Pada akhirnya, swing voters atau pemilih yang belum menentukan sikap pasti di Pemilu dan Pilpres 2024 disebut hanya akan memilih aktor yang paling tidak mereka benci. Namun, jika ditelisik lebih mendalam, pemilih sebenarnya sama sekali tidak punya pilihan. Mengapa demikian?
Anies-Imin, Ganjar-Mahfud, maupun Prabowo-Gibran agaknya akan sangat menanti pilihan para swing voters pada 14 Februari 2024 nanti. Namun, swing voters sesungguhnya tidak benar-benar mendukung, menyukai, atau mengidolai mereka.
Swing voters sendiri adalah pemilih yang belum menentukan secara pasti pilihan politk mereka. Berdasarkan rilis beberapa lembaga survei berbeda, swing voters mencakup 30 hingga 40 persen pemilih di kontestasi elektoral 2024 mendatang. Ceruk yang tentunya cukup menggiurkan bagi para aktor politik.
Cuitan menarik hadir dari influencer Enest Prakasa kemarin lusa. Di akun X @ernestprakasa, dirinya menyebut swing voters akan menjatuhkan pilihan bukan kepada siapa yang paling mereka sukai, tetapi siapa yang paling tidak mereka benci.
Hingga hari Minggu (12/11) siang, cuitan itu telah mendapat lebih dari 1.100 repost dan 4.700 likes.
Gejala-gejala atas presumsi itu tampak telah eksis, setidaknya ketika membacanya di lini masa. Narasi seperti asal jangan PDIP, asal jangan dinasti politik, hingga asal jangan politik identitas mewarnai diskursus yang semakin panas jelang dibukanya genderang kampanye.
Kata kunci “asal jangan” menjadi penting saat menginterpretasi gejala tersebut. Itu berarti esensi bahwa tingkat keterpilihan kandidat bukan ditentukan oleh sosok, visi-misi, maupun proyeksi kinerjanya kelak, menemui relevansinya.
Namun, mengapa itu bisa terjadi?
Rakyat Memang Tak Berdaya?
Pada akhirnya, saat berusaha memahami konteks di atas, pemahaman yang muncul adalah bahwa demorasi agaknya tak benar-benar dijalankan.
Bivitri Susanti dalam publikasinya yang berjudul Rakyat Hanya Penonton dalam Drama Pilpres, menyoroti aspek penting dalam proses pemilihan presiden yang sering kali dianggap sebagai pertunjukan politik yang meriah tetapi kurang memberikan peran aktif kepada rakyat.
Dalam publikasi itu disiratkan bagaimana pemilu dan pemilihan presiden sering disamakan dengan drama yang penuh konflik dan pelukan, namun, ironisnya, rakyat hanya menjadi penonton yang seakan-akan diikutsertakan saat tirai panggung ditutup.
Hal itu pun selaras dengan gagasan Clifford Geertz dalam bukunya yang berjudul Negara Teater, di mana Geertz menyiratkan pemerintahan sebagai sebuah teater yang menampilkan dan memainkan simbol-simbol kekuasaan.
Dalam esensinya, Geertz mengandaikan rakyat cenderung kehilangan daya kritis dan menjadi bagian dari pertunjukan kekuasaan, mirip dengan wayang yang hanya mengisi peran-peran yang telah ditentukan.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah sejauh mana rakyat memiliki kewenangan dan kesadaran untuk bersikap kritis terhadap penawaran nama-nama oleh partai politik?
Apakah rakyat benar-benar memiliki kebebasan untuk menolak nama-nama yang tertera di kertas suara? Sayangnya, jawaban yang mengemuka tidak demikian, di mana itu tercermin dari sistem politik seperti ambang batas (threshold) baik parlemen maupun presiden, hingga asas “keterwakilan” yang tidak benar-benar “mewakilkan” rakyat secara umum.
Seakan menjadi wayang dalam drama politik, rakyat dihadapkan pada pilihan “the lesser evil” di setiap pemilihan presiden, di mana mereka menerima realitas bahwa mereka harus memilih dari nama-nama yang telah ditentukan oleh partai politik.
Itu yang kemudian menjadikan presumsi memilih berdasarkan “asal jangan aktor X” maupun esensi tak memilih pemimipin yang benar-benar mewakili atau disukai menemui benang merahnya.
Rakyat Hanya Pemanis?
Di titik ini, dalam proses pemilu, termasuk pemilihan presiden, pemilihan kepala daerah, dan pemilihan legislatif, posisi masyarakat pada dasarnya hanya menjadi variabel pemanis dalam persamaan politik.
Semua kandidat berasal dari partai politik, dan pemilihan mereka terutama dipengaruhi oleh elektabilitas dan popularitas.
Bahkan, dalam pemilu legislatif, para kandidat tidak hanya terikat pada partai politik tetapi juga pada oligarki yang menyuplai dana untuk menghadapi pemilu.
Hal itu sebagaimana yang diungkapkan oleh Edward Aspinall dan Ward Berenschot dalam buku mereka yang berjudul Democracy for Sale: Pemilu, Klientelisme, dan Negara di Indonesia.
Faktor-faktor ini membuat konsep “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” menjadi semakin tidak relevan, dengan politik transaksional yang kental, terutama dengan keterlibatan para oligark sebagai penyumbang dana.
Pepatah tersebut agaknya tak berlebihan untuk diterjemahkan ulang menjadi “dari partai, oleh partai, dan untuk oligarki,” di mana mencerminkan realitas politik yang tenggelam dalam pengaruh finansial.
Meskipun ada bantahan bahwa Indonesia menjalankan demokrasi perwakilan, bukan demokrasi langsung seperti di Athena kuno, inti perdebatan bukanlah perbandingan antara kedua sistem tersebut.
Sebaliknya, pertanyaan kritis yang diajukan adalah, kembali, sejauh mana masyarakat memiliki kewenangan dan kesadaran dalam memilih pemimpin dan wakil legislatif mereka?
Meskipun demokrasi perwakilan mungkin menjadi pilihan praktis dalam konteks Indonesia yang memiliki jumlah penduduk dan luas wilayah yang besar, hal utama yang harus dipertanyakan adalah sejauh mana partai politik amanah dalam menyerap aspirasi masyarakat terkait kandidat yang diinginkan.
Tantangan lainnya adalah selubung persepsi yang mengelilingi pemilihan, di mana masyarakat dihadapkan pada kesulitan untuk membedakan antara informasi riil dan citra yang dibangun oleh tim pemenangan kandidat.
Dalam arus informasi dan perang persepsi yang begitu deras, masyarakat dihadapkan pada pertanyaan kritis, apakah mereka benar-benar mengenal kandidat yang mereka pilih ataukah mereka terpengaruh oleh manipulasi persepsi?
Sebelum pertanyaan itu wajib dijawab secara konkret oleh para “perwakilan” rakyat yang dapat mengubah sistem menjadi lebih baik, pertanyaan berikutnya juga harus dijawab, yakni apakah yang sebenarnya dibela oleh masyarakat selama ini adalah demokrasi, ataukah yang terjadi adalah penyebaran nilai-nilai liberalisme?
Jika memang tujuannya adalah untuk menegakkan demokrasi, maka penting untuk memastikan bahwa masyarakat memiliki kewenangan, kesadaran, dan ketenangan dalam memilih pemimpin dan legislatif mereka. (J61)