Meski jajaran direksi dan komisaris telah resmi diumumkan, kemunculan isu Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menjadi Direktur Utama (Dirut) Pertamina seolah membuka ruang interpretasi mengenai betapa strategisnya posisi tersebut dalam konstelasi politik-bisnis perusahaan milik negara di tanah air. Mengapa demikian?
Isu bahwa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menjadi Direktur Utama (Dirut) Pertamina kepalang muncul dan memantik analisis tertentu, meski jajaran baru direksi dan komisaris perusahaan milik negara itu telah diputuskan.
Dalam susunan direksi dan komisaris baru Pertamina, Ahok sendiri tetap menjadi Komisaris Utama (Komut), kursi yang telah didudukinya sejak tahun 2019.
Sebelumnya, saat proses menggodok nama-nama yang pantas mengisi posisi pejabat teras perusahaan minyak milik pemerintah itu, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir sempat menyinggung nama sang mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta itu.
Sebelum diputuskan, awal pekan ini Erick sempat mengatakan Wamen BUMN sedang menyeleksi sejumlah nama kandidat calon Dirut Pertamina, salah satunya adalah Ahok.
Perdebatan sontak menyeruak saat wacana tersebut mengemuka. Meski dianggap memiliki rekam jejak tegas dalam transparansi birokrasi, Ahok tersandung statusnya yang merupakan anggota partai politik (parpol).
Itu belum termasuk kebijakan tidak menurunkan harga BBM kendati harga minyak dunia menyentuh level terendah dalam beberapa dekade. Itu terjadi saat dunia memasuki masa awal pandemi di akhir 2019 hingga awal 2020 lalu.
Sedikit flashback saat Ahok ditunjuk sebagai Komut, kontroversi pun telah mengemuka. Riwayat Ahok yang pernah terjerat kasus hukum dan dipenjara selama dua tahun menjadi salah satunya.
Selain itu, serikat pekerja Pertamina juga sempat menolak penunjukkan Ahok sebagai Komut pada tahun 2019 silam. Suara penolakan yang muncul mengarah para penilaian terhadap sosok Ahok yang dianggap kontroversial dan kerap membuat gaduh.
Lantas, pertanyaan pertama mengemuka, yakni mengapa posisi Dirut Pertamina seolah begitu sakral dalam interaksinya dengan konstelasi politik dan pemerintahan? Lalu, mengapa nama Ahok bisa sampai muncul sebagai kandidat Dirut Pertamina dengan segala ganjalannya?
Pasang Surut Konservatisme
Dalam dimensi tertentu, sebagai BUMN, Pertamina kerap disebut sebagai cash cow atau sapi perah finansial bagi pihak tertentu.
Politikus PDIP Lasarus seolah turut mengafirmasi hal itu. Menariknya, hal tersebut diungkapkan pada 2019 silam sebagai wejangan agar Ahok menghilangkan stigma sapi perah untuk mendukung program pembangunan pemerintah di Pertamina.
Tak dapat dipungkiri, mengacu data Fortune Indonesia 100, Pertamina mencatatkan pendapatan sebesar Rp820,65 triliun pada 2021 dengan laba bersih mencapai Rp29,2 triliun. Praktis, itu mencatatkan Pertamina sebagai BUMN terbesar di Indonesia.
Selain alasan begitu subur dan potensialnya Pertamina secara finansial atau ekonomi-politik, terdapat dua hal lain yang menjadikan Pertamina, termasuk pucuk pimpinannya menjadi sangat strategis bagi politik dan kekuasaan.
Alasan kedua, keleluasaan penujukan orang-orang yang dapat “berkompromi” di Pertamina menjadikan perusahaan pelat merah itu seolah dapat mengakomodir kepentingan tertentu.
Meski di satu sisi justifikasi lebih mudah dan efektif menjalankan kekuasaan atau bekerja dengan “orang dekat” sebagaimana pernah disebutkan Niccolo Machiavelli tetap menemui relevansinya, di sisi lain, peluang terjadinya konflik kepentingan tetap cukup terbuka.
Ketiga, sebagai perusahaan milik negara, Pertamina dan para elitenya juga dapat digunakan untuk mengelola citra politik dan pemerintah. Politik subsidi maupun politik distribusi menjadi salah dua sampel konkret presumsi tersebut.
Selain itu, persoalan klasik justru terpelihara dan mendukung aspek minor relasi perusahaan milik negara dengan politik.
Hal itu juga dikemukakan dalam publikasi Indri Dwi Apriliyanti dan Stein Oluf Kristiansen yang berjudul The logics of political business in state-owned enterprises: the case of Indonesia.
