HomeNalar PolitikKapolda dan Pangdam Seksi di Pilkada

Kapolda dan Pangdam Seksi di Pilkada

Jelang Pilkada 2018, sejumlah nama mulai dibicarakan untuk maju menjadi orang nomor satu di provinsi tertentu. Di antara nama yang beredar, terdapat nama-nama eks Kapolda dan Pangdam. Nama-nama ini melengkapi daftar eks Kapolda dan Pangdam yang mencoba peruntungan di Pilkada. Mengapa mereka begitu “pede” terjun di kancah politik lokal?


PinterPolitik.com

[dropcap size=big]G[/dropcap]elaran Pilkada 2018 akan segera dimulai. Sejumlah nama mulai bermunculan untuk meramaikan perburuan kursi nomor satu di daerah masing-masing. Di antara nama-nama yang mengemuka terdapat beberapa nama jenderal baik dari kepolisian maupun militer. Bukan sekadar jenderal, tetapi jenderal-jenderal tersebut memiliki riwayat sebagai Panglima Daerah Militer (Pangdam) dan Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda).

Salah satu nama eks Pangdam yang diisukan gencar memburu kursi gubernur adalah Letjen TNI Edy Rahmayadi. Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) tersebut ramai dikabarkan akan melaju dalam perebutan kursi Gubernur Sumatera Utara. Pria yang kini menjabat Ketua Umum PSSI tersebut memiliki pengalaman di daerah tersebut sebagai Pangdam Bukit Barisan.

Dari kepolisian, terdapat pula nama yang hangat dirumorkan akan maju dalam Pilkada 2018 nanti. Salah satu nama yang menyeruak adalah Irjen Pol. Paulus Waterpauw. Bermodal CV sebagai bekas Kapolda Papua, Paulus rupanya cukup pede untuk bertarung di Pilgub Papua. Selain itu, terdapat pula nama Irjen Pol. Safaruddin. Jenderal bintang dua yang kini masih menjabat Kapolda Kaltim tersebut santer dibicarakan akan maju pada Pilgub Kaltim.

Nama-nama tersebut menambah daftar panjang bekas Kapolda dan Pangdam yang mencoba peruntungan di Pilkada. Berbekal pengalaman memimpin di daerahnya masing-masing, membuat partai politik tidak ragu mengusung bekas pimpinan tertinggi militer dan kepolisian di daerah tersebut. Mengapa Pangdam dan Kapolda begitu seksi di Pilkada?

Modal Para Penjaga Keamanan dan Pertahanan Lokal

Secara historis, bekas Kapolda dan Pangdam yang menjadi kepala daerah bukanlah barang baru. Praktik ini merupakan hal yang lazim terjadi pada era Orde Baru. Salah satu nama yang cukup populer adalah Sutiyoso. Sebagai Pangdam Jaya, ia dapat merentang jalan cukup mulus untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta. Sutiyoso mengikuti nama pendahulunya yaitu Soerjadi Soedirdja yang juga menempuh jalan menjadi Pangdam Jaya sebelum menjadi Gubernur DKI Jakarta. Di Jawa Barat, terdapat nama R. Nuriana yang menjadi Pangdam Siliwangi sebelum merengkuh kursi Jabar-1. Terdapat pula nama Imam Arifin yang menjadi Pangdam Brawijaya sebelum menduduki kursi Gubernur Jatim.

Baca juga :  Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Memajukan nama Kapolda dan Pangdam untuk duduk di kursi gubernur merupakan pilihan yang cukup rasional. Lama malang melintang  di suatu daerah, jenderal-jenderal tersebut dianggap cukup memiliki modal sosial di daerah tersebut. Menjadi Kapolda dan Pangdam memberikan pemahaman yang dalam mengenai kondisi sosial, budaya, dan ekonomi di daerah mereka masing-masing. Mereka tidak akan menemukan banyak kesulitan untuk mengetahui persoalan dan kebutuhan di suatu daerah. Pangdam dan Kapolda tersebut juga relatif memiliki jejaring yang mapan di daerah. Keharusan untuk membangun interaksi dan relasi dengan berbagai elemen masyarakat membuat mereka memiliki basis jaringan yang cukup kuat.

Sebagai nama yang cukup disegani di daerah, para Pangdam dan Kapolda juga tidak akan sulit mengenalkan diri di masyarakat. Reputasi mereka sebagai penjaga keamanan dan pertahanan di tingkat lokal membuat mereka tidak perlu menghabiskan banyak waktu untuk melakukan publikasi diri semasa kampanye.

Yang juga menarik adalah nama yang digadang maju pada gelaran Pilkada mendatang adalah putra dari daerah. Nama-nama seperti Paulus Waterpauw dan Edy Rahmayadi adalah putra daerah yang cukup memiliki reputasi di tingkat nasional. Mengusung putra adat dengan karir mentereng sebagai Kapolda dan Pangdam tentu menarik bagi parpol. Narasi mengenai putra daerah yang ingin mengabdi bagi kampung halamannya juga dapat dibangun oleh para bakal calon. Kembalinya putra daerah dengan reputasi nasional tersebut tentu merupakan daya tarik tersendiri bagi masyarakat setempat di Pilgub kelak.

Kans Para Jenderal Lokal di Pilkada

Meski cukup ternama di tingkat lokal, nyatanya tidak semua Kapolda dan Pangdam tersebut dapat dengan mudah melenggang ke kursi Gubernur. Beberapa nama dapat dengan mulus mengalahkan kandidat lain dalam Pilkada. Sementara itu, beberapa nama yang lain harus gigit jari dan mengakui kemenangan kandidat lain.

Baca juga :  Prabowo, the Game-master President?

Salah satu nama yang berhasil memenangi gelaran politik tingkat lokal adalah Bibit Waluyo. Berpasangan dengan Rustriningsih, bekas Pangdam Diponegoro tersebut berhasil menyingkirkan lawan-lawannnya dan menjabat sebagai Gubernur Jateng pada 2008 silam. Terdapat pula nama I Made Mangku Pastika. Bekas Kapolda Bali tersebut bahkan berhasil menjadi Gubernur Bali selama dua periode dengan pasangan yang berbeda.

Meski terdapat kisah sukses, terdapat pula kisah jenderal lokal yang gagal di Pilkada. Pada Pilkada Sumut 2008 misalnya, terdapat nama Tri Tamtomo. Berpasangan dengan Benny Pasaribu, eks Pangdam Bukit Barisan tersebut harus mengakui kemenangan Syamsul Arifin dan Gatot Pujo Nugroho pada gelaran tersebut. Selain itu terdapat pula nama Iwan Ridwan Sulandjana. Melaju mendampingi Danny Setiawan, bekas Pangdam Siliwangi tersebut nyatanya harus takluk dari pasangan Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf.

Nama-nama Kapolda dan Pangdam yang santer diisukan akan bertarung di Pilkada mendatang, masih berstatus aktif di kesatuan masing-masing. Berdasarkan peraturan yang berlaku, perwira TNI dan Polri harus meninggalkan status kedinasannya jika ingin ikut berburu jabatan publik. Hal ini berarti mereka harus rela mengucapkan selamat tinggal pada kemungkinan jenjang karir yang masih mungkin diraih. Jenderal-jenderal tersebut harus rela mengubur impian untuk menambah bintang di pundak mereka. Mereka juga harus melupakan kemungkinan mendapat jabatan strategis di kesatuan masing-masing.

Meski ada yang menuai sukses, nyatanya pilihan untuk maju dalam Pilkada tidak selalu mudah bagi Pangdam dan Kapolda. Pengalaman dan pemahaman medan yang apik di daerah nyatanya tidak mutlak memberikan kelapangan jalan menuju kursi gubernur. Terlepas dari hal tersebut, nama-nama Kapolda dan Pangdam tetap mempesona di mata parpol. Kapolda dan Pangdam tersebut juga tidak menyurutkan langkah dalam pencalonan meski opsi pensiun dini harus ditempuh. Dengan kans yang tidak mutlak dan risiko pensiun tersebut, mengapa mereka masih genit maju? (H33)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Anies Di-summon PKS!

Ahmad Syaikhu in a battle against Dedi be like, “I summon Anies Baswedan!”  #Anies #AniesBaswedan #PilkadaJawaBarat #AhmadSyaikhu #IlhamHabibie #PKS #pinterpolitik #infografis #politikindonesia #beritapolitik #beritapolitikterkini

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...