Anas Urbaningrum resmi menghirup udara segar dari Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin setelah menjalani hukuman delapan tahun penjara. Mampukah kembalinya Anas menjadi momentum untuk merebut kembali pengaruhnya di Partai Demokrat?
PinterPolitik.com
Dunia politik nasional kembali diguncang oleh kembalinya “figur lama” dari tanah pengasingannya. Bagaimana tidak? Anas Urbaningrum yang dikenal sebagai Ketua Umum Partai Demokrat periode 2009-2013 resmi bebas pada 10 April lalu, di mana kasus Hambalang menjadi titik perkara yang mengharuskan Anas unutk mendekam di penjara beserta elite partai lainnya.
Kabar mengenai bebasnya Anas sudah disambut hangat oleh berbagai elemen pendukungnya, baik dari kader Demokrat maupun Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sendiri, dan penyambutan yang meriah ini menunjukkan betapa besarnya pengaruh Anas sebagai politisi ulung pada zamannya.
Kendati Anas termasuk politisi ulung yang mampu mengonsolidasikan massa pendukungnya sekuat itu, namun tidak bisa dinafikkan bahwa kasus Hambalang menjadi “batu sandungan” bagi karier politiknya pada masa kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Anas yang sempat digadang-gadang bakal menjadi calon presiden nyatanya harus menghadapi “panggilan” KPK karena diduga terlibat dalam korupsi Hambalang
Kendati demikian, pasca bebasnya Anas, mencuat perdebatan di dunia maya yang digaungkan oleh beberapa politisi di Demokrat mengenai kesalahan Anas kepada SBY maupun sebaliknya. Perdebatan ini tidak bisa dilepaskan dari konflik Anas-SBY mengenai Hambalang, di mana mayoritas pendukung Anas meyakini bahwa Anas sengaja “dikriminalisasi” oleh SBY.
Selain itu, dengan orasinya Anas yang berjanji akan membongkar kebenaran di balik kasus Hambalang, bukan tidak mungkin akan memanaskan kembali konflik, kendati Demokrat sudah dipimpin oleh Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Hal ini tentu memunculkan pertanyaan, apakah kembalinya Anas menjadi langkah awal untuk mengembalikan kekuatan politiknya di Demokrat?
False Flag di Balik Hambalang
Konflik Anas-SBY dalam perkara Hambalang masih menjadi sorotan utama di balik kembalinya Anas, di mana karier politik Anas pada era SBY bisa dikatakan termasuk yang paling encer diantara politisi lainnya dalam tubuh Partai Demokrat. Namun apa dinyana, Anas justru terjerat oleh korupsi wisma atlet Hambalang pada tahun 2013 karena terbukti menerima gratifikasi.
Hal ini berkaitan dengan false flag, di mana istilah ini dikenal sebagai tindakan seseorang dalam menjatuhkan hukuman kepada pihak lain untuk menutupi niat sebenarnya dari tindakan tersebut. Pola ini dinilai berkaitan dengan pengaruh Anas yang disebut dapat membahayakan pengaruh SBY di dalam Partai Demokrat. Kasus Hambalang kemudian menjadi momentum emas atas persoalan itu.
Intensi di balik penangkapan Anas juga berhubungan dengan loss aversion. Daniel Kahneman dalam artikelnya Prospect Theory: An Analysis of Decision Under Risk menyebutkan bahwa seseorang yang sudah pada posisi puncak akan berorientasi pada mencegah terjadinya kekalahan dengan mencari keuntungan yang setimpal.
Mengenai kasus Hambalang, bisa dipahami bahwa terjeratnya Anas mungkin ditujukan untuk menyelamatkan status quo Partai Demokrat dari potensi penurunan elektabilitas. Konteks itu misalnya dapat dilihat dari pernyataan Ketua Bappilu Demokrat Andi Arief yang menyebut Partai Demokrat hampir karam di bawah kepemimpinan Anas.
Well, terlepas dari apa yang sebenarnya yang terjadi, yang jelas saat ini Anas sudah bebas. Meskipun Anas dicabut hak politiknya selama lima tahun setelah bebas, banyak pihak menilai Anas tidak akan vakum di percaturan politik nasional.
Sekarang mungkin pertanyaannya adalah, jika benar kembalinya Anas untuk melawan kembali SBY, apakah ia memiliki kekuatan politik yang cukup?
