HomeRuang PublikIndonesia Tidak Butuh Gimik Politik

Indonesia Tidak Butuh Gimik Politik


Oleh: Raihan Muhammad

PinterPolitik.com

Saat ini, bangsa Indonesia telah memasuki tahun politik. Kita akan melangsungkan pesta demokrasi untuk menyambut Hajatan Pemilu 2024. Semangat demokrasi berkobar bagi setiap warga dalam kesempatannya untuk memberikan suaranya. Pemilu 2024 menjadi tonggak besar yang menentukan arah masa depan negara.

Dalam proses pemilihan nanti, setiap suara punya bobot yang sama. Itulah salah satu keindahan demokrasi: kekuatan kolektif dari beragam suara yang bersatu dalam memilih pemimpin. Namun, tanggung jawab besar juga terletak pada pundak setiap pemilih.

Kita ditantang untuk menggali informasi sebanyak mungkin tentang calon pemimpin, memahami visi dan misi mereka, serta merefleksikan nilai-nilai yang diusung. 

Akan tetapi, ada tantangan yang muncul, masyarakat dibombardir dengan beragam strategi politik yang terkadang lebih mengutamakan gimik ketimbang substansi. Strategi politik yang terfokus pada gimik sering kali mengaburkan esensi dari proses pemilihan.

Padahal, keberhasilan sebuah kepemimpinan tidak bisa cuma dibangun atas dasar penampilan luar atau janji-janji manis belaka. Kualitas seorang pemimpin seharusnya tercermin dari kompetensi, integritas, dan visi-misi yang kuat untuk mewujudkan perubahan yang nyata bagi masyarakat.  

Masyarakat perlu waspada terhadap upaya-upaya yang mengalihkan perhatian dari substansi menjadi sekadar pencitraan semata. Informasi yang akurat dan mendalam tentang rekam jejak, kebijakan, serta rencana konkret calon pemimpin perlu diutamakan dalam pengambilan keputusan.  

Kesadaran ini penting agar suara yang disuarakan pada Hajatan Pemilu 2024 merupakan hasil dari pemikiran yang matang dan bertanggung jawab.

Kita semua punya tanggung jawab untuk memastikan bahwa Pemilu 2024 berjalan dengan integritas dan memberikan kepercayaan bagi masa depan Indonesia yang lebih baik. Substansi dalam proses politik jauh lebih penting ketimbang gimik yang sifatnya cuma sementara. 

Permasalahan di Indonesia Sangat Ruwet 

Permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini sangat kompleks, seperti permasalahan kemiskinan, ketimpangan sosial, isu lingkungan, kesehatan, dan pendidikan. Maka, perlu adanya gagasan konkret untuk bisa mengatasi semua masalah ini.

Salah satu langkah penting yang bisa diambil oleh calon ‘nakhoda’ Republik Indonesia adalah mengimplementasikan kebijakan yang berpihak kepada siapa saja, termasuk kaum marginal, secara berkelanjutan dan konkret. 

Selain itu, langkah-langkah konkret dalam mengurangi ketimpangan sosial bisa dilakukan dengan memperkuat sistem jaminan sosial dan menciptakan kesempatan yang adil bagi semua lapisan masyarakat, supaya tercipta inklusivitas.  

Di samping itu, penting juga untuk mendorong kebijakan perlindungan lingkungan yang kuat dan inovatif guna menjaga sumber daya alam yang kita miliki. Dengan fokus pada pendekatan holistik dan kerja sama lintas sektor, kita bisa merintis jalan menuju solusi yang lebih baik untuk masa depan Indonesia yang lebih cerah. 

Keterlibatan aktif dari seluruh elemen masyarakat menjadi kunci dalam menyelesaikan permasalahan yang kompleks ini. Kompleksitas masalah ini memerlukan pemimpin yang punya keahlian dalam membangun strategi, memahami urgensi dari setiap masalah, dan mampu merumuskan solusi-solusi berkelanjutan secara konkret.  

Pemimpin yang terpilih mesti punya komitmen kuat untuk menjaga dan melanjutkan program-program yang sudah berjalan serta terbuka terhadap inovasi baru yang mungkin diperlukan pada masa depan. Kesadaran akan kompleksitas masalah adalah langkah awal untuk memulai diskusi dan tindakan yang lebih mendalam serta terarah.  

Masalah di Indonesia sangat ruwet, maka untuk menyelesaikan persoalan-persoalan ini, kita tak perlu lagi terus-menerus diperhadapkan dengan strategi politik yang cuma gimik, seperti joget-joget untuk kebutuhan konten.

Calon ‘nakhoda’ Indonesia mesti “menjual” dan mengonsepkan gagasan dan narasi-narasi yang substansial dan solutif, tidak cukup cuma melakukan gimik politik yang sekadar mencari perhatian sementara demi meraup elektabilitas.

Maka, kepercayaan dan dukungan dari publik dapat diperoleh bukan cuma dari penampilan, tetapi dari substansi ide dan rencana konkret yang mereka usung. 

