Ibu Kota Negara (IKN) – menurut Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia – akan mendapatkan suntikan investasi besar dari konglomerat-konglomerat Indonesia. Bagaimana dampaknya bila usai Pilpres 2024 nanti sosok yang terpilih adalah Presiden yang disebut-sebut tidak akan memprioritaskan kelanjutan pembangunan IKN?
Untuk yang gemar bermain video game strategi seperti Total War atau Rise of Nations, pastinya kalian tahu alasan dari pentingnya membangun sebuah ibu kota baru dalam faksi atau negara yang kita kendalikan. Selain bisa untuk memperkuat kapasitas ekonomi negara kita, posisi ibu kota baru yang kita tempatkan di tempat yang aman secara geografis juga mampu memperkuat pertahanan negara kita karena sulit untuk diserang oleh para musuh.
Tentunya, hal-hal yang bisa kita pelajari tentang seluk beluk keperluan membuat ibu kota baru melalui game-game tadi bukanlah khayalan, melainkan mengambil inspirasi dari situasi yang terjadi dalam dunia nyata, khususnya terkait pertimbangan-pertimbangan di balik alasan sebuah negara memindahkan ibu kotanya ke tempat baru.
Nah, kebetulan sekali, saat ini Indonesia juga sedang ramai memperbincangkan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, akibat munculnya berita tentang konglomerat-konglomerat dalam negeri yang disebutkan akan mengucurkan modal berjumlah triliunan rupiah agar proyek mega besar dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) tersebut bisa berjalan lancar.
Tidak main-main, kalau kata Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia, investor besar yang bakal ikut nyemplung di IKN adalah sekelas Sugianto Kusuma (Aguan), Sukanto Tanoto, dan Alexander Tedja. Sebagai informasi singkat, nama-nama tersebut sering dicantumkan sebagai bagian dari “naga-naga” penguasa ekonomi Indonesia, karena kekayaannya yang luar biasa.
Berita ini lantas mampu memantik pertanyaan yang menarik. Kalau para investor besar tersebut memang benar akan mengucurkan dananya pada IKN, kira-kira bagaimana jadinya bila Presiden Indonesia yang selanjutnya tidak berniat melanjutkan proyek tersebut? Apakah sosok yang sering dirumorkan tidak mau melanjutkan warisan Jokowi – seperti Anies Baswedan – tetap akan menunda proyek IKN?
Kekuatan Misterius Sembilan Naga Indonesia
Untuk kalian yang belum terlalu kenal dengan tiga nama investor tadi, kita sebelumnya akan membahas sedikit latar belakang mereka satu per satu, dan alasan mengapa kita tidak boleh meremehkan mereka.
Pertama adalah Aguan, sosok yang merupakan pemilik perusahaan pengembang properti Agung Sedayu Group. Ia juga merupakan nama di balik kawasan Kelapa Gading, Pantai Indah Kapuk (PIK), dan Taman Anggrek. Dari bisnisnya, Aguan diperkirakan memiliki kekayaan mencapai Rp14 triliun – menurut catatan Globe Asia tahun 2018.
Kedua, adalah Sukanto. Well, Sukanto mungkin adalah nama yang paling sering dibicarakan beberapa waktu terakhir dibanding dua calon investor lainnya karena ia sempat menjadi sorotan berita setelah diketahui membeli Mall Tanglin di Singapura seharga Rp9,4 triliun pada Mei 2023 silam. Sukanto sendiri adalah pemilik Royal Golden Eagle, perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya alam. Kalau menurut Forbes, kekayaan Sukanto setidaknya mencapai Rp44 triliun (2022).
Ketiga, Alexander Tedja. Boss perusahaan properti Pakuwon Group ini juga tidak bisa diremehkan. Sosok yang bertanggung jawab atas berdirinya Tunjungan Plaza, Gandaria City Mall, dan Kota Kasablanka tersebut diketahui memiliki kekayaan mencapai Rp17,22 triliun menurut Forbes (2022). Karena kekayaannya ini, Alexander Tedja juga kerap disebut sebagai salah satu raja properti di Indonesia.
Nah, walaupun hanya sekilas, tentunya sekarang kita cukup memahami seberapa tangguhnya kekuatan investasi di IKN bila tiga sosok tersebut memang benar akan berkomitmen akan berinvestasi di Kota Nusantara. Dan karena tiga tokoh tersebut juga kerap dikaitkan pada istilah “naga-naga” penguasa ekonomi Indonesia, potensi bergabungnya Aguan, Sukanto, dan Alexander sesungguhnya mampu membuat kita mengingat obrolan tentang misteri 9 Naga Indonesia.