Frasa political business digunakan Apriliyanti dan Kristensen untuk mendefinisikan “arwah” BUMN yang mengakar sejak lama. Itu tak lain tendensi adanya konflik kepentingan karena potensi campur tangan dalam komposisi dewan dan keputusan bisnis oleh politisi.
Konservatisme kolektif dan oportunisme resiprokal menjadi dua hal yang berkorelasi dengan kinerja BUMN yang kerap terlihat kurang baik.
Konservatisme kolektif sendiri dijelaskan sebagai anggapan para aktor kunci dalam BUMN yang merasionalisasi keputusan mereka saat ini sebagai kelanjutan dan penyesuaian dari apa yang sebelumnya telah ada.
Sementara itu, di saat bersamaan, para aktor itu saling mempertahankan kultur tersebut bersama dengan kepentingannya masing-masing dalam sebuah konsensus. Ini yang disebut Apriliyanti dan Kristensen sebagai oportunisme resiprokal.
Seiring waktu, konservatisme kolektif dan kombinasi oportunisme resiprokal seakan menjadi basis pembenaran dan rasionalisasi lanjutan bahwa kebijakan, kinerja, hingga keputusan apapun yang diambil terkait BUMN diperlukan untuk mencapai tujuan bisnis yang vital.
Sayangnya, institusi yang disfungsional itu bertahan untuk waktu yang lama. Berbagai praktik yang ada tak jarang “dinormalisasi”, baik dari internal institusi maupun pemahaman yang muncul dari publik.
Situasi itu secara otomatis akan menciptakan predikat “strategis” terhadap posisi pucuk pimpinan perusahaan BUMN, tak terkecuali Dirut Pertamina.
Apalagi, dalam publikasinya, Aprilianti dan Kristiansen juga menemukan kecenderungan BUMN merupakan salah satu sumber utama pendanaan sistem politik.
Dalam praktiknya, case di Pertamina sempat menampilkan konservatisme kolektif dan oportunisme resiprokal dalam dimensi berbeda yang tak berjalan dengan baik. Ihwal yang tampaknya terjadi karena adanya transisi maupun perubahan kepentingan.
Selain preseden Dirut Pertamina (1968-1976) Ibnu Sutowo di masa Orde Baru (Orba), intrik pencopotan Dirut Pertamina (2014-2017) Dwi Soetjipto oleh Menteri BUMN (2014-2019) Rini Soemarno juga menjadi sampel konkretnya.
Khalayak pun seakan cukup memahami dinamika semacam itu. Oleh karenanya, meski reputasi Ahok cukup positif dalam membawa gebrakan dalam tatak kelola birokrasi, riwayat intrik terkait BUMN dan Pertamina khususnya membuat penunjukkan seorang politisi untuk menjadi Dirutnya dapat dipastikan akan menuai polemik.
Lalu, mungkinkah justru ada intensi tertentu di balik tak terpilihnya Ahok menjadi Dirut dan tetap menjadi Komut Pertamina?
Masih Optimis?
Di awal penunjukkan Ahok sebagai Komut Pertamina, harapan publik menggantung agar sang politisi PDIP itu membawa dampak positif konkret yang dapat dirasakan masyarakat.
Mulai dari distribusi hingga harga bahan bakar yang terjangkau untuk menimbulkan efek domino positif bagi keterjangkauan dan stabilitas harga berbagai komoditas.
Apalagi penujukkan Ahok bersifat straight from the top atau langsung dari elite politik dan pemerintahan dalam hal ini Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Terlepas dari “kepentingan khusus” yang ingin direngkuh, presiden tentu dapat melakukan pengawasan lebih mendalam terhadap aktor-aktor politik mana yang berusaha menjadikan BUMN, khususnya Pertamina, sebagai sapi perah.
Hal itu selaras dengan eksplanasi George C. Edwards III dalam publikasinya yang berjudul Neustadt’s Power Approach to the Presidency, presiden dapat meningkatkan kekuatannya (power) dengan menempatkan relasi-relasinya di kutub-kutub kekuatan lain.
Sebagai sosok yang digadang sebagai utusan terbaik untuk memperbaiki kinerja sekaligus dapat menjadi aktualisasi citra politik dan pemerintah, dengan posisinya sebagai Komut saat ini kiranya memang sudah cukup.
Itu dalam artian tidak dipromosikan sebagai Dirut untuk menambah kegaduhan, dan di sisi lain, tetap dapat menjadi perpanjangan tangan kepentingan politik dan pemerintah.
Namun, Ahok pun kiranya dapat memanfaatkan posisinya saat ini untuk mengelola citra politik positif di akhir kekuasaan PDIP periode kedua. Termasuk bagi proyeksi karier politiknya yang seolah masih cukup menjanjikan. Lalu, mungkinkah itu akan dilakukan Ahok. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)