Baru-baru ini publik dikejutkan dengan aksi ciuman yang dilakukan oleh vokalis band The 1975 Matty Healy dengan rekan pemain bassnya Ross MacDonald ketika sedang manggung di Malaysia. Tindakan bernuansa homoseksual yang dilakukan oleh The 1975 selain mendapatkan reaksi keras dari pemerintah setempat juga memantik reaksi dari kalangan pro dan kontra terhadap LGBTQ+.
LGBTQ+ tampaknya akan selalu menjadi topik yang panas untuk dibicarakan. Benturan antara nilai budaya dan agama masyarakat setempat dengan diskursus hak serta kemanusiaan seringkali menjadi bahan topik perdebatan oleh masyarakat, termasuk para warganet, ketika membahas LGBTQ+.
Diskursus tersebut kembali ramai diperbincangkan setelah aksi ciuman yang dilakukan oleh vokalis band The 1975 Matty Healy dengan rekan pemain bassnya Ross MacDonald ketika manggung di Kuala Lumpur, Malaysia pada tanggal 21 Juli 2023 lalu.
Akibat tindakan kontroversial tersebut, pemerintah Malaysia bereaksi keras dan mengecam aksi tersebut.
Malaysia sendiri merupakan negara yang tegas melarang keberadaan LGBTQ+. Hal ini tertuang di dalam hukum pidana federal Malaysia pasal 377A yang menyatakan bahwa tindakan homoseksual akan diancam hukuman penjara selama 20 tahun serta cambuk.
Alih-alih mengevaluasi diri, sang vokalis band terlihat tidak menyesali perbuatannya. “Karena kalian anak muda saya yakin banyak dari kalian yang gay, progresif, dan keren maka dari itu saya membuat pertunjukan (aksi ciuman) kemarin,” ucap Matty setelah konsernya diberhentikan oleh pihak otoritas Malaysia.
Sebelumnya, kontroversi LGBTQ+ juga sempat ramai di Indonesia setelah agenda konser konser band asal Britania Raya Coldplay di Jakarta yang recananya diadakan pada pada bulan November 2023 mendatang.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan penolakannya atas penyelenggaraan konser Coldplay lantaran band tersebut mendukung LGBTQ+.
Berbagai penolakan dari kalangan masyarakat maupun pemerintah di negara-negara yang terkenal agamais seperti Indonesia dan Malaysia tampaknya menunjukan LGBTQ+ memang akan sulit untuk bisa diterima keberadaanya.
Akan tetapi, hal yang menarik untuk dibahas dari aksi ciuman oleh The 1975 adalah munculnya pernyataan ketidaksetujuan dari kalangan para aktivis LGBTQ+.
Ketidaksetujuan ini dapat terlihat dari artikel tulisan di beberapa media yang juga memiliki concern terhadap isu gender.
Misalnya, dalam artikel tulisan di media Magdalena berjudul Matty Healy, ‘White Savior Complex’, dan Ancaman Buat Queer Malaysia . Ddijelaskan bahwa aksi ciuman yang dilakukan oleh Matty justru dapat merentankan kelompok LGBTQ+ di Malaysia sendiri.
Melihat penolakan dan kritik yang tidak hanya muncul dari kelompok oposisi, tampaknya pergerakan para aktivis LGBTQ+ terlihat begitu rapuh. Mengapa demikian?
Butuh Strategi Baru?
Melihat maraknya konser band-band asal negara barat di negara-negara mayoritas Islam seperti Malaysia dan Indonesia akhirnya membuat banyak warganet berspekulasi bahwa ini merupakan bagian dari kampanye LGBTQ+ terselubung. Dan, spekulasi itu tampaknya memiliki relevansi tertentu.
Sebagai bentuk dari advokasi, para pendukung LGBTQ+ berusaha meningkatkan perhatian masyarakat atas keberadaan kelompok mereka. Berbagai strategi yang digunakan salah satunya dengan menggunakan musik, misalnya, dengan mengadakan maupun membonceng di konser penyanyi maupun band ternama dunia.
Menurut Sean McCandless & Nicole M dalam jurnalnya berjudul Popular Culture Informing Public Administration: Messages and Prospects for Social Equity sebagai sebuah bentuk budaya populer, musik dimanfaatkan oleh para aktivis LGBTQ+ untuk menampilkan pengalaman dan identitas kelompok mereka yang selama ini direpresi.
Penggunaan musik yang dimanfaatkan oleh para aktivis LGBTQ+ sebagai instrumen dalam mengkampanyekan kepentingan mereka disebut merupakan langkah strategis.
Hal ini seperti yang disampaikan oleh John Street dalam jurnalnya berjudul The Politics of Music and the Music of Politics. Street menjelaskan musik dapat digunakan untuk menyampaikan pesan politik dan ideologi. Dengan memanfaatkan emosi dari pendengarnya, musik mampu mengubah pemikiran politik, bahkan nilai tertentu yang dianut seseorang.
Disatu sisi apa yang dilakukan oleh para aktivis LGBTQ+ selama ini belum bisa memberikan mereka akses terhadap kekuasaan (power) untuk menentang status quo.
Hal tersebut selaras dengan apa yang disampaikan oleh Mary Bernstein dalam jurnalnya berjudul Identities and Politics: Toward a Historical Understanding of The Lesbian and Gay Movement.