Misteri 9 Naga Indonesia adalah sebuah spekulasi yang awalnya dipopulerkan oleh budayawan Emha Ainun Najib atau Cak Nun, pada awal tahun 2023. Ini adalah kelompok yang diduga terdiri dari sembilan konglomerat paling powerful di Indonesia. Mengacu pada investigasi Tempo, 9 Naga Indonesia atau Gang of Nine ini merujuk pada sekelompok orang yang menguasai bisnis di Indonesia di balik layar. Katanya, mereka punya dukungan kuat yang membuat sepak terjang mereka hampir “tak tersentuh”.
Namun, hingga saat ini tidak pernah terkonfirmasi apakah dugaan tersebut memang benar adanya, terlebih lagi daftar nama-nama dari 9 Naga tersebut tampak memiliki versinya masing-masing. Well, terlepas dari betul atau tidaknya mereka benar-benar “mengendalikan” Indonesia, tidak dipungkiri bahwa pengusaha-pengusaha yang namanya sering dikaitkan sebagai bagian dari naga-naga Indonesia itu faktanya memiliki bisnis raksasanya masing-masing.
Oleh karena itu, tidak heran bila kekuatan finansial mereka kemudian bertransformasi menjadi kekuatan politik karena seperti yang pernah dikatakan Mahfud MD, politik di Indonesia masih bersifat transaksional. Ini akibat rentannya politik kita digoyah oleh kepentingan finansial antara politisi dan konglomerat.
Lantas, pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana dengan nasib Presiden Indonesia selanjutnya bila ia tidak ingin melanjutkan IKN? Apakah kekuatan gabungan dari Aguan, Sukanto, dan Alexander Tedja mampu mendorong presiden tersebut untuk melanjutkan proyek IKN?
Bila Presiden, Bagaimana Nasib Anies?
Untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan di atas, sepertinya kita perlu berkaca pada rangkaian penelitian yang dilakukan oleh profesor politik ekonomi asal Murdoch University Australia, yang bernama Richard Robinson. Selama karirnya, Robinson menghabiskan waktu meneliti perilaku politisi dan oligark di Indonesia dari masa Orde Baru hingga era Reformasi.
Melalui pandangan politik ekonomi Robinson yang kemudian sering disebut sebagai Murdoch School perspective, kita tampaknya bisa menjawab dengan cukup pasti bahwa bila sosok oposisi seperti Anies Baswedan menjadi presiden selanjutnya, maka ia tetap akan tetap harus melanjutkan IKN.
Hal ini karena Robinson berkesimpulan bahwa terlepas dari siapapun yang berkuasa di Indonesia, mereka akan selalu dipengaruhi oleh para konglomerat. Pandangan tersebut muncul dari penelitiannya yang menemukan bahwa mayoritas permasalahan politik dan ekonomi di Indonesia sesungguhnya bukan terjadi akibat persaingan para politisi, melainkan dari kompetisi kelompok-kelompok elite yang ingin menguasai dan mempertahankan akses ke sumber kekayaan negara. Di Indonesia, orang-orang yang memiliki akses langsung ke kekayaan alam tentunya adalah para pebisnis.
Menariknya, meskipun Indonesia telah melampaui era Reformasi, kebiasaan untuk menaruh kekuatan politik kepada para konglomerat, menurut Robinson, masih terjadi hingga sekarang. Atas dasar fenomena tersebut, Robinson berasumsi bahwa kapitalis-oligark di Indonesia sesungguhnya selama ini telah memiliki kekuatan politik yang melampaui kekuatan para birokrat yang mensponsori mereka, dan mampu mendesain agenda-agenda tertentu untuk mencapai tujuan mereka sendiri. Pandangan ini beresonansi dengan teori-teori seputar kekuatan politik dari 9 Naga Indonesia yang kita bahas di atas.
Well, kalau kita menggunakan asumsi dari Robinson ini, tentu tidak heran bahwa bila Anies menjadi presiden nanti, lama-kelamaan ia akan terdorong untuk melanjutkan proyek IKN, dengan catatan para investor yang kita bahas di atas benar-benar akan terjun langsung. Tengok saja kasus reklamasi teluk Jakarta yang semula ditentang Anies, tapi kemudian tetap berlanjut di era kekuasaannya.
Di sisi lain, hal ini juga mampu menjadi bahan perenungan kita bersama tentang fungsionalitas dari demokrasi di Indonesia itu sendiri. Ini menjadi penguat fakta bahwa mungkin bisnis dan ekonomi masih akan jadi penguasa utama di negeri ini. Bukan begitu? (D74)