Saat ini, yang betul-betul diperlukan adalah kehadiran pemimpin yang punya gagasan jelas serta langkah nyata untuk mengatasi setiap permasalahan. Pemimpin semacam ini akan mampu membawa perubahan yang berarti bagi masyarakat, melalui kebijakan-kebijakan yang konkret dan terukur.

Baca juga :  Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Dengan begitu, akan terbentuk fondasi yang kokoh untuk mengatasi kompleksitas masalah yang ada, membuka jalan menuju kemajuan yang sesungguhnya bagi negara ini. 

Rakyat Harus Kritis 

Beberapa tokoh politik, termasuk Prabowo, mengusung gagasan memberi makan gratis yang memicu perdebatan di media sosial. Prabowo berencana memberikan makan siang dan minum susu gratis untuk murid di sekolah, pesantren, balita, dan bantuan gizi untuk ibu hamil. Namun, anggaran sekitar Rp400 triliun diperkirakan dibutuhkan untuk melaksanakan program tersebut. 

Selain Prabowo, beberapa politisi lain juga menggunakan kata “gratis” dalam program-program mereka untuk menarik perhatian publik. PSI, misalnya, menyuarakan program BPJS Kesehatan gratis dan kuliah gratis. Program-program semacam ini telah menjadi hal biasa di tengah persaingan politik. 

Akan tetapi, janji-janji gratis tersebut sering kali menuai pertanyaan tentang kenyataan pelaksanaannya dan dampaknya terhadap anggaran negara.

Misalnya, salah satu Cawapres 2024, Muhaimin Iskandar, berbicara tentang BBM gratis, yang sebenarnya lebih menekankan pada subsidi BBM dengan harga serendah mungkin, terutama bagi pemilik sepeda motor. 

Kemudian, salah satu Capres 2024 lainnya, Ganjar Pranowo dari PDIP yang juga kerap menggunakan narasi-narasi populis ‘wong cilik’. Salah satu janji kampanye Ganjar Pranowo adalah mengenai kenaikan gaji guru hingga Rp30 juta.

Namun, untuk melaksanakannya, diperlukan dana besar, lebih dari Rp120 triliun. Ini menunjukkan kepeduliannya pada warga, tetapi yang masih ada pertanyaannya adalah mengenai sumber dana program ini, apakah APBN mampu membiayainya? 

Program-program populis semacam ini memang menarik karena dekat dengan kebutuhan sehari-hari masyarakat. Namun, pertanyaan yang lebih mendasar adalah apakah program-program tersebut realistis dan dapat dijalankan?

Isu ekonomi tetap menjadi prioritas bagi sebagian besar masyarakat, yang mengharapkan solusi atas masalah-masalah ekonomi yang dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. 

Rakyat punya peran yang sangat penting dalam menghadapi strategi politik yang cenderung menggunakan gimik dan narasi populis. Kritis dalam mengamati dan menilai setiap langkah politik yang dihadirkan oleh pemimpin atau partai politik adalah kunci untuk menghindari jebakan dari strategi yang lebih mengutamakan pencitraan ketimbang substansi. 

Ketika politisi menggunakan gimik untuk menarik perhatian, rakyat perlu melakukan analisis yang cermat terhadap pesan yang disampaikan. Kritis dalam mempertanyakan tujuan sebenarnya dari aksi tersebut serta dampak yang akan ditimbulkannya bagi masyarakat menjadi hal yang sangat penting.

Rakyat perlu membedakan antara upaya nyata untuk memecahkan masalah dengan sekadar upaya pencitraan yang hanya bertujuan untuk mendapatkan dukungan tanpa memberikan solusi konkret. 

Selain itu, narasi populis sering kali menggoda dengan janji-janji yang terdengar menggiurkan, tetapi mungkin tidak realistis. Rakyat haruslah kritis dalam menganalisis dan mempertanyakan kebenaran dari janji-janji tersebut.

Menggali informasi lebih dalam, memeriksa fakta, dan memahami konteks dari janji politik akan membantu rakyat untuk tidak terjebak pada narasi yang hanya memanipulasi opini publik. 

Dalam situasi politik yang diwarnai oleh gimik dan narasi populis, kekritisan rakyat menjadi benteng penting untuk mempertahankan kebenaran, integritas, dan kepentingan masyarakat secara keseluruhan.

Mendukung pemimpin atau partai politik bukan semata-mata karena pesan yang terdengar menarik, tetapi karena rekam jejak dan kebijakan nyata yang dapat membawa perubahan positif bagi bangsa dan negara. 

Suara generasi Z dan generasi milenial akan menjadi mayoritas pada Hajatan Pemilu 2024. KPU telah menetapkan DPT untuk Pemilu 2024 dengan total 204.807.222 pemilih. Mayoritas pemilih berasal dari generasi Z dan milenial, yang masing-masing menyumbang sekitar 33,60% dan 22,85% dari total DPT. Gabungan kedua generasi ini mencapai lebih dari 113 juta pemilih atau sekitar 56,45% dari keseluruhan. 

Akan tetapi, generasi muda, khususnya Gen Z dan milenial, rawan dijadikan sebagai objek politik oleh elite-elite politik untuk memenuhi hasrat kekuasaan mereka. Maka, perlu adanya upaya pencegahan dan penanggulangan oleh generasi muda untuk menangkal keugal-ugalan mereka yang tamak akan kekuasaan.  

