Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi?
PinterPolitik.com
Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai kandidat terkuat untuk melanjutkan pemerintahan Jokowi. Dari berbagai kandidat potensial, Ganjar disebut memiliki potensi elektabilitas terbesar.
Namun, dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion (IPO), alih-alih sebagai yang terdepan, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru berada di posisi buncit. Anies-Muhaimin yang selama ini berada di posisi ketiga telah berhasil menyalip.
Melibatkan 1.400 responden, survei dilakukan pada periode 10-17 November 2023. Hasilnya, Prabowo Subianto (37,5%) – Gibran Rakabuming (36,2%), Anies Baswedan (32,7%) – Muhaimin Iskandar (34,1%), Ganjar Pranowo (28,3%) – Mahfud MD (27,1%).
Temuan IPO terbilang mengejutkan, mengingat sebelumnya survei elektabilitas Ganjar dan Prabowo begitu kompetitif, saling menyalip di posisi pertama dan kedua.
Lantas, kenapa elektabilitas Ganjar bisa turun ke posisi tiga?
Karma Kritik Jokowi?
Menurut Direktur Eksekutif IPO Dedi Kurnia Syah, menurunnya elektabilitas Ganjar terjadi karena keputusannya untuk mengkritik Jokowi. “Ganjar putuskan kritik Jokowi, maka keuntungannya akan didapatkan Jokowi dan berpindah ke Prabowo,” ungkap Dedi (20/11/23).
Simpulan Dedi juga bertolak pada temuan IPO terkait tokoh politik yang paling didengar dukungan politiknya, dan tokoh itu adalah Jokowi dengan 21,6%.
Tokoh lainnya adalah Megawati Soekarnoputri (14,9%), Jusuf Kalla (9,6%), Ridwan Kamil (5,7%), Sandiaga Uno (3,2%), Susilo Bambang Yudhoyono (2,3%), Susi Pudjiastuti (1,2%), Akhmad Syaikhu (1.0%), dan Khofifah Indar Parawansa (0.9%).
Dalam persen (%) | |
Joko Widodo | 21.6 |
Megawati Soekarnoputri | 14.9 |
Jusuf Kalla | 9.6 |
Ridwan Kamil | 5.7 |
Sandiaga Uno | 3.2 |
Susilo Bambang Yudhoyono | 2.3 |
Susi Pudjiastuti | 1.2 |
Ahmad Syaikhu | 1.0 |
Khofifah Indar Parawansa | 0.9 |
Zulkifli Hasan | 0.4 |
Airlangga Hartarto | 0.3 |
Said Aqil Sirodj | 0.3 |
Dengan kata lain, Ganjar dapat dikatakan blunder karena mengkritik tokoh yang paling didengar dukungan politiknya. Belakangan, Ganjar memang aktif mengkritik pemerintahan Jokowi.
Terbaru, Ganjar memberi nilai 5 pada aspek penegakan hukum. Kritik itu sebenarnya bisa juga ditafsirkan menyerang cawapresnya sendiri, Mahfud MD yang sekarang menjabat sebagai Menko Polhukam.
***
Hasil temuan IPO sekiranya adalah afirmasi atas riset-riset sebelumnya yang menyebutkan demokrasi Indonesia masih berbasis ketokohan.
Dalam riset yang dilakukan Power Welfare and Democracy (PWD) Universitas Gadjah Mada dan University of Oslo pada tahun 2014, misalnya, ditemukan bahwa demokrasi Indonesia yang terbentuk telah mengarah pada politik berbasis ketokohan.
Temuan itu sekiranya berkorelasi dengan tulisan Cheryl Boudreau yang berjudul The Persuasion Effects of Political Endorsements. Menurut Boudreau, masih kuatnya pengaruh dukungan politik tokoh tertentu diakibatkan oleh keterbatasan akses masyarakat umum dalam mendapatkan informasi politik.
Untuk menilai kehebatan kandidat calon presiden, misalnya, masyarakat perlu mendapatkan data keberhasilan mengelola anggaran, pertumbuhan ekonomi, hingga siapa saja patronase kandidat tersebut.
Namun pertanyaannya, seberapa banyak masyarakat yang memiliki akses itu? Persoalan itu yang membuat Boudreau melihat pentingnya political endorsement, baik dari politisi ataupun partai politik.
Blunder Ganjar dan PDIP
Menariknya jauh ke belakang, apa yang terjadi saat ini sebenarnya bukan murni kesalahan Ganjar, melainkan juga kesalahan PDIP. Sialnya, Ganjar diproyeksi untuk menjadi “Jokowi kedua”, sosok yang melanjutkan pemerintahan Jokowi.
Namun apa daya, Jokowi justru menyeberang dengan mendukung Prabowo Subianto dan tentunya sang putra sulung Gibran Rakabuming Raka. Keputusan itu jelas membuat PDIP kecewa. Berbagai kritik kemudian dikeluarkan. Ada isu politik dinasti, politik instan, tidak tahu terima kasih, dan seterusnya.
Selain itu, PDIP juga berusaha untuk membangun personal branding Ganjar sebagai penerus Jokowi. Namun, sekali lagi, itu tidak mungkin dilakukan setelah Jokowi berpindah haluan.
Ini belum lagi soal drama pertarungan kubu Ganjar dan kubu Puan Maharani sebelumnya. Kendati PDIP telah menetapkan dukungan kepada Ganjar, publik mesti mengingat bahwa PDIP yang justru mengkritik keras Ganjar sebelumnya.
Politisi senior PDIP Trimedya Panjaitan, misalnya, bahkan mempertanyakan apa prestasi Ganjar selama memimpin Jawa Tengah. “Ganjar apa kinerjanya 8 tahun jadi Gubernur, selain main di medsos apa kinerjanya?” ungkap Trimedya (1/6/2022).
Singkatnya, menurunnya elektabilitas Ganjar saat ini mungkin adalah karma karena mengkritik Jokowi. Bagaimana pun juga, Jokowi adalah tokoh publik yang paling didengar dukungan politiknya saat ini.
Alasan itu pula yang tampaknya membuat PDIP “belum berani” memecat Jokowi sebagai kader PDIP. (R53)