demikian, debat Pilpres menjadi lebih mirip dengan pertunjukan di mana image dan penampilan menjadi lebih dominan daripada substansi dan integritas.

Keempat, media sosial sering kali memperkuat karakter debat Pilpres sebagai hiburan politik. Klip-kilp singkat dari momen dramatis atau kesalahan lawan debat seringkali menjadi viral dan mendapatkan perhatian lebih besar daripada substansi dari perdebatan itu sendiri. Dalam era media sosial, perhatian masyarakat sering kali tertuju pada momen-momen spektakuler dan kontroversial, yang membuat debat Pilpres lebih terfokus pada aspek hiburan dan sensasional.

Baca juga :  Anies Di-summon PKS!

Namun demikian, meskipun debat Pilpres dapat terlihat sebagai hiburan politik, penting untuk diingat bahwa pemilih juga memiliki tanggung jawab untuk mencari informasi lebih lanjut dan memahami posisi serta rencana calon dengan lebih mendalam.

Terkait political entertainment ini ada beberapa penulis yang membahasnya dengan cukup mendalam. Neil Postman dalam bukunya yang berjudul “Amusing Ourselves to Death,” membahas bagaimana media visual, termasuk debat politik di televisi, cenderung mengubah politik menjadi bentuk hiburan. Meskipun buku ini lebih umum membahas dampak media pada budaya, pandangan ini dapat dihubungkan dengan cara debat Pilpres disampaikan dan diterima oleh masyarakat.

Penulis lain, Jeffrey M. Berry dan Sarah Sobieraj dalam buku mereka yang berjudul “The Outrage Industry: Political Opinion Media and the New Incivility,” membahas bagaimana media, termasuk debat politik, cenderung fokus pada kontroversi dan konflik untuk menarik perhatian pemirsa. Hal ini dapat mengubah debat menjadi bentuk hiburan yang lebih menonjol daripada pertukaran gagasan substantif.

Banyak Isu Dilupakan?

Karena statusnya sebagai political entertainment, tidak heran banyak isu penting yang kemudian terlupakan dari debat cawapres kemarin. Padahal isu-isu ini cukup penting dan menjadi konsen masyarakat banyak.

Isu-isu antara lain: subsidi energi – baik itu bahan bakar maupun listrik – yang menjadi beban APBN, lalu ada persoalan polusi udara, hak atas air bersih, masalah banjir dan penurunan permukaan tanah, lalu soal krisis iklim akibat penggunaan batu bara, inflasi pangan, dan lain sebagainya.

Isu-isu ini akhirnya kehilangan panggung dan tak mendapatkan perhatian. Padahal kesemuanya menjadi masalah penting yang tentu harus diketahui masyarakat tawaran kebijakan apa yang dicanangkan para kandidat terkait hal-hal tersebut.

Dengan demikian, sekali lagi fakta ini menjadi penguat argumentasi bahwa debat Pilpres memang menjadi hiburan semata. Kini tinggal kebijaksanaan pemilih, akankah terbuai pada retorika dan narasi debat semata, atau fokus pada gagasan kampanye yang lebih nyata dan berdampak besar untuk kehidupan yang lebih baik. (S13)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Anies Di-summon PKS!

Ahmad Syaikhu in a battle against Dedi be like, “I summon Anies Baswedan!”  #Anies #AniesBaswedan #PilkadaJawaBarat #AhmadSyaikhu #IlhamHabibie #PKS #pinterpolitik #infografis #politikindonesia #beritapolitik #beritapolitikterkini

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

More Stories

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.