HomeHeadlineAnies-Ganjar, Debat Cerdik Licik?

Anies-Ganjar, Debat Cerdik Licik?

Tujuan populis untuk memenangkan impresi dalam debat Pilpres 2024 yang tampak diperagakan Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo, membuat keduanya secara tak langsung meremehkan implementasi kebijakan yang pada realitanya tak mudah. Sayangnya, serangan bertendensi populis itu disambut positif dan justru bisa berbahaya. Mengapa demikian?


PinterPolitik.com

Jika debat capres-cawapres 2024 memengaruhi pilihan politik karena tampak memukau dengan retorikanya, hal itu kiranya akan berbahaya.

Ya, debat terakhir capres yang berlangsung pada tanggal 7 Januari kemarin lusa memantik diskursus mengenai “debat” itu sendiri.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahkan turut angkat bicara dengan menyebut ajang tersebut kurang nilai edukasi, minim substansi, dan justru menjadi ajang menyerang personal.

Seperti yang diketahui, sejumlah serangan di antara satu capres ke capres lainnya menjadi pembahasan menarik pasca debat. Anies Baswedan jamak disorot karena sejak awal sesi melakukan “serangan” kepada Prabowo Subianto.

Ganjar Pranowo pun demikian. Salah satu subjek, yakni aspek pertahanan dan korelasinya dengan Prabowo yang notabene Menteri Pertahanan petahana menjadi sasaran serang Anies dan Ganjar.

Namun, serangan yang dinilai Presiden Jokowi memiliki irisan ke ranah personal dan memantik reaksi tertentu dalam debat, kiranya justru diharapkan oleh pihak penantang, dalam hal ini Anies maupun Ganjar.

menguji populisme anies

Itu dikarenakan, Anies dan Ganjar tampak memahami betul pancingan dan retorika mereka dalam debat akan bermuara pada reaksi Prabowo, yang kerap dinilai “emosional”.

Kendati lumrah saja dalam sebuah forum berformat debat, hal itu kiranya memang tak memiliki dampak substansial dalam menilai kompetensi kepemimpinan negara secara makro maupun mikro. Mengapa demikian?

Hanya Asal Menang Debat?

Impresi untuk tampil dominan di hadapan pemilih, tampak menjadi satu-satunya yang ingin dicapai dari debat capres 2024. Hal ini, tentu dapat menjadi fatamorgana di mana mengaburkan kapasitas kandidat yang tak memiliki pedagogi mumpuni, dengan mereka yang jago beretorika.

Baca juga :  Elon Musk, “Fahri Hamzah”-nya Trump?

Terdapat dua hipotesis dalam efek debat politik kandidat terhadap preferensi pemilih. Pertama, disposisi sebelum debat yang menentukan perubahan persepsi pemenang debat. Kedua, kesepakatan dan ketidaksepakatan terhadap momen-momen debat penting dalam menentukan perubahan dalam evaluasi pemenang pasca debat.

Selain itu, mengacu pada teori wacana kampanye politik, kandidat umumnya menggunakan tiga strategi retoris dalam debat, yakni attack (serangan), acclaim (pujian), serta defense (pembelaan).

Attack, menjadi taktik yang cenderung berdampak pada impresi positif bagi kandidat yang menyampaikan isi pesan dan dinamika aksi-reaksi debat dengan cerdik, atau tak berlebihan juga untuk menyebutnya “licik”.

Taktik populis ini pun kerap dipraktikkan dalam debat kandidat pemimpin negara, seperti di Amerika Serikat (AS), misalnya. Pada Pilpres AS 2016, Donald Trump berhasil tenar dan mendapat simpati berkat bombardir serangan “licik” kepada Hillary Clinton di debat kandidat.

Frasa “licik” pun menjadi menarik karena seolah dikombinasikan dengan kecerdikan Anies maupun Ganjar di debat Pilpres 2024 ketiga kemarin lusa.

Anies, misalnya, sejak awal menyerang Prabowo dengan mengaitkan aspek personal dengan menyebut data luas kepemilikan lahan pribadi sang Menhan. Sementara itu, Ganjar tampak menyerang dengan secarik kertas berisi data spesifik dan memaksa Prabowo untuk mengklarifikasinya saat itu juga.

Kembali, yang disayangkan adalah penerimaan audiens, terutama swing dan undecided voters yang didominasi milenial dan gen Z di linimasa, cenderung mengapresiasi serangan-serangan tersebut.

Akan tetapi, elaborasi dari sejumlah interpretasi di atas bahwa debat yang disebut Presiden Jokowi tak mengedukasi kiranya tak sepenuhnya tepat, dalam artian debat memang tak merepresentasikan substansi secara komprehensif mengenai kapasitas seorang kandidat dalam memimpin negeri. Mengapa demikian?

3 gaya diplomasi para capres 2024

Jangan Tertipu Debat?

Satu hal yang kiranya luput bahwa debat yang hanya menyediakan durasi dua sampai empat menit mustahil dapat menjawab kapasitas konseptual dan praktis seorang pemimpin negara.

Baca juga :  “Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Debat kandidat sebuah kontestasi elektoral, terlebih calon kepala negara, jamak dinilai hanya sebatas political entertainment semata.

Lakonnya hanya menjadi ajang show off para kandidat, terlepas dari konteks apa yang dibicarakan dan hanya bertujuan mengimpresikan dominasi lebih dibandingkan kandidat lain.

Jika tujuannya adalah edukasi politik, mungkin cukup mustahil pula gagasan besar yang dapat dieksekusi dijelaskan secara memadai dan presisi dalam durasi yang begitu singkat.

Terlebih saat berbicara mengenai data spesifik, seperti senjata yang digunakan Anies dan Ganjar untuk menyerang Prabowo.

Pada akhirnya, data seperti yang digunakan Anies dan Ganjar, maupun akronim “SGIE” seperti yang digunakan Gibran Rakabuming Raka di debat cawapres sebelumnya seolah menjadi senjata jitu untuk membuat lawan tersudut secara impresi, bukan substansi.

Setiap kandidat, termasuk Anies, Ganjar, dan Gibran kiranya bukan tidak mungkin memahami hal ini. Ihwal yang membuat mereka mempraktikkannya.

Namun, tidak dengan Prabowo, Muhaimin Iskandar, hingga Mahfud MD yang mungkin memiliki karakteristik dan kemampuan penyampaian komunikasi politik berbeda.

Secara praktikal, impresi di debat tak mampu menjamin apakah kandidat dapat menjalankan kepemimpinan yang membutuhkan kemampuan yang komprehensif, seperti mengelola koalisi politik, dengan berbagai dinamika dan stabilitasnya.

Di titik ini, diskursus debat yang dengan advantage attack kandidat yang mempraktikkannya kiranya harus lebih ditinjau jika benar-benar memengaruhi preferensi pemilih.

Pemilih pun harus cermat dalam menilai kandidat secara komprehensif, bukan hanya karena kesan debat semata. (J61)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Anies Di-summon PKS!

Ahmad Syaikhu in a battle against Dedi be like, “I summon Anies Baswedan!”  #Anies #AniesBaswedan #PilkadaJawaBarat #AhmadSyaikhu #IlhamHabibie #PKS #pinterpolitik #infografis #politikindonesia #beritapolitik #beritapolitikterkini

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

More Stories

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).