HomeNalar PolitikPuan Menanti “Iba Politik” Prabowo?

Puan Menanti “Iba Politik” Prabowo?

Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan arah koalisi partai politik (parpol) peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 baru akan terlihat setelah partainya secara resmi menentukan siapa calon presiden (capres) yang akan diusung. Mengapa PDIP tampak masih begitu percaya diri meski seolah tertinggal berkoalisi? 


PinterPolitik.com 

PDIP tampak punya “jalan ninja” sendiri saat beberapa partai politik (parpol) terlihat semakin intens dalam menjalin komunikasi untuk menentukan kemana arah politik koalisi dan pasangan calon yang akan mereka usung pada pemilihan presiden (Pilpres) 2024 nanti. 

Hal itu terlihat dari pernyataan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto yang menilai arah koalisi parpol lain baru akan terlihat setelah partainya menentukan calon presiden (capres) yang diusung. 

Hasto meyakini hal tersebut karena berkaca pada pengalaman Pilpres 2014 lalu ketika PDIP secara resmi mengusung Joko Widodo (Jokowi) sebagai capres. 

Sebagai parpol pemenang Pemilu 2019 dan satu-satunya parpol yang sudah memenuhi syarat ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold tanpa harus berkoalisi dengan parpol lain tampaknya sah-sah saja jika Hasto meyakini hal tersebut. 

Hasto meminta semua pihak untuk bersabar menunggu pengumuman calon dari Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri. Menurutnya, Megawati akan mengumumkannya di waktu yang tepat. 

Dia mengatakan saat ini para kader PDIP hanya fokus menyiapkan sebuah acara besar yang akan digelar PDIP pada bulan Juni mendatang. 

hasto pdip sekjen killer ed.

Hasto juga menilai saat ini komunikasi politik antar parpol masih berlangsung cair antar elite dan belum berbicara soal menetapkan formulasi final koalisi. 

Hingga saat ini tampaknya memang hanya partai berlambang banteng itu yang masih terlihat pasif dalam menjalin komunikasi politik dengan parpol lain untuk menghadapi Pilpres nanti. 

Namun, Hasto menuturkan bahwa sebenarnya PDIP juga terus melakukan pertemuan dengan sejumlah elite parpol. Hanya saja, pertemuan tersebut seringkali bersifat tertutup. 

Menurutnya, proses komunikasi politik harus dilakukan secara bertahap dan kerja sama yang dibangun harus dimulai dengan kesamaan visi dan platform. 

Lantas, Apa yang sebenarnya “ditunggu” PDIP? Mengapa mereka tampak begitu percaya diri?  

PDIP “Sok Penting”? 

Pernyataan Hasto di media yang mengatakan arah koalisi parpol lain akan baru terlihat setelah PDIP menentukan capres sejalan dengan apa yang ditulis Maxwell McComb dan Donald L. Shaw dalam jurnal yang berjudul The agenda-setting function of mass media

Mereka menjelaskan bahwa media dapat memberi pengaruh terhadap publik dalam sebuah pemilihan presiden melalui penayangan berita, isu, citra, maupun penampilan kandidat itu sendiri. 

Meningkatnya penonjolan atas isu yang berbeda bisa memberikan pengaruh yang signifikan terhadap opini publik dan keputusan aktor politik lain. 

Baca juga :  Kejatuhan Golkar di Era Bahlil?
capres atau koalisi pdip galau

PDIP boleh jadi mempunyai agenda tertentu dengan memberikan pernyataan tersebut di media. Melalui Hasto, PDIP kiranya ingin mempengaruhi parpol lain dengan berkaca pada Pemilu 2014 saat PDIP menunjuk Jokowi sebagai capres. 

Apa yang disampaikan Hasto juga bisa dibilang sebuah manajemen impresi. Sosiolog asal