Tahun 1993 sebuah tonggak penting politik Indonesia terjadi di kampus jas kuning Universitas Indonesia. Seorang mahasiswa bernama Mustafa Kamal terpilih menjadi Ketua Senat Fakultas Sastra UI. Ia adalah kader pertama Jemaah Tarbiyah yang berhasil menduduki posisi tertinggi di organisasi kemahasiswaan kampus – posisi yang ternyata menjadi tonggak bagi jalan politik Tarbiyah yang berujung pada berdirinya sebuah partai politik penting di kemudian hari. Partai itu adalah PKS yang kini mendapat tantangan mengatasi sentimen sebagai partai konservatif.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah simpul penting dalam transformasi politik Islam di Indonesia dengan gerakan yang terbilang modern dan sistematis. Berangkat dari lingkaran-lingkaran keagamaan informal bertajuk halaqah di kampus-kampus, simpul gerakan Jemaah Tarbiyah mengembalikan gairah politik Islam yang tergerus rezim Orde Baru. Di kemudian hari, gerakan inilah yang menjadi jantung utama PKS.
Pendekatan modern dan berbeda membuat ahli politik Islam, Profesor Greg Fealy, menyebut PKS menjadi satu-satunya “partai kader murni” di dunia politik Indonesia. Itu disebut Prof Fealy di tahun 2008 kala menulis pengantar untuk buku Yon Machmudi tentang PKS.
Namun, perjalanan PKS tak selalu mulus. Selain beberapa kader ada yang terjerat kasus korupsi, sebuah perdebatan menarik terjadi di tahun 2020 ketika beredar kabar bohong soal tuduhan bahwa partai ini tidak menganut asas Pancasila. Ini berangkat dari penolakan PKS pada penempatan Pancasila sebagai asas tunggal di RUU Ormas pada tahun 2013.
Isu ini memang telah diklarifikasi, namun selalu dijadikan bahan kampanye hitam terhadap partai ini di tiap gelaran Pemilu. Mengapa demikian?
Inspirasi Politik Tarbiyah
Bukan rahasia lagi kalau PKS mengambil inspirasi dan pendekatan ideologis dari gerakan Muslim Brotherhood di Mesir yang kita kenal sebagai Ikhwanul Muslimin. Inspirasi gerakan ini kemudian menjadi penggerak awal Jemaah Tarbiyah yang mendapatkan momentum di kampus seiring dengan adanya Forum Kajian Islam atau Forum for Islamic Studies.
Momentum pentingnya terjadi di tahun 90-an ketika banyak aktivis Jemaah Tarbiyah memenangkan dukungan dan menduduki jabatan-jabatan eksekutif organisasi kemahasiswaan kampus macam Senat Mahasiswa. Seperti disinggung di awal, Mustafa Kamal menjadi awal pengaruh Jemaah Tarbiyah di level fakultas Universitas Indonesia karena di tahun setelahnya, ada sosok Zulkieflimansyah yang menjadi Ketua Umum Senat Mahasiswa UI.
Sejak saat itu, tokoh-tokoh Tarbiyah berhasil memenangkan kursi-kursi tertinggi di lembaga kemahasiswaan di banyak kampus besar. Tonggaknya kemudian menjadi makin besar di jelang akhir kekuasaan Soeharto di mana tokoh-tokoh Tarbiyah menjadi pendorong lahirnya Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia alias KAMMI. Pada April 1998, KAMMI yang diketuai oleh Fahri Hamzah menggalang demo besar-besaran menuntut pengunduran diri Presiden Soeharto.
Pasca lengsernya Soeharto, Jemaah Tarbiyah yang awalnya adalah organisasi sosial informal memutuskan untuk mentransformasikan diri menjadi organisasi formal. Mayoritas anggota kemudian sepakat untuk membentuk partai politik. Lahirlah Partai Keadilan pada 28 Juli 1998. Di kemudian hari, partai ini berubah nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera alias PKS yang kita kenal sampai hari ini.
Yon Machmudi menyebut PKS menjadi fenomena yang unik di konstelasi politik Indonesia karena me-maintain Islam sebagai ideologi utama dan mengkampanyekan pemerintahan yang bersih dari korupsi serta penyalahgunaan wewenang. PKS juga menjadi simpul gerakan politik Islam yang digerakan oleh anak-anak muda yang menurut Yon Machmudi bersandar pada Islam yang global dan universial, meskipun mendapat banyak pengaruh dari Timur Tengah dan Mesir.
Melawan Sentimen Anti Pancasila
Tuduhan PKS sebagai partai anti Pancasila, memang adalah kabar bohong atau hoaks yang kerap ditujukan untuk menyerang partai ini. Ini bermula dari sikap PKS yang menolak Pancasila menjadi ideologi tunggal dalam RUU Ormas di tahun 2013. PKS beranggapan klausul itu akan membelenggu ormas-ormas Islam. Menurut PKS, Pancasila dan UUD 1945 memang tetap dijadikan asas utama, namun tidak menutup diri pada asas lain asalkan tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Jadi jelas ya poinnya.
Sayangnya, isu ini kerap difabrikasi dan terus dimainkan di setiap gelaran elektoral. Ini membuat PKS kerap dilihat sebagai partai yang sangat konservatif dan eksklusif.
Selain konteks polemik RUU Ormas, ada juga tuduhan soal mantan Ketua Majelis Syuro PKS, almarhum KH Hilmi Aminuddin yang disebut sebagai putra salah satu panglima militer gerakan DII/TII yang didirikan Kartosuwiryo. DII/TII memang bertujuan mendirikan Negara Islam Indonesia.
PKS sendiri membenarkan bahwa Hilmi adalah anak dari panglima DII/TII, namun menampik bahwa sejarah itu mempengaruhi ideologi partai yang Islamis sekaligus nasionalis. Bahkan kalau kita cek, justru di era kepemimpinan Hilmi-lah PKS didorong untuk semakin menjadi partai terbuka dan pluralis. Hilmi menyebut: “Eksklusivitas tidak mencerminkan ajaran Islam”. Dan kalau kalian perhatikan kini PKS punya banyak kader non muslim yang bahkan menduduki jabatan tinggi di partai, misalnya Evalina Heryanti yang menjadi anggota Dewan Pakar PKS.
Pada akhirnya, kampanye hitam masih akan menjadi tantangan terbesar PKS ke depannnya. Yang jelas, partai ini adalah simpul gerakan yang sudah membuktikan diri berjalan dari ruang-ruang diskusi di kampus. Itu juga yang membuat tradisi intelektualitas kerap menjadi ciri lain dari partai ini, hal yang mungkin perlu menjadi pelajaran bagi partai-partai lain di Indonesia. (S13)