Ancaman pemakzulan yang menghantui Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden dinilai sebagai upayan balas dendam yang dilakukan Presiden AS sebelumnya Donald Trump.
Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden terancam dilengserkan dari jabatannya. Hal itu menyusul Ketua DPR AS dari Partai Republik Kevin McCarthy membuka penyelidikan atas kemungkinan memakzulkan pemimpin berusia 80 tahun itu.
McCarthy mengklaim pihaknya telah mendapatkan bukti kuat terkait penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi untuk memakzulkan Biden.
Semua dugaan itu kabarnya dilakukan Biden dan keluarganya selama mereka menjabat di Gedung Putih mulai dari masa kepemimpinan Barack Obama, atau saat Biden masih menjadi Wakil Presiden AS.
Politikus Partai Republik itu menemukan indikasi adanya “budaya korupsi” dan kebohongan Biden terkait bisnis keluarganya di luar negeri.
Salah satu tuduhan Partai Republik berfokus pada Hunter Biden yang merupakan anak Joe Biden saat duduk di jajaran dewan direksi perusahaan energi dan minyak Ukraina, Burisma.
Atas dasar itu, Biden dituduh mengambil keuntungan yang tidak semestinya dari koneksi Hunter di luar negeri.
Menanggapi tuduhan McCarthy itu, Gedung Putih menegaskan jika Presiden Biden tidak melakukan kesalahan apapun dan mengutuk tuduhan tersebut.
Dalam kasus penyelidikan pemakzulan Biden ini, banyak pihak juga menduga ada peran penting mantan Presiden AS Donald Trump.
Dugaan ini pun tampaknya bukan isapan jempol belaka, pasalnya upaya semacam ini menjadi langkah yang sejak lama diinginkan Trump dan para pendukungnya di Kongres AS.
Lantas, mengapa Trump diduga ikut memiliki peran penting terhadap ancaman pemakzulan yang mengancam Joe Biden?
Politik Balas Dendam
Trump yang pernah dimakzulkan oleh Kongres AS pada akhir tahun 2019 lalu atas tuduhan memeras Ukraina tampaknya masih menyimpan dendam.
Saat itu Trump dikatakan memeras Ukraina dengan bertujuan untuk memperoleh informasi kotor tentang Biden yang merupakan pesaing utamanya dalam Pemilihan Pilpres (Pilpres) AS pada 2020 lalu.
Empat tahun berselang, informasi yang dicari Trump tampaknya sudah ditemukan dan diklaim sebagai bukti untuk memakzulkan Biden oleh McCarthy.
Menurut penelitian yang dilakukan Michael E. McCullough, balas dendam bukanlah sebuah penyakit hati yang ada pada diri seseorang, melainkan sifat universal yang dimiliki hampir semua orang.
McCullough juga menegaskan balas dendam merupakan produksi seleksi alam yang ada hingga saat ini, dan membantu manusia untuk beradaptasi dengan lingkungannya.
Bahkan, Fiona McHardy mengatakan jika politik dendam sudah menjadi bagian dari “etika politik” sejak era Yunani Kuno.
Setali tiga uang dengan penjelasan McCullogh, filsuf asal Inggris, Francis Bacon juga menyebutkan jika dendam adalah “keadilan yang liar”.
Bacon memakai frasa itu untuk menjelaskan jika dendam memang punya pendasaran respirokal atau sesuatu yang berbalaskan dalam konteks keadilan.
Namun, melihat sifatnya yang “liar” membuat hukum, norma, dan nilai sering kali dikesampingkan atau bahkan disingkirkan.
Dalam kasus Biden, tidak heran jika Trump dinilai berada di belakang perintah penyelidikan pemakzulan Biden yang diduga juga sebagai upaya menghalangi pencalonan Biden dalam Pilpres AS tahun depan.
Atas dasar dendam itu juga lah yang diduga membuat Trump mencari sebuah keadilan yang “liar” dengan berperan untuk memakzulkan Biden, mengingat Trump juga pernah merasakan hal serupa pada akhir 2019 lalu.
Media Juga Ikut Berperan
Dalam praktik pemakzulan di AS tertera pada Article I, Section 2, Clause 5 konstitusi AS. Selain itu Article I, Section 3, Clause 6 menentukan peran Senat dalam proses pemakzulan.
Dua pasal tersebut menunjukan bahwa proses pemakzulan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden AS yang melibatkan dua lembaga negara, yaitu Senat dan House of Representative atau DPR.
Namun yang perlu dipahami, selain kedua lembaga itu ada juga media yang berperan dalam proses pemakzulan di AS.
Jamie Bartlett menyoroti enam pilar demokrasi dan menunjukkan bagaimana perusahaan teknologi yang tidak dibatasi dapat melemahkan masing-masing pilar tersebut.
Pilar-pilar tersebut, yakni warga negara aktif, budaya bersama, pemilu yang bebas, kesetaraan pemangku kepentingan, ekonomi kompetitif dan kebebasan sipil, dan kepercayaan pada otoritas.
Bartlett menambahkan teknologi informasi akan menghancurkan demokrasi dan tatanan sosial yang kita kenal, atau politik akan menghilangkan otoritasnya atas dunia digital.
Dalam kasus pemakzulan di Biden membuktikan jika teknologi dapat menghancurkan demokrasi. Akses informasi dari teknologi saat ini membuat para politisi yang akan bertarung dalam Pilpres AS belakangan ini saling menjatuhkan lewat pemakzulan.
Menarik untuk melihat berhasilkah Trump membalaskan dendamnya kepada Biden dan Partai Demokrat, sekaligus menghalangi pencalonan Biden di Pilpres 2024 mendatang. (S83)