HomeNalar PolitikPPP, 'Kuda Troya' Operasi Intelijen?

PPP, ‘Kuda Troya’ Operasi Intelijen?

Penetapan Partai Persatuan Pembangunan dalam menjadikan Gubernur Jawa Tengah (Jateng), Ganjar Pranowo cukup menggetarkan prospek masa depan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). Mungkinkah ada peran intelijen politik di balik semua ini? 


PinterPolitik.com 

Mungkin di antara kalian pernah ada yang merasakan bagaimana tidak enaknya bila tertinggal dari tren yang sedang dibicarakan oleh orang-orang sepergaulan kita. Meskipun kita mungkin awalnya tidak tahu sama sekali dengan topik yang dibahas mereka, kita akan merasakan dorongan untuk mencari tahu. 

Fenomena psikologis tersebut belakangan ini disebut sebagai Fear of Missing Out (FOMO), atau ketakutan tertinggal tren yang sedang populer, dan wajar-wajar saja bila kalian sering merasa seperti itu. 

Well, fenomena FOMO ini kayaknya tidak hanya terjadi dalam pergaulan kita saja, tetapi juga dalam politik. Terkait pencalonan Gubernur Jawa Tengah (Jateng), Ganjar Pranowo sebagai calon presiden (capres), misalnya, tidak lama setelah Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDIP) mengumumkannya,  beberapa parpol lain menyusul menetapkan Ganjar sebagai capres. 

Dan salah satu parpol pengusung Ganjar yang paling menarik belakangan ini adalah Partai Persatuan Pembangunan atau PPP. Bagaimana tidak, pengumuman yang disampaikan langsung oleh Plt. Ketua Umum (Ketum) PPP, Muhamad Mardiono ini terkesan “mengkhianati” Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang terdiri dari Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Golongan Karya (Golkar).  

Kalaupun Golkar dan PAN tidak memiliki permusuhan secara khusus dengan Ganjar atau PDIP, pencapresan Ganjar oleh PPP diprediksi kuat akan memicu bubarnya KIB. Terlebih lagi, KIB sebelumnya digadang-gadang akan jadi kendaraan politik yang bisa didominasi oleh Golkar untuk mengusung Ketumnya, Airlangga Hartarto sebagai capres. 

Efek domino dari manuver politik ini kemudian pantas untuk kita renungi bersama. Mengapa tiba-tiba PPP mendukung Ganjar? Apakah mereka semata-mata hanya mengikuti PDIP atau justru mungkin ada intrik politik lebih mendalam yang pantas untuk kita curigai bersama? 

image 34

Sejak Awal PPP Jadi ‘Bom’ Intelijen? 

Pada pertengahan tahun 2022 PPP berhasil jadi sorotan publik, ini karena partai berlogo Kabah tersebut tiba-tiba saja melengserkan Ketumnya, Suharso Monoarfa.  

Yang menjadi menarik dari peristiwa politik itu adalah “pelengseran” tersebut seakan terjadi terlalu lancar, ini dibuktikan oleh respons kilat dari Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly yang mengesahkan Muhamad Mardiono sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum DPP PPP Periode 2020-2025. 

Spekulasi politik pun berkembang liar. Sebuah investigasi dari Tempo kala itu menyebutkan bahwa pendongkelan Suharso dan penyokongan Mardiono sebagai penggantinya diduga didukung oleh sebuah “konsolidasi bawah tanah”, hingga puncaknya mendapat “restu” Presiden Jokowi. Yap, secara singkatnya ada dugaan bahwa dinamika politik PPP saat itu melibatkan manuver-manuver intelijen demi melancarkan agenda-agenda politik tertentu. 

Baca juga :  Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Pembahasan khusus pelengseran Ketum PPP ini bisa dibaca langsung dalam artikel PinterPolitik berjudul Restu Intelijen, PPP Pasti Berjaya?. 

Dan ngomong-ngomong soal peran intelijen, tentu sebuah aksi intelijen bukanlah skenario yang sifatnya sekali jalan. Pengamat Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, menyebutkan bahwa operasi penggalangan intelijen meliputi tiga tahapan utama, yakni tahap infiltrasi, intensifikasi/eksploitasi, dan diakhiri tahap evaluasi/konsolidasi. 

Nah, kalau memang sedari awal penggantian pucuk ketua PPP diduga merupakan sebuah operasi intelijen, bukan tidak mungkin bila manuver politik yang dilakukan Mardiono kemudian juga masih dalam bagian dari operasi intelijen tersebut.  

Banyak pengamat menilai bahwa Mardiono sebagai Ketum PPP adalah jawaban agar partai tersebut tetap berada dalam ruang lingkup kendali petahana, yang ketika masa Suharso jadi pertanyaan besar semua pihak. Jika memang demikian, maka bisa saja polemik Ketum PPP hanyalah berperan sebagai tahapan infiltrasi atau penanaman “benih” kepentingan politik yang akan datang. 

Lalu, sebagai tahapan selanjutnya, yakni intensifikasi, bisa jadi adalah pengumuman PPP memberi dukungan Ganjar sebagai capres ini, karena di tahap yang satu ini pengerucutan dukungan politik akhirnya bisa terlihat. Agak tampak mustahil bila PPP merasa tetap perlu bertahan di KIB bila anggota partai lainnya, seperti Golkar khususnya, belum tampak setuju mendukung Ganjar sebagai capres. 

Untuk saat ini mungkin kita belum bisa melihat akan seperti apa tahapan ketiga, yakni tahapan konsolidasinya. Yang jelas, bisa kita nalarkan bahwa semua ini pada akhirnya akan bermuara pada keputusan Jokowi dan PDIP dalam menjadikan Ganjar sebagai capres.  

Pengamat politik Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, menilai bahwa “cakar-cakaran” para parpol di KIB yang akan terlihat pasca PDIP mengumumkan Ganjar sebagai capres adalah indikasi bahwa selama ini KIB merupakan sebuah wacana koalisi yang dibayangi oleh kekuatan besar di balik para parpol anggotanya. Khususnya, Ujang melihat Jokowi sebagai pengontrol KIB yang sesungguhnya. 

Kalau dugaan Ujang itu memang benar, maka bukan hal yang terlalu imajinatif bila kita asumsikan pihak yang memiliki kekuatan besar dalam mempengaruhi KIB adalah pihak yang sekarang ini merasa ingin meminimalisir potensi ancaman politik sebisa mungkin.  

Apa tujuan akhirnya? Well, bisa saja itu adalah penghancuran kekuatan politik potensial yang bisa menantang kepentingan warisan politik yang sedang disiapkan oleh Jokowi atau mungkin PDIP untuk 2024 nanti. 

Lantas, bagaimana kita bisa mengambil pembelajaran dari gejolak politik yang muncul akibat pencapresan Ganjar oleh PPP? 

image 35

Kuda Troya PDIP Mulai Dimainkan? 

Dari penjabaran di atas mungkin sebagian dari kita akan berpikir bahwa ada semacam metode ala “Kuda Troya” yang sedang dimainkan oleh para penguasa Indonesia saat ini. PPP di sini jadi bukti bahwa ada beberapa hal dalam konstelasi politik sekarang yang awalnya mungkin dikira tidak akan jadi masalah, tapi tiba-tiba saja meledak menjadi sebuah “jebakan Batman”. 

Baca juga :  Megawati Not Fit or No Money?

Ben Zimmer dalam tulisannya ‘Trojan Horse’: A Strategy That Keeps Hiding in Plain Sight, mewanti-wanti para politisi modern untuk tidak meninggalkan pelajaran berharga yang diberikan dengan mempelajari taktik Kuda Troya yang diterapkan oleh para orang Yunani kuno ribuan tahun lalu, karena taktik yang satu ini senantiasa terbukti jadi taktik yang sangat efektif meskipun diterapkan di zaman sekarang. 

Yang menariknya, kalau kita tarik pandangan ini ke persoalan PPP sebagai dugaan “Kuda Troya”, semuanya bisa terjadi tanpa perlu ada paksaan dari mereka yang mendorong agendanya.  

Seperti yang belakangan turut disorot, PPP adalah sebuah partai yang sedang merasa was-was, sejumlah survei menyebutkan mereka tidak akan mampu meloloskan kadernya ke Senayan pada 2024 nanti karena dukungan pada PPP kian merosot. Salah satu faktor terbesarnya adalah karena PPP dianggap tidak mampu merawat dukungan dari para pemilih kritisnya, sesuatu yang pernah disampaikan sendiri oleh mantan Ketum-nya, Suryadharma Ali. 

Oleh karena itu, secara rasional PPP selalu memiliki opsi untuk meninggalkan rekan-rekannya di KIB karena akan selalu mencari celah untuk bergabung dengan kubu politik yang kuat demi menyelamatkan eksistensinya, kubu yang kuat tersebut saat ini bisa kita duga dengan nyaman sepertinya adalah PDIP. 

Namun, PPP sepertinya tidak akan menjadi Kuda Troya terakhir. Beberapa waktu terakhir ramai juga obrolan soal wacana Koalisi Besar pemerintah yang terdiri dari Partai Golkar, Partai Gerindra, PKB, PAN, dan PPP. Kalau Jokowi sudah bulat akan mendukung Ganjar di Pemilihan Presiden 2024 (Pilpres 2024) nanti, bisa saja dirinya akan jadi Kuda Troya selanjutnya, mengingat Jokowi dipandang sebagai aktor yang dapat merekatkan parpol-parpol besar yang namanya disebutkan di atas. 

Dan hal ini sudah mulai terlihat indikasinya, beberapa parpol tadi sudah berencana bertemu dengan Jokowi pasca Ganjar diumumkan sebagai capres PDIP. Bisa saja, skenario yang akan dimainkan nantinya adalah upaya negosiasi pada para ketum parpol untuk menerima Ganjar sebagai capres.  

Tentu masuk akal bila tidak semua parpol akan setuju dengan gagasan tersebut, tapi setidaknya dari pandangan pihak yang ingin meminimalisir ancaman, gejolak yang dimunculkan dengan “ultimatum” memihak capres tertentu akan cukup untuk menggetarkan soliditas kubu yang bisa menantang PDIP. 

Pada akhirnya, tentu semua yang sudah disampaikan di atas adalah asumsi semata. Yang jelas, semakin dekat dengan tahun 2024 dinamika politik Indonesia akan semakin “pedas”. Menarik untuk kita simak perkembangannya. (D74) 

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Anies Di-summon PKS!

Ahmad Syaikhu in a battle against Dedi be like, “I summon Anies Baswedan!”  #Anies #AniesBaswedan #PilkadaJawaBarat #AhmadSyaikhu #IlhamHabibie #PKS #pinterpolitik #infografis #politikindonesia #beritapolitik #beritapolitikterkini

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

More Stories

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia?