Setelah Gibran Rakabuming Raka resmi menjadi cawapres Prabowo Subianto, PDIP menyebut Jokowi sebagai pengkhianat. Jokowi dinilai melupakan PDIP, partai yang telah membesarkan namanya.
PinterPolitik.com
PDIP benar-benar tengah kecewa. Terpilihnya putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres menjadi penasbih atas perpindahan haluan Jokowi. Tidak mendukung Ganjar Pranowo yang diusung PDIP, Jokowi justru mendukung Prabowo Subianto di Pilpres 2024.
Meskipun belum memberikan dukungan lugas secara terbuka, publik sudah memiliki konsensus bahwa Jokowi telah mendukung Prabowo. Dukungan itu benar-benar memukul PDIP.
Berbagai narasi kemudian mencuat. PDIP menyebut Jokowi sebagai pengkhianat. Bagaimana mungkin Jokowi meninggalkan PDIP, partai yang telah membesarkan namanya.
“Kami begitu mencintai dan memberikan privilege yang begitu besar kepada Presiden Jokowi dan keluarga, namun kami ditinggalkan karena masih ada permintaan lain yang berpotensi melanggar pranata kebaikan dan Konstitusi. Pada awalnya kami hanya berdoa agar hal tersebut tidak terjadi, namun ternyata itu benar-benar terjadi,” ungkap Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto (29/10/2023).
Politik Teraniaya PDIP?
Melihat narasi-narasi yang ada, PDIP dengan jelas menempatkan dirinya sebagai korban politik. Mereka adalah korban atas keputusan Jokowi yang justru pindah haluan mendukung Prabowo. Dalam studi politik, apa yang dilakukan PDIP disebut dengan victimhood atau “menjadi korban”.
Miles T. Armaly dan Adam M. Enders dalam penelitian berjudul ‘Why Me?’ The Role of Perceived Victimhood in American Politics, menyebutkan bahwa victimhood adalah tema sentral dari pesan politik modern.
Menarasikan diri sebagai korban, entah bagaimana, telah menjadi inti dari semua pesan politik yang dikeluarkan oleh berbagai entitas politik. Kita adalah korban sistem, korban oligarki, korban ketidakadilan, dan seterusnya. Narasi-narasi populer itu adalah victimhood.
Namun, dalam praktiknya, victimhood kerap kali dimainkan dengan cara “bermain sebagai korban” atau playing victim.
Sreenivasa Reddy dalam tulisannya Playing victim is a deceptive political game, menyebutkan bahwa “politik teraniaya” adalah permainan politik favorit di era saat ini, dimana politisi populis mendapatkan penerimaan yang luas.
Menurut Reddy, berbagai politisi berpura-pura menjadi korban dan menegaskan bahwa mereka telah secara sistematis menjadi sasaran komplotan elite rahasia yang mengakar kuat.
Mereka mengarang atau membesar-besarkan statusnya sebagai korban. Kemudian membangun argumen politik melawan musuh yang seringkali merupakan sosok tak berwajah alias entitas abstrak, misalnya oligarki atau kekuatan besar.
***
Mungkin sekarang pertanyaannya, apakah PDIP benar-benar menjadi korban atau sedang bermain menjadi korban?
Satu Batu, Dua Burung
Well, entah itu “benar-benar menjadi korban” atau “sedang bermain menjadi korban”, narasi-narasi PDIP saat ini memiliki dua konsekuensi praktis. Konsekuensi praktis pertama, sebagaimana yang menjadi tujuan narasi victimhood, ini digunakan untuk menarik simpati publik.
Ini adalah psikologi dasar, di mana korban akan menjadi pihak yang mendapat simpati. Dengan berbagai narasi PDIP, seperti mereka ditinggalkan dan Jokowi hendak ingin 3 periode, PDIP tengah menempatkan dirinya sebagai pihak yang terzalimi, pihak yang teraniaya, dan sekaligus sebagai penjaga gerbang konstitusi.
Konsekuensi praktis kedua, narasi-narasi itu dapat menurunkan citra Jokowi serta pihak yang didukungnya. Publik tengah diarahkan untuk melihat Jokowi sebagai sosok yang tidak tahu terima kasih, sosok yang meninggalkan partai yang membesarkannya, dan tentu saja sosok yang coba melanggengkan politik dinasti.
Singkatnya, meminjam pepatah, PDIP tengah melempar dua burung dengan satu batu. Burung pertama adalah meningkatkan citra mereka, dan tentu saja citra Ganjar Pranowo. Kemudian burung kedua adalah menurunkan citra Jokowi dan paslon yang didukungnya, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming. (R53)