HomeNalar PolitikIsrael-Palestina Adalah Perang yang “Dipelihara”? 

Israel-Palestina Adalah Perang yang “Dipelihara”? 

Peperangan yang terjadi antara Israel dan Palestina adalah pertempuran yang sudah sangat lama berlangsung. Sebagai negara yang dapat dukungan kuat, mengapa Israel cenderung membiarkan perang ini terjadi begitu lama? 


PinterPolitik.com 

Perang antara Israel dan Palestina di Gaza telah mencapai tahap baru yang mengerikan. Sejak hari Jumat kemarin (22/12), jumlah korban tewas warga Palestina di Gaza sudah menembus angka 20.000. Dari angka tersebut, Kementerian Kesehatan Palestina menyebut sebanyak 2/3 dari total korban adalah anak-anak dan perempuan. 

Patut diakui bahwa perang yang terjadi sekarang telah menjadi bencananya sendiri, namun, di samping itu, bila kita melihat sejarah pertarungan antara Israel dan Palestina, kita akan menyadari bahwa ada sesuatu yang cukup ganjil dalam peperangan ini.  

Perang antara Israel dan Palestina sudah berlangsung selama puluhan tahun, dari ketika pertama kali Israel memproklamasikan kemerdekaannya pada 1948, hingga sekarang, akan tetapi, sampai saat ini bentuk akhir dari perseteruan berdarah ini masih belum terlihat juga.  

Menariknya, sebagai negara yang mendapat bantuan Barat, khususnya dari Amerika Serikat (AS), Israel secara de facto sesungguhnya memiliki kapabilitas militer yang jauh lebih kuat dari Palestina. Selain alat-alat militer yang super canggih, Israel juga selalu mendapat sokongan finansial dari para sekutunya. Atas dasar itu, mungkin saja Israel sebetulnya bisa menguasai seluruh wilayah Palestina bila benar-benar menginginkannya, akan tetapi, hal itu tidak pernah terjadi.  

Karena itu, tidak sedikit yang sampai bertanya-tanya, kenapa Israel tidak pernah benar-benar menggunakan kekuatan penuhnya untuk kuasai Gaza? Dan mengapa seakan-akan perang yang terjadi berkali-kali di Palestina “dibiarkan” terjadi berulang-ulang? 

image 11

Alasan Resistensi Palestina yang Sesungguhnya 

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, kita perlu memahami ulang secara seksama kenapa bisa muncul sebuah konflik yang berkepanjangan antara Israel dan Palestina melalui kacamata politik. 

Baca juga :  Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Well, ketika masa awal-awal peperangannya dengan Palestina, Israel sempat melewati masa di mana mereka hampir benar-benar “musnah”. Masa yang dimaksud itu adalah Perang Enam Hari 1967 dan Perang Yom Kippur 1973. Kala itu, Israel digempur dari seluruh penjuru oleh negara-negara Arab, termasuk tetangga-tetangga terdekatnya seperti Mesir, Arab Saudi, dan Suriah. 

Walaupun perang-perang itu dimenangkan oleh Israel, hal ini memantik sebuah kesadaran dalam haluan politik luar negeri Negara Zionis tersebut, yakni mereka perlu sedikit merendahkan ambisi militer dan memulai normalisasi hubungan diplomatis dengan negara-negara Arab, karena Israel sadar bahwa konflik yang berkelanjutan dengan negara-negara tetangganya, meskipun kekuatan militer mereka tidak tinggi, dapat mengancam eksistensi Israel.  

Alhasil, setelah tahun 1973, Israel “memoles” hubungannya dengan para negara Arab dengan memulai kerja sama ekonomi. Perkembangan ekonomi yang terjadi sejak masa itu sangat membantu proses pengembangan negara-negara Arab di Timur Tengah. 

Masalahnya, Israel tidak melihat hubungan yang serupa dengan Palestina akan menguntungkan mereka, karena bila Palestina dibiarkan membangun kekuatannya, itu akan menjadi tantangan bagi hak Israel untuk benar-benar menguasai seluruh wilayah Palestina. Akibatnya, Israel membiarkan hubungan diplomatisnya dengan Palestina berlangsung buruk. Akibatnya, situasi ekonomi di Palestina pun ikut memburuk dari masa ke masa. Situasi yang demikian lantas menjadi pondasi dari munculnya kelompok-kelompok milisi di Palestina. 

Lantas, kenapa Israel tidak okupasi Palestina secara total saja? 

image 12

Sebuah Perang yang Diternak? 

Ada asumsi bahwa Israel membiarkan milisi di Gaza “tetap hidup” karena mereka melihat itu sebagai bagian dari manajemen konflik yang krusial. 

Seperti yang diungkapkan ilmuwan politik di Brookings, Daniel Byman, milisi-milisi di Palestina bisa jadi sebetulnya dipandang sebagai necessary evil, atau kejahatan yang dibutuhkan untuk tetap ada oleh Israel.  

Baca juga :  Indonesia First: Doktrin ala Prabowo?

Pertimbangan terkuat yang mendorong Israel untuk tidak menghabisi milisi di Gaza adalah untuk menghindari potensi amarah negara-negara Arab dan mencegah meluasnya konflik ke tingkat yang lebih besar. Tindakan agresif yang melibatkan intervensi militer masif selalu berpotensi memicu reaksi keras dari negara-negara tetangga, terutama mereka yang memiliki solidaritas dengan Palestina. 

Terlebih lagi, Bilal Y. Saab dalam tulisannya di Chatam House sempat menyebutkan bahwa meski Israel dan tetangga lainnya kini relatif damai, dendam politik dan kultural sebetulnya masih terbenam di benak para keturunan pemimpin-pemimpin negara Arab hingga saat ini. Israel tentu tidak ingin adanya potensi perang besar lama terjadi kembali.  

Masalahnya, kemunculan milisi-milisi anti-Israel di Palestina adalah sebuah kesalahan yang harus ditelan mentah oleh Israel. Atas dasar itu, satu-satunya cara bagi mereka untuk mencegah munculnya kembali gerakan massal untuk memerangi Israel adalah dengan terus “memelihara” milisi di Gaza agar setidaknya tetap terus ada. 

Kembali mengutip Byman dalam tulisannya di Brookings, disebutkan bahwa Israel bahkan kerap meloloskan bantuan kemanusiaan dari Mesir untuk Gaza agar gerakan resistensi di sana bisa terus “terpelihara” dan bertahan hidup. Israel, kata Byman, berpandangan bahwa bila kemusnahan warga Palestina terjadi secara cepat, itu otomatis akan memantik agresi militer dari negara-negara Arab. 

Namun, perlu diingat bahwa argumen-argumen yang disampaikan di atas hanya salah satu dari sekian banyaknya pendapat tentang mengapa Israel cenderung membiarkan konfliknya dengan Palestina berlangsung lama.  

Pada akhirnya, besar harapan kita agar perang yang sudah berlangsung terlalu lama di sana bisa selesai secepat mungkin dengan terus meningkatnya tekanan internasional. (D74)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Anies Di-summon PKS!

Ahmad Syaikhu in a battle against Dedi be like, “I summon Anies Baswedan!”  #Anies #AniesBaswedan #PilkadaJawaBarat #AhmadSyaikhu #IlhamHabibie #PKS #pinterpolitik #infografis #politikindonesia #beritapolitik #beritapolitikterkini

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

More Stories

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia?