HomeRuang PublikMilenial-Gen Z: Objek Politik Laris Jelang Pemilu

Milenial-Gen Z: Objek Politik Laris Jelang Pemilu

Kecil Besar

Generasi milenial dan Gen Z akan menjadi suara mayoritas dalam Pemilihan Umum 2024 (Pemilu 2024). Namun, apakah dua generasi ini hanya akan dianggap sebagai objek politik semata?


Oleh Raihan Muhammad

PinterPolitik.com

Indonesia memasuki tahun politik, berbagai upaya dipersiapkan oleh para partai politik (parpol) peserta Pemilihan Umum (pemilu) untuk bisa meraih dukungan suara dari masyarakat dalam menghadapi hajatan Pemilu 2024.

Meskipun belum memasuki masa kampanye, nuansa pesta demokrasi aromanya sudah kuat tercium belakangan ini. Berita-berita politik mulai santer terdengar di media, baik di media massa maupun media sosial (medsos).

Isu soal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) mulai menggema, sistem regulasi pemilu juga kerap diperbincangkan, kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh elite politik pun serba dikaitkan dengan agenda Pemilu 2024.

Menariknya, para politisi belakangan ini juga kerap membawa isu-isu terkait generasi milenial dan Gen Z, seperti kesehatan mental, perubahan iklim, kekerasan seksual, perkembangan teknologi, dan semacamnya. Para politisi pun sering menyebut sudah akrab dengan medsos, tempatnya anak muda untuk menghabiskan waktu.

Terkait itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan daftar pemilih tetap (DPT) untuk Pemilu 2024. Jumlah pemilihnya mencapai 204.807.222 orang. Mayoritas pemilih berasal dari milenial dan Gen Z, dengan jumlah total lebih dari 113 juta orang atau sekitar 56,45% dari total pemilih.

Sementara itu, sebanyak 66.822.389, yang mencakup persentase 33,60%, merupakan pemilih dari generasi milenial.

Karena itu, banyaknya jumlah pemilih dari kalangan generasi milenial dan Gen Z ini menjadi sasaran empuk para parpol dan politisi. Hal ini biasa dimanfaatkan mereka untuk kepentingan politik, tetapi tak jarang para generasi milenial dan Gen Z hanya dijadikan sebagai objek politik semata.

Dalam era digital dan teknologi informasi yang semakin canggih, generasi milenial dan Gen Z telah menjadi kekuatan politik yang signifikan dengan jumlah pemilih yang besar. Kelompok ini terdiri dari individu yang lahir antara akhir 1980-an hingga pertengahan 2000-an, yang telah tumbuh dalam era globalisasi, diversifikasi informasi, dan akses internet yang luas.

Dengan ciri khasnya yang berbeda dari generasi sebelumnya, generasi milenial dan Gen Z menawarkan peluang besar bagi para kandidat dan parpol untuk mendapatkan dukungan dan suara yang signifikan.

Kehadiran teknologi informasi dan medsos telah membuka pintu bagi para politisi untuk secara efektif menyampaikan pesan mereka kepada generasi ini, dan hal ini sangat dimanfaatkan dalam upaya kampanye politik.

Baca juga :  The Pig Head in Tempo

Para parpol dan politisi pun tampaknya mengenali potensi besar yang dimiliki oleh generasi milenial dan Gen Z dalam memengaruhi hasil pemilu. Mereka cenderung lebih terbuka terhadap ideologi baru, reformasi, dan isu-isu progresif, serta memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dan berkampanye melalui platform media sosial dengan efektif.

Oleh karena itu, parpol dan politisi banyak berinvestasi dalam memahami preferensi dan keinginan generasi ini, serta merancang pesan dan strategi kampanye yang dapat menarik perhatian dan mendapatkan dukungan dari mereka.

Akan tetapi, di balik upaya parpol dan politisi untuk mendapatkan dukungan dari generasi milenial dan Gen Z, terdapat risiko bahwa kelompok ini hanya dijadikan sebagai objek politik saja.

Banyak kasus di mana para politisi cenderung menggunakan isu-isu yang populer di kalangan generasi ini, seperti isu lingkungan, kesetaraan gender, hak asasi manusia (HAM), dan lain sebagainya, hanya sebagai alat untuk meraih popularitas dan mendapatkan suara tanpa benar-benar mengimplementasikan perubahan yang dijanjikan setelah terpilih.

Selain itu, juga terdapat fenomena yang dikenal sebagai virtue signaling yang bermakna bahwa  politisi atau parpol menggunakan isu-isu sosial yang populer di kalangan generasi milenial dan Gen Z untuk memamerkan dukungan mereka tanpa melakukan tindakan nyata yang substansial. Hal ini tentunya dapat mengakibatkan kekecewaan dan rasa ketidakpercayaan dari pihak generasi ini terhadap dunia politik.

Ini artinya, generasi milenial dan Gen Z tidak dijadikan sebagai kelompok yang benar-benar dihargai dan didengarkan.

Oleh karena itu, penting bagi generasi milenial dan Gen Z untuk tidak menjadikan diri mereka sebagai target empuk para parpol dan politisi, tetapi juga berperan aktif dalam memilih calon yang benar-benar mewakili nilai-nilai dan aspirasi mereka. Selain memberikan suara, generasi ini juga memiliki potensi untuk terlibat secara lebih aktif dalam politik, baik melalui partisipasi dalam kampanye, aksi advokasi, atau bahkan pencalonan diri sebagai pemimpin masa depan.

Dalam rangka menghindari menjadi hanya objek politik, generasi milenial dan Gen Z perlu menjaga kritisisme politik dan memastikan bahwa mereka mendukung kandidat dan partai yang benar-benar mewakili nilai-nilai dan aspirasi mereka. Transparansi dan keterlibatan aktif menjadi kunci.

Politisi dan parpol pun harus menunjukkan keterbukaan dalam perumusan tujuan program-program politiknya. Mereka harus secara aktif melibatkan generasi milenial dan Gen Z dalam proses pengambilan keputusan, merespons aspirasi dan masukan mereka, dan menggelar dialog terbuka melalui forum partisipatif serta konsultasi publik.

Baca juga :  Begitu Sulit Sri Mulyani

Implementasi nyata janji kampanye juga menjadi esensial. Politisi dan parpol mesti mengedepankan tindakan nyata setelah terpilih. Mereka dituntut untuk membuktikan komitmen terhadap isu-isu yang penting bagi generasi ini dengan langkah konkret dan solusi yang dapat diukur.

Partisipasi aktif generasi muda penting untuk terus didorong. Politisi dan parpol semestinya memberikan ruang yang lebih luas bagi generasi milenial dan Gen Z untuk turut serta dalam dunia politik. Ini bisa berupa kesempatan pencalonan, partisipasi dalam kampanye, advokasi, atau bahkan kepemimpinan di tingkat lokal dan nasional.

Tidak lupa, [pendidikan politik dan peningkatan kesadaran juga sangat penting. Politisi dan parpol seharusnya menginvestasikan waktu dan sumber daya dalam memperkaya pemahaman politik serta meningkatkan kesadaran di kalangan generasi muda. Ini akan membekali mereka dengan kemampuan untuk mengenali manipulasi politik dan peran penting mereka dalam proses politik secara keseluruhan.

Kemudian, politisi dan parpol harus menghargai keragaman pandangan dan nilai di antara generasi milenial dan Gen Z. Dengan mendengarkan beragam perspektif, mereka akan lebih memahami bahwa setiap individu dalam kelompok ini memiliki pandangan yang unik.

Mendengarkan dan berinteraksi secara aktif perlu ditekankan. Politisi dan parpol harus berperan dalam memahami aspirasi dan kebutuhan generasi milenial dan Gen Z. Interaksi dapat diwujudkan melalui dialog rutin, platform online, atau pertemuan tatap muka guna memahami dengan lebih mendalam isu-isu yang menjadi perhatian mereka.

Lalu, fokus pada isu substansia. Politisi dan parpol seharusnya lebih memusatkan perhatian pada isu-isu yang memiliki dampak nyata, daripada hanya berkutat pada retorika belaka. Dengan membangun platform politik yang didasarkan pada analisis mendalam dan solusi konkret, mereka akan memperlihatkan komitmen yang lebih kuat terhadap perubahan positif.

Semua harapan ini diarahkan untuk memastikan bahwa generasi milenial dan Gen Z tidak sekadar menjadi objek politik, melainkan dapat berperan aktif, serta memberikan pengaruh yang positif dalam proses politik yang akan membentuk masa depan masyarakat dan negara.

Dengan demikian, generasi milenial dan Gen Z dapat memastikan peran mereka dalam politik agar tidak hanya sebatas menjadi objek, tetapi juga menjadi agen perubahan yang berdampak positif pada masyarakat dan negara.


foto raihan m

Artikel ini ditulis oleh Raihan Muhammad

Raihan Muhammad adalah seorang mahasiswa jurusan Ilmu Hukum dari Universitas Negeri Semarang.


Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Prabowo Lost in Translation

Komunikasi pemerintahan Prabowo dinilai kacau dan amburadul. Baik Prabowo maupun para pembantunya dianggap tak cermat dalam melemparkan tanggapan dan jawaban atas isu tertentu kepada publik, sehingga gampang dipelintir dan dijadikan bahan kritik.

2029 Anies Fade Away atau Menyala?

Ekspektasi terhadap Anies Baswedan tampak masih eksis, terlebih dalam konteks respons, telaah, dan positioning kebijakan pemerintah. Respons dan manuver Anies pun bukan tidak mungkin menjadi kepingan yang akan membentuk skenario menuju pencalonannya di Pilpres 2029.

The Pig Head in Tempo

Teror kepala babi dan bangkai tikus jadi bentuk ancaman kepada kerja-kerja jurnalisme. Sebagai pilar ke-4 demokrasi, sudah selayaknya jurnalisme beroperasi dalam kondisi yang bebas dari tekanan.

PDIP Terpaksa โ€œTundukโ€ Kepada Jokowi?

PDIP melalui Puan Maharani dan Joko Widodo (Jokowi) tampak menunjukan relasi yang baik-baik saja setelah bertemu di agenda Ramadan Partai NasDem kemarin (21/3). Intrik elite PDIP seperti Deddy Sitorus, dengan Jokowi sebelumnya seolah seperti drama semata saat berkaca pada manuver PDIP yang diharapkan menjadi penyeimbang pemerintah tetapi justru bersikap sebaliknya. Lalu, kemana sebenarnya arah politik PDIP? Apakah akhirnya secara tak langsung PDIP akan โ€œtundukโ€ kepada Jokowi?

The Irreplaceable Luhut B. Pandjaitan? 

Di era kepresidenan Joko Widodo (Jokowi), Luhut Binsar Pandjaitan terlihat jadi orang yang diandalkan untuk jadi komunikator setiap kali ada isu genting. Mungkinkah Presiden Prabowo Subianto juga memerlukan sosok seperti Luhut? 

The Danger Lies in Sri Mulyani?

IHSG anjlok. Sementara APBN defisit hingga Rp31 triliun di awal tahun.

Deddy Corbuzier: the Villain?

Stafsus Kemhan Deddy Corbuzier kembali tuai kontroversi dengan video soal polemik revisi UU TNI. Pertanyaannya kemudian: mengapa Deddy?

Sejauh Mana โ€œKesucianโ€ Ahok?

Pasca spill memiliki catatan bobrok Pertamina dan dipanggil Kejaksaan Agung untuk bersaksi, โ€œkesucianโ€ Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok seolah diuji. Utamanya, terkait pertaruhan apakah dirinya justru seharusnya bertanggung jawab atas skandal dan kasus rasuah perusahaan plat merah tempat di mana dirinya menjadi Komisasis Utama dahulu.

More Stories

Ini Strategi Putin Meraih Stabilisasi?

Oleh: Muhammad Ferdiansyah, Shafanissa Arisanti Prawidya, Yoseph Januar Tedi PinterPolitik.com Dalam dua dekade terakhir, nama Vladimir Putin telah identik dengan perpolitikan di Rusia. Sejak periode awal...

Pesta Demokrasi? Mengkritisi Pandangan Pemilu

Oleh: Noki Dwi Nugroho PinterPolitik.com Sejak kemerdekaannya pada Agustus 1945, pendiri bangsa Indonesia berkonsensus untuk menjadikan wilayah bekas jajahan Kerajaan Belanda yang bernama Hindia Belanda ini...

Menguak Kabinet Obesitas Prabowo-Gibran

Oleh: Bayu Nugroho PinterPolitik.com Hal menarik  ketika adanya pengumuman kabinet pemerintahan Prabowo โ€“ Gibran adalah komposisinya yang sangat jumbo atau lebih tepatnya obesitas. Pemaknaan obesitas tersebut...