Menurut Bernstein, minimnya power atau akses terhadap kekuasaan yang dimiliki oleh para aktivis LGBTQ+ mengakibatkan mereka kesulitan dalam menentang represi baik dari pemerintah maupun kelompok masyarakat konservatif.
Michel Foucault dalam bukunya berjudul History of Sexuality menjelaskan melalui kekuasaan dan konstruksi pengetahuan, institusi atau sebuah lembaga negara mampu mendisiplinkan setiap tubuh individu rakyatnya. Foucault menyebut kemampuan yang dimiliki negara ini disebut sebagai biopower.
Praktik biopower mengarah pada pembentukan identitas seksual kolektif oleh institusi negara. Tindakan pendisiplinan identitas seksual oleh negara juga ditandai dengan dibentuknya serangkaian kebijakan atau regulasi yang mengkriminalisasi gender tertentu yaitu LGBTQ+ dan penanaman ideologi heteronormativity.
Menurut seorang teoritikus gender Judith Butler, heteronormativity merupakan pandangan bahwa heteroseksual sebagai satu-satunya orientasi seksual yang normal dan standar moral atau norma masyarakat umum.
Kuatnya pandangan heteronormativity ini tidak bisa dilepaskan dari faktor-faktor yang melegitimasinya.
Misalnya dalam jurnal yang ditulis oleh Radzhana Buyantueva berjudul Rights Activism and Homophobia in Russia. Buyantueva menjelaskan kuatnya pengaruh paham konservatif agama dan gaya kepemimpinan otoriter pemerintah telah memperkuat sikap homophobic dikalangan masyarakat Rusia.
Selain minimnya kekuasaan, masalah lain yang juga dihadapi oleh para aktivis LGBTQ+ adalah ketidakmampuannya dalam mengadaptasi nilai-nilai lokal di tempat mereka berada.
Kimberly Dugan dalam bukunya berjudul The Struggle Over Gay, Lesbian, and Bisexual Rights: Facing Off in Cincinnati menjelaskan bahwa para aktivis LGBTQ+ seringkali kesulitan menyelaraskan isu yang diangkat dalam kampanyenya dengan konteks budaya lokal dan agama mayoritas.
Hal ini membuat kampanye LGBTQ+ di negara-negara seperti Indonesia dan Malaysia langsung dipandang sebagai ancaman terhadap nilai-nilai budaya lokal ketimbang ajakan untuk mengevaluasi sisi kemanusiaan.
Lantas, apa yang harus dilakukan oleh para aktivis LGBTQ+ dalam menjawab tantangan ini?
Lebih Baik Hati-Hati
Mau tidak mau para aktivis LGBTQ+ tampaknya memang akan selalu mendapatkan penolakan karena dinilai menyimpang dari pandangan nilai-nilai agama dan budaya masyarakat lokal.
Apa yang dialami oleh The 1975 di Malaysia dan respon MUI terhadap kedatangan Coldplay menunjukkan bagaimana reaksi represif dari suatu kelompok dalam merespon sebuah penyimpangan.
Menurut De La Roche dalam jurnalnya berjudul Collective Violence as Social Control kekerasan yang bersifat kolektif merupakan tindakan moralistik dalam merespon perilaku menyimpang.
Ketidaksetujuan yang bisa saja mengarah pada perilaku kekerasan terhadap kelompok LGBTQ+ kemudian semakin diperkuat dengan sikap para politisi yang mencoba memanfaatkan kemarahan dan ketakutan dari masyarakat.
Siri Gloppen dan Lise Rakner dalam jurnalnya berjudul The perfect enemy: From Migrants to Sexual Minorities menjelaskan seorang politisi yang tidak mendukung sentimen negatif masyarakat terhadap kelompok LGBTQ+ kemungkinan akan kehilangan dukungan elektoral.
Tindakan represi dari para kelompok homophobic yang kemudian juga dibenarkan oleh para pengambil kebijakan mengharuskan aktivis LGBTQ+ lebih berhati-hati dan mengevaluasi pergerakan mereka agar tidak mengancam anggota komunitasnya sendiri.
Hal ini kemudian tidak mengherankan jika aksi berciuman yang dilakukan Matty justru dianggap sebagai bumerang bagi kelompok LGBTQ+ di Malaysia. Tak terkecuali dampaknya terhadap gema isu di Indonsia yang membuat The 1975 juga urung manggung di negara +62.
Selain itu, para aktivis LGBTQ+ perlu membingkai isu yang diangkat menjadi lebih relatable dengan konteks nilai budaya setempat.
Dalam artikel PinterPolitik berjudul The 1975, Si Paling ‘LGBT’? dijelaskan bahwa aksi ciuman yang dilakukan oleh Matty ketika manggung di Malaysia menunjukan ketidakpahaman masyarakat Barat dalam memahami kelompok Queer di negara Timur.
Para aktivis LGBTQ+ tampaknya perlu menyadari bahwa perubahan yang mereka dambakan memang membutuhkan waktu dan kehati-hatian.
Tak hanya itu, dalam bersuara, tampaknya para aktivis LGBTQ+ perlu memaknai lebih mendalam nilai-nilai budaya lokal seperti yang ada di dalam peribahasa “dimana bumi dipijak disitulah langit dijunjung”. (F92)