Upaya Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko untuk terlibat dalam dinamika Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 tampaknya belum berhenti. Kubu Moeldoko di Partai Demokrat akan melanjutkan peninjauan kembali (PK) terkait kepemimpinan partai ke Mahkamah Agung (MA).
Beberapa waktu lalu, Musyawarah Rakyat (Musra) memasukkan nama Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko sebagai salah satu calon wakil presiden (cawapres) potensial. Bukan tidak mungkin, ini semakin melancarkan upaya Moeldoko untuk terlibat dalam dinamika elektoral Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 – termasuk upaya perebutan Partai Demokrat.
Isu kudeta Partai Demokrat oleh Moeldoko telah masuk babak final. Perebutan kekuasaan yang telah dimulai semenjak 2021 itu masuk ke tahap sidang terakhir, yakni Peninjauan Kembali (PK) yang dimohonkan oleh Partai Demokrat versi Moeldoko Cs.
Awal terciptanya dualisme kepengurusan ini bermula dari Kongres Luar Biasa (KLB) yang di adakan pada 5 Maret 2021. Hasil sidang KLB yang membahas penunjukan ketua umum (ketum) partai pun mengesahkan Moeldoko – setelah sebelumnya beradu mendapatkan posisi dengan Marzuki Alie.
KLB inipun dianggap tidak sah oleh kubu Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan sudah dianggap sebagai upaya pengambilalihan paksa sejak Februari 2021. Moeldoko Cs berusaha sekuat tenaga dan berkali-kali tidak menyerah untuk bisa menjadi pemimpin Partai Demokrat.
Usaha Moeldoko Cs dimulai semenjak keputusan dari Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) tidak mengesahkan tentang perubahan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) kubu Moeldoko. Dengan demikian, maka AHY masih diakui sebagai Ketum Partai Demokrat.
Hal ini lalu berimbas kepada gugatan tata usaha negara dilayangkan oleh kubu Moeldoko, yang berisi untuk mencabut Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly karena dianggap telah merugikan kubu Moeldoko. Tertulis di dalam gugatan bahwa salah satu alasannya ialah merasa telah dirugikan karena tidak disahkannya Perubahan AD/ART dan Susunan Kepengurusan DPP Partai Demokrat Periode 2021-2025, serta tidak berfungsinya Perubahan AD/ART dan Susunan Kepengurusan DPP Partai Demokrat Periode 2021-2025.
Dengan tidak disahkannya perubahan AD/ART, maka Moeldoko beserta kepengurusan versi KLB Deli Serdang belum menjadi Partai Demokrat yang sah secara hukum meskipun kepengurusannya sudah dibuat. Apabila melihat kondisi tersebut, tinggal menunggu waktu putusan pengadilan Mahkamah Agung (MA) untuk akhirnya menjawab kepengurusan mana yang akan menang.
Banyak kritik muncul terhadap langkah yang dilakukan oleh KSP Moeldoko. Selain dari kubu AHY, KSP Moeldoko yang merupakan mantan anggota TNI juga memantik kekecewaan dari para purnawirawan petinggi TNI-Polri, yang beranggapan bahwa langkah hukum KSP Moeldoko mengganggu dan merusak demokrasi menjelang Pemilu 2024.
Mengapa Moeldoko tidak ada henti-hentinya mencoba “merebut” Partai Demokrat dari AHY? Mungkinkah ada kepentingan politik lebih jauh di balik upaya-upaya ini?
Ambisi Politik Moeldoko?
Dalam bukunya Mahfud membagi karakter produk hukum menjadi dua macam, yakni pembangunan hukum “ortodoks” dan pembangunan hukum “responsif”. Pada hukum ortodoks, peranan lembaga-lembaga negara (pemerintah dan parlemen) sangat dominan dalam menentukan arah perkembangan hukum. Sedangkan dalam hukum responsif, peranan besar terletak pada lembaga peradilan yang disertai partisipasi luas kelompok sosial atau individu-individu dalam masyarakat.
Putusan pengadilan merupakan sebuah produk hukum. Putusan pengadilan tersebut nantinya dengan sendirinya setelah dibuat sebagai putusan yang berkekuatan hukum tetap atau inkrahct, akan menjadi sebuah produk hukum yang bersifat responsif.
Dikaitkan dengan penjabaran teori Politik Hukum, maka langkah Moeldoko yang memohon PK memiliki arti bahwa Moeldoko mengekspektasikan produk hukum yang responsif, dan selaras dengan ambisi politiknya – yang mana ambisi politik itu datang dari melihat peluangnya Moeldoko dalam menjadikan dirinya pada posisi yang lebih tinggi dari jabatanya sekarang yaitu KSP.
Ambisi politik merupakan keinginan atau motif dari individu yakni politisi yang memperjuangkan untuk memperoleh atau mempertahankan kursi kekuasaan. Ambisi di dalam diri manusia ada dua macam, yaitu ambisi awal dan ambisi ekspresif.
Ambisi awal yaitu ambisi politisi sebelum mereka memutuskan untuk ikut serta dalam proses pemilihan. Ambisi ini berasal dari pribadi mereka sendiri. Di dalam ambisi awal ini, politisi mempertimbangkan kemampuan yang ada di dalam dirinya.
Sementara, ambisi yang bersifat ekspresif merupakan ambisi yang mendukung dari ambisi awal diatas. Seperti peluang jabatan, bagaimana lingkungan politik yang mendukung, persaingan yang akan dihadapi dan taksiran sumber daya yang dapat dimanfaatkan untuk membantu ketika mencalonkan diri.
Dalam kasus Moeldoko, tentunya dia masuk ke dalam kategori ambisi ekspresif, di mana dia melihat peluang jabatan yang akan diembannya nanti apabila berhasil terpilih menjadi RI 1. Dengan berhasil memenangkan PK di Mahkamah Agung (MA), kemungkinan tidak tertutup jikalau Moeldoko memiliki porosnya sendiri nantinya.
Lantas, apa konsekuensi yang akan terjadi jika Moeldoko, baik menang maupun kalah di MA? Mungkinkah ada kepentingan lebih lanjut di baliknya?
Pojokkan Anies?
Apa yang nanti diputuskan oleh MA sepertinya akan menjadi sesuatu yang besar bagi masa depan ekosistem hukum dan politik di Indonesia. Hal ini dikarenakan belum pernah ada satu pun kasus yang sama seperti apa yang dilakukan oleh Moeldoko Cs, yaitu melakukan “kudeta” partai.
Bisa saja putusan tersebut nanti akan menjadi salah satu landmark decision yang dikeluarkan oleh MA. Berhasil atau tidaknya Moeldoko Cs di MA akan menjadi norma hukum baru, yang pastinya akan digunakan sebagai contoh putusan di masa depan.
Apabila MA memenangkan Moeldoko Cs yang tentunya memiliki ekspektasi tinggi terhadap kemenangannya, maka ini sejalan dengan teori politik hukum yang dikemukakan oleh Mahfud.
Efek samping yang dihasilkan dari putusan tersebut sejalan dengan ambisi politiknya yang mana berarti peran besar dari lembaga peradilan dalam menentukan produk hukum tersebut atau dapat disebut sebagai produk hukum responsif. Hal ini juga tampaknya akan menjadi yurisprudensi hukum dan “yurisprudensi” politik di masa depan.
Apabila berhasil, akan menjadi sebuah alat politik untuk merebut partai dari tangan orang lain. Bukan tidak mungkin, nantinya akan muncul “pengkudetaan” partai lainnya, yang secara tidak langsung keputusan MA ini akan dijadikan acuan oleh pihak ketiga setiap kali ada yang ingin merampas partai politik dari tangan pemiliknya.
Apabila gagal dan ditolak PK dari Moeldoko Cs, maka secara hukum dan politik tampaknya akan menandakan tidak bisanya seseorang sembarangan dalam berpolitik. Adapun purnawirawan TNI Letjen (Purn) Ediwan Prabowo mengungkapkan bahwa jangan sampai seorang purnawirawan pejabat tinggi TNI-Polri berperilaku serampangan dalam berpolitik – apalagi sampai membuat kegaduhan, lebih lanjut, dia menilai, MA dapat mengambil keputusan yang memenuhi rasa keadilan dalam penanganan perkara KSP Moeldoko.
Selain itu, dengan berhasilnya Moeldoko merebut kekuasaan Partai Demokrat dari AHY, tampaknya akan memutus harapan mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang telah diusung oleh Koalisi Perubahan untuk persatuan yang terdiri dari Partai NasDem, PKS, dan Demokrat.
Namun, kembali lagi, tidak ada yang bisa memastikan apakah Moeldoko memenangkan PK atau tidak. Menarik untuk diamati kelanjutannya terkait kasus hukum ini terhadap situasi politik. (S93)