Baca juga :  Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Memilih pemimpin adalah tanggung jawab yang besar. Rakyat, khususnya generasi muda, perlu berpikiran kritis dan cerdas dalam menilai calon pemimpin, memahami visi, kebijakan, dan integritas mereka.

Jangan sampai rakyat seperti membeli kucing dalam karung—kita harus berhati-hati dan teliti dalam memilih ‘Nakhoda’, supaya arah atau tujuannya jelas: ke ‘pelabuhan’ yang indah dan baik.

Kontroversial Strategi Gimik Politik 

Gimik politik merupakan strategi yang kontroversial. Di satu sisi, gimik politik mungkin berhasil dalam menarik perhatian publik dan meraup popularitas. Namun, di sisi lain, dalam jangka panjang, tergantung pada konteks dan dampaknya, gimik politik bisa jadi justru akan menghambat kemajuan.  

Ketika para calon pemimpin menggunakan gimik politik untuk menarik perhatian, terkadang substansi dari masalah atau solusi yang mereka tawarkan bisa hilang di tengah sorotan yang lebih pada penampilan. Ini bisa mengalihkan fokus dari isu-isu substansial yang memerlukan perhatian serius.  

Dalam persaingan Pilpres 2024, setiap pasangan calon presiden menggunakan pelbagai strategi untuk menarik perhatian pemilih, terutama generasi muda. Misalnya, Prabowo dengan “joget gemoy“, Ganjar-Mahfud dengan salam tiga jari, dan Anies-Muhaimin dengan mengundang kritik serta konten kreator.

Pendekatan ini dianggap sebagai gimik politik yang berhasil menarik perhatian dan popularitas, terutama karena tren di kalangan muda, tetapi juga punya risiko kehilangan substansi ide politik.  

Menurut beberapa lembaga riset politik, gimik politik efektif dalam membangun popularitas karena menjadi perbincangan populer dan dekat dengan generasi muda secara psikologis. Meski demikian, risikonya adalah minimnya ide dan gagasan yang disampaikan, yang dapat mengurangi substansi politik dan diskusi yang substansial.

Mereka menegaskan bahwa sementara gimik dapat berhasil dalam menarik perhatian, tetap penting untuk memperkuat gagasan, program, dan substansi politik agar pemilih dapat yakin dan percaya pada calon yang dipilih.  

Bagaimanapun juga, strategi ini mampu meraih popularitas yang signifikan pada era media sosial, misalnya yang terjadi pada kemenangan Ferdinand “Bongbong” Marcos Jr pada pilpres di Filipina.

Dalam dunia yang diwarnai dengan perhatian singkat, meme, dan tren viral, gimik politik bisa menjadi alat yang sangat efektif dalam menyebarkan pesan politik dan menjangkau audiens yang luas.  

Namun, pertanyaannya tetap “apakah popularitas ini akan berujung pada pemahaman yang lebih dalam tentang visi, misi, dan rencana konkret yang diusung oleh para calon pemimpin?”

Oleh karena itu, ada suatu kebutuhan mendesak untuk menyeimbangkan antara daya tarik gimik politik dan esensi substansial dari gagasan politik.  

Para kandidat perlu mampu mengintegrasikan kedua hal ini secara cerdas, menjadikan gimik politik sebagai pintu gerbang yang membawa pemilih ke dalam pemahaman yang lebih dalam tentang agenda politik yang mereka bawa.

Menggunakan momentum ini sebagai sarana untuk menyoroti masalah yang signifikan dan merangkul dialog konstruktif tentang solusi konkret akan menjadi kunci untuk memastikan bahwa popularitas yang diraih juga didasari oleh pengertian yang kokoh akan rencana masa depan negara. 

Strategisnya, pendekatan gimik politik bisa menjadi pelengkap yang mendukung substansi program yang dijanjikan oleh calon.

Intinya, gimik politik menjadi cara menarik perhatian generasi muda ke dunia politik, tetapi tetap diperlukan pendekatan yang substansial untuk membangun keyakinan pemilih pada visi, misi, dan program yang ditawarkan oleh setiap pasangan calon. 


Artikel ini ditulis oleh Raihan Muhammad

Raihan Muhammad adalah seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang


Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Dengarkan artikel ini: Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut. Meski belum juga terjadi, banyak yang...

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Menyingkap Sportwashing dalam Laga Indonesia-Bahrain

Kontroversi ini perpanjang daftar kritik terhadap wasit dari Timur Tengah, di tengah dugaan bias dan pengaturan skor sepak bola internasional.

Unlike Jokowi, Prabowo Will Be His Own Man

More assertive foreign policy and democratic backsliding are most likely on the horizon as Prabowo Subianto becomes the next Indonesian president.

Fenomena Gunung Es “Fake Review”

Fenomena fake review kini banyak terjadi di jual-beli daring (online). Siapakah yang dirugikan? Konsumen, reviewer, atau pelaku usahakah yang terkena dampaknya? PinterPolitik.com Sejak berlangsungnya proliferasi internet...