Jabatan politik kerap membawa tanggung jawab yang besar. Bahkan terkadang suatu keputusan politik bisa mengakibatkan hilangnya nyawa masyarakat. Mungkinkah keadaan pekerjaan yang seperti itu bisa membuat seorang politisi rentan mendapat gangguan jiwa?
PinterPolitik.com
Manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan dalam berbagai aspek kehidupannya. Sayangnya, terkadang di antara kita terdapat beberapa individu yang keberadaannya dapat menjadi ancaman serius bagi keselamatan sesama.
Mungkin contoh yang paling mencolok adalah kisah tentang Charles Manson, seorang pembunuh berantai dan pemimpin kultus di Amerika Serikat (AS) pada tahun 1960-an. Nama Manson terkenal karena keterlibatannya dalam sejumlah kematian misterius, termasuk yang menimpa Sharon Tate, seorang bintang film terkenal pada masa itu.
Yang menarik, meskipun Manson terliba t dalam kejahatan yang sangat keji, dia tidak pernah merasa bersalah atas perbuatannya. Dalam salah satu wawancara dengan MSNBC, Manson bahkan mengklaim bahwa dia tidak melanggar hukum, karena dia tidak secara langsung terlibat dalam tindakan kejahatan itu. Menurut Manson, kematian-kematian tersebut adalah ulah para pengikutnya.
Sikap Manson yang merasa tidak bersalah ini telah menjadi subjek penelitian oleh psikolog dan psikiater di seluruh dunia. Seiring berjalannya waktu, ada juga kecurigaan menarik dari beberapa warganet yang mengaitkan sifat egois dan angkuh seorang pembunuh berantai seperti Manson dengan karakteristik psikologis politisi yang seringkali pengambilan keputusannya memengaruhi nasib banyak orang.
Hal ini memunculkan pertanyaan menarik, apakah mungkin ada kesamaan dalam aspek psikologis antara pengambilan keputusan seorang politisi dalam kehidupan sehari-harinya dengan kondisi psikologis seorang pembunuh berantai?
Politik Membuat Orang Tidak Stabil?
Ada satu kasus menarik tentang seorang politisi yang kisahnya layak kita jadikan perenungan terkait kondisi psikologis yang bisa dialami seseorang yang berkiprah dalam politik. Politisi tersebut bernama Radovan Karadzic, seorang tokoh politik dan pemimpin Republik Srpska yang terkenal karena perannya dalam Perang Bosnia, yang berlangsung antara tahun 1992 hingga 1995.
Karadžić terkenal karena dituduh melakukan kejahatan perang, termasuk genosida, pembunuhan massal, dan kejahatan terhadap kemanusiaan, khususnya umat Muslim di Bosnia, selama perang. Ia berhasil bersembunyi selama bertahun-tahun sebelum akhirnya ditangkap pada tahun 2008.
Robert M. Kaplan, salah satu psikiater dan dosen Universitas Wollongong yang meneliti Karadžić, mencatat bahwa ketika Karadžić ditanyai tentang motif di balik pembantaian yang dilakukannya, Karadžić mengklaim kekerasan yang terjadi di Bosnia pada saat itu merupakan hal yang dimulai oleh para umat Muslim, bukan akibatnya. Karadžić pun diketahui tidak merasa menyesal atas apa yang terjadi karena itu menurutnya adalah harga yang memang harus dibayar demi tujuan politiknya kala itu.
Sifat muluk dan egois yang dimiliki Karadžić lantas kerap jadi semacam pengingat kepada kita bahwa mungkin saja irisan antara seorang politisi yang otoriter dan kejam sebetulnya sangat tipis dengan kondisi psikologis seorang pembunuh massal atau pembunuh berantai. Karena seperti yang dicatat Kaplan juga, seorang pembunuh besar kerap memiliki pandangan tentang keadilan yang terdistorsi dan hal itu mampu membuat sebagian orang kagum lalu jadi pengikutnya.
Mendukung pandangan itu, sesungguhnya sudah cukup banyak studi yang berfokus pada kestabilan mental seorang politisi, dan tidak sedikit yang mencurigai bahwa lingkungan politik sesungguhnya dapat menggangu kestabilan mental seseorang.
Matthew Flinders dan kawan-kawan dalam tulisan mereka Governing under Pressure? The Mental Wellbeing of Politicians, mencatat bahwa politik adalah arena di mana kekuasaan, pengaruh, dan kendali atas berbagai aspek masyarakat diperebutkan.
Sayangnya, lingkungan politik yang kompetitif dan ambisius ini dapat menjadi pemicu bagi seseorang untuk menjadi megalomaniak. Megalomania itu sendiri adalah gangguan mental yang ditandai oleh keyakinan yang berlebihan atas keunggulan diri sendiri, kepentingan pribadi yang dominan, dan kecenderungan untuk mengabaikan atau merendahkan orang lain.
Walaupun ini tidak berarti semua politisi akan memiliki ketidakstabilan mental yang sama, tapi lingkungan politik yang intens dan tekanan yang terkait dengan kekuasaan dapat memunculkan sifat-sifat yang egois dan terkadang delusional kepada beberapa individu. Dan karena ini pula, lingkungan politik pada akhirnya mampu menciptakan orang-orang terbengis dalam sejarah yang memiliki banyak pengikut, mungkin Adolf Hitler dan Joseph Stalin.
Menarik kemudian untuk kita pertanyakan, bagaimana kita bisa menemukan ciri-ciri politisi yang katakanlah, “mengidap” gangguan psikologis ini?
Belajar dari Manson?
Dalam awal tulisan ini telah diceritakan secara singkat kisah tentang Charles Manson, pembunuh berantai AS yang namanya sampai saat ini masih memancing perdebatan menarik, kalau memang sifat-sifat bengis yang dimiliki pembunuh bisa juga dimiliki seorang politisi, maka mungkin kita bisa belajar banyak dari Manson.
Pertama, senang mengelak. Selama puluhan tahun dipenjara, Manson diketahui tidak mengakui bahwa ia bersalah, karena pembunuhan yang dilakukan oleh para pengikutnya bukan merupakan aksi kriminal yang langsung dilakukan oleh Manson. Padahal, apa yang diajarkan Manson kepada para pengikutnya menjadi pemicu dari terjadinya aksi kekerasan “the Manson Family”.
Kalau kita kaitkan dengan kehidupan seorang politisi, hal seperti ini bisa berupa rasa dari seorang politisi untuk tidak bertanggung jawab atas keburukan yang terjadi akibat keputusan yang diambilnya. Politisi tersebut akan mengelak bahwa dirinya tidak pernah bersalah, karena keburukan yang terjadi adalah sesuatu yang berada di luar kendalinya. Hal seperti ini menurut ilmuwan politik R. Kent Weaver, disebut sebagai politik politics of blame avoidance atau politik penghindaran kesalahan.
Kedua, delusi ideologis. Kembali berkaca pada Manson, dan juga Radovan Karadzic, salah satu hal yang membuat mereka tidak merasa bersalah juga adalah karena mereka percaya apa yang mereka yakini adalah sesuatu yang mulia, sehingga, bila terjadi keburukkan, mereka berpandangan bahwa itu adalah harga yang harus dibayar.
Bagi seorang politisi, delusi egoistik semacam ini dapat saja terjadi. Politisi yang demikian mungkin tidak akan merasa bersalah atas sebuah keputusan politik yang terjadi karena ia hanya akan melihat keburukan yang muncul sebagai martir yang perlu ditanggung, seberat apapun.
Pada akhirnya, tulisan ini hanyalah berperan sebagai perenungan kita bersama. Bila memang benar politik dapat membuat orang menjadi lebih kejam, tentu sangat bijak bagi kita untuk terus mengkritisi apa yang dilakukan para pemimpin negeri ini. (D74)