Konflik Anas-SBY Jilid Dua?
Penyambutan kembalinya Anas oleh para pendukungnya menjadi sinyal bahwa Anas tetap memiliki reputasi yang tinggi kendati sudah mendekam selama hampir satu dekade.
Michael Minor dalam artikelnya Cult-Like Following menyebutkan kekaguman seseorang kepada satu tokoh akan mendorongnya untuk mengkultuskan tokoh tersebut dan kultus ini berlangsung awet kendati tokoh tersebut dipenjara.
Dukungan yang besar memang memberikan insentif kepada Anas untuk bermanuver dalam politik, namun dukungan ini hanya dapat diartikulasikan untuk membentuk “kubu ketiga” yang dipimpin oleh lingkaran terdekatnya. Hal ini dikarenakan hak politik Anas masih dicabut untuk lima tahun kedepan dan pencabutan tersebut hanya bisa disiasati dengan bermain di belakang panggung.
Selain itu, dengan kekuatan politik Anas secara personal masih belum pulih setelah keluar dari penjara, maka tentu kecil kemungkinan bagi Anas untuk berhadapan secara langsung dengan SBY. Ini pula yang disampaikan oleh Pangi Syarwi Chaniago, Founder Voxpol Center Research and Consulting.
“Sekarang apa kekuatan politik Anas? Hak politiknya juga sudah dicabut, apakah memang masih sekuat dulu melawan Partai Demokrat, SBY, dan Hambalang?,” ungkap Pangi pada 12 April 2023.
SBY untuk saat ini masih menjadi “pemilik saham” terbesar di Demokrat. Statusnya sebagai Ketua Majelis Tinggi juga membuatnya memiliki kuasa dalam menentukan arah kebijakan Demokrat.
Kuasa tersebut terlihat dari pengangkatan AHY sebagai penerus SBY, dan pola kepemimpinan AHY saat ini tidak akan lepas dari pengaruh “sang ayah” dalam berpolitik.
Namun demikian, hal tersebut bisa disiasati oleh kubu Anas melalui dua cara untuk bertanding kembali.
Pertama ialah memperkuat barisan alternatif dalam berkontestasi di pemilu. Sebagaimana Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) yang dipimpin oleh loyalis Anas, maka gerbong tersebut dapat digunakan untuk menonjolkan eksistensi kubu Anas dalam pemilu. Namun, hal ini tentu dengan catatan bahwa PKN dapat bermain banyak di Pemilu 2024 ataupun pemilu mendatang.
Kedua ialah membajak internal Demokrat yang masih berkonflik, di mana Demokrat saat ini masih berkonflik dengan kubu Moeldoko dan hal ini tentu menguras tenaga Demokrat yang seharusnya dimanfaatkan untuk menghadapi Pemilu 2024.
Kondisi ini dapat dimanfaatkan oleh Anas untuk menarik kader Demokrat ke kubu mereka dan bukan tidak mungkin bahwa polarisasi di Demokrat akan menguntungkan Anas untuk mengembalikan reputasinya di partai.
Faksi ketiga tetap menjadi hal lumrah dalam politik, di mana dinamika politik tidak akan jauh dari pertarungan antar faksi untuk memperebutkan kekuasaan.
Paul Chambers dalam artikelnya Forms of Factionalism in Southeast Asia menyebutkan faksionalisme muncul dari gesekan kepentingan antar kubu di dalam partai. Kembalinya Anas dapat digunakan untuk membuat “kubu ketiga” dalam Demokrat dengan berisikan loyalisnya dan kubu ini dapat memecah dualisme konflik yang saat ini terjadi di dalam partai.
Oleh karena itu, taktik yang paling rasional untuk dilakukan mungkin ialah taktik kedua. Hal ini dikarenakan friksi di dalam Demokrat akan melemahkan soliditas partai. Selain itu, pelemahan ini dapat dimanfaatkan oleh Anas untuk menanamkan pengaruh kepada kadernya untuk mengurangi kesetiaan pada petahana.
Alhasil, pembajakan ini akan membentuk kubu ketiga yang berpihak pada Anas dan menjadikannya sebagai “lawan baru” bagi AHY untuk mempertahankan status quo kepemimpinannya.
Well, kita lihat saja bagaimana kelanjutannya. Apakah kembalinya Anas akan mengguncang SBY atau tidak, hanya waktu yang dapat menjawabnya. (D90)