Usai rencana konser Coldplay di Jakarta, Indonesia, dikonfirmasi, Persaudaraan Alumni (PA) 212 beberapa kali menyatakan penolakan terhadap band asal Britania (Inggris) Raya tersebut – bahkan mengancam akan mengadakan demonstrasi besar-besaran. Mungkinkah ada siasat politik di baliknya?
“I used to rule the world. Seas would rise when I gave the word” – Coldplay, “Viva La Vida” (2008)
Keinginan untuk menonton konser Coldplay yang akan digelar di Jakarta, Indonesia, pada 15 November 2023 sudah pasti menggebu-gebu hingga ke ubun-ubun. Bagaimana tidak? Indonesia menjadi salah satu negara dengan jumlah penggemar yang besar.
Di berbagai daerah di Indonesia, pastinya banyak individu telah bersiap-siap untuk menjalankan ticket war untuk mendapatkan kesempatan melihat langsung penampilan Chris Martin dkk di panggung – meski akhirnya harus menghadapi antrian online sebanyak lebih dari 500.000 orang.
Nah, meski banyak orang berbondong-bondong memperebutkan tiket konser Coldplay, ada juga orang-orang yang siap “nge-war” agar malah membatalkan kedatangan band tersebut ke Jakarta. Orang yang berbondong-bondong ini menyebut diri mereka sebagai Persaudaraan Alumni (PA) 212.
Melalui Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) PA 212 Novel Bamukmin, organisasi masyarakat satu ini menolak kedatangan Coldplay karena satu alasan, yakni karena band ternama itu mendukung komunitas lesbian, gay, biseksual, transgender, dan sebagainya (LGBT).
Bila para penggemar Coldplay siap melanjalankan “ticket war”, PA 212 bahkan bersiap untuk nge-war lainnya, yakni dengan melakukan aksi demonstrasi besar-besaran layaknya aksi yang digelar oleh Front Pembela Islam (FPI) yang menggagalkan konser Lady Gaga di Jakarta pada tahun 2012 silam. Bahkan, mereka mengklaim siap untuk memberikan “welcome” kepada Coldplay di bandara.
Persaingan “war” inipun kemudian melibatkan lebih banyak pihak lagi. Selain PA 212 dan Coldplay, banyak warganet akhirnya memulai “war” lain, yakni comment war. Para pengguna media sosial (medsos) di berbagai platform – mulai dari Twitter hingga Instagram – mengkritik kembali PA 212.
Beberapa menyindir bahwa PA 212 adalah orang-orang yang takut tidak mendapatkan tiket ketika ticket war. Beberapa pun mengomentari serius bahwa cara menolak yang dilakukan oleh PA 212 bukanlah cara yang tepat.
Entah argumen yang mana yang dikemukakan oleh para warganet, semua sepakat apabila pernyataan Novel terkait konser Coldplay berhasil mengambil perhatian publik yang besar. Semua akun media dan informasi di medsos pun memberitakan hal ini.
Perhatian pun juga berhasil didapatkan PA 212 oleh Menteri Pariwisata dari Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno. Sebagai menteri yang sangat bersemangat untuk menggolkan konser Coldplay di Indonesia, Sandiaga pun menjamin bahwa konser itu akan berjalan tanpa gangguan.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah alasan PA 212 melakukan penolakan tersebut – padahal banyak warganet sedang menanti-nanti kedatangan Coldplay ke Indonesia. Mengapa bisa saja PA 212 memiliki kepetingan politis di balik penolakannya terhadap Coldplay?
Coldplay Jadi Bahan Caper?
Bukan tidak mungkin, kemunculan PA 212 di tengah ramainya rencana konser Coldplay di Indonesia memiliki konsekuensi strategis di baliknya. Dengan menyebarnya informasi penolakan mereka, ormas satu ini bisa saja tengah memanfaatkan situasi yang ada di dunia informasi.
Terdapat sebuah konsep yang mungkin kini tengah dimanfaatkan oleh PA 212, yakni viralitas. Salah satu unggahan @pinterpolitik yang bertajuk “Mulai Nih Tolak-tolak Coldplay?” di Instagram pada 12 Mei 2023 saja – hingga tulisan ini dibuat – telah mendapatkan 19.949 likes dan 2.577 komentar.
Memang, kata “viral” bukanlah hal yang asing buat para pengguna internet. Namun, viralitas pun memiliki konsekuensi lebih lanjut dalam dinamika penyebaran informasi di jejaring dunia maya.
Mengacu pada tulisan Douglas Rushkoff yang berjudul Media Virus: Hidden Agendas in Popular Culture, komunikasi viral memiliki satu fitur utama, yakni bagaimana sebuah informasi mampu menjangkau pengguna sensitif (sensitive user).
Layaknya penyebaran sebuah virus yang menular, kemungkinan untuk “menginfeksi” pengguna sensitif lebih banyak akan menjadi semakin besar ketika suatu informasi menjangkau satu pengguna sensitif. Rantai “penularan” informasi inipun terus bersambung dan menyebar – mungkin secara eksponensial.
Namun, PA 212 sendiri mungkin sebenarnya sadar bahwa sikap menolak adalah informasi yang sensitif – mengingat banyak juga dari orang Indonesia yang mendengarkan karya-karya Coldplay. Apalagi, animo masyarakat terhadap rencana konser ini juga sedang tinggi-tingginya.
Komentar yang kontra terhadap sikap PA 212 pun terlihat dari sejumlah unggahan akun Instagram @pinterpolitik yang memberitakan perihal penolakan ormas tersebut terhadap Coldplay. “Sok asik amat itu ormas tukang reuni, sekolah kaga tpi reuninya rajin,” bunyi komentar salah satu akun yang mendapatkan hingga 1.218 likes.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa PA 212 tetap mengamplifikasi sikap menolaknya terhadap Coldplay bila mendapatkan komentar-komentar negatif demikian. Mengapa viralitas ini justru malah menguntungkan PA 212 secara politis? Mungkinkah upaya cari perhatian (caper) ini memiliki tujuan lebih lanjut?
PA 212 Ingin Comeback di 2024?
Mungkin, banyak orang berkata bahwa kini banyak influencer yang membuat sensasi di medsos. Sudah menjadi kebiasaan umum bahwa para influencer kemudian akan memberikan klarifikasi usai membuat sensasi tersebut.
Namun, sudah menjadi rahasia umum bahwa influencer atau selebriti tersebut akan mendapatkan keuntungan berupa publisitas – entah seburuk apapun sensasi yang dibuatnya dalam persepsi masyarakat. Biasanya, publisitas ini nantinya turut melambungkan nama influencer tersebut.
Bukan tidak mungkin, pola yang sama ini tengah dilakukan oleh PA 212. Pasalnya, Novel dkk ini bisa dibilang telah membuat sensasi terkait konser Coldplay selama setidaknya seminggu terakhir.
Pola ini juga bisa saja digunakan untuk kepentingan strategi politik yang ingin mereka capai. Bukan menjadi rahasia lagi bahwa PA 212 semakin kehilangan momentum politiknya setelah Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 dan penahanan Habib Rizieq Shihab (HRS) pada tahun 2020 silam – apalagi Ketua Umum (Ketum) Partai Gerindra Prabowo Subianto yang mereka dukung pada Pilpres 2019 memilih untuk bergabung ke koalisi pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin.
Pasalnya, mengacu pada tulisan Norbert Merkovity yang berjudul Introduction to Attention-based Politics, upaya untuk mencari perhatian sebenarnya bisa dijadikan modal politik. Cara inilah yang dilakukan oleh Donald Trump pada Pilpres Amerika Serikat (AS) 2016 silam – hingga berhasil menjabat sebagai presiden ke-45 AS.
Kala itu, Trump berhasil menciptakan berbagai kontroversi di medsos. Publik secara terus-menerus dan tanpa henti mendiskusikan Trump dan berbagai pernyataan kontroversialnya.
Merkovity menilai bahwa apa yang dilakukan Trump ini akhirnya menjadi modal politik baginya untuk mempengaruhi dinamika dan diskursus elektoral dalam Pilpres AS 2016. Bukan tidak mungkin, cara yang serupa kini tengah dilakukan oleh PA 212.
Setidaknya, dengan menyatakan penolakan terhadap Coldplay yang sedang menjadi buah bibir, PA 212 kembali menunjukkan eksistensinya dalam dinamika sosial dan politik Indonesia. Bila memiliki pengaruh yang sama dengan ormas pendahulunya, FPI, PA 212 bisa saja menunjukkan kekuatannya dalam politik massa melalui isu konser Coldplay.
Mungkin, layaknya lirik “Viva La Vida” dari Coldplay di awal tulisan, PA 212 ingin bisa kembali memiliki pengaruh yang luas kembali – ketika apapun yang mereka katakan dan lakukan mampu menciptakan kehebohan di masyarakat Indonesia.
Dan, bila kontroversi-kontroversi berikutnya bisa diakumulasikan menjadi modal politik, bukan tidak mungkin PA 212 akan kembali (comeback) ke dalam permainan politik elektoral layaknya Pilpres 2019 silam. Menarik untuk diamati kelanjutannya – tentu termasuk bagaimana mereka menindaklanjuti konser Coldplay pada November nanti. (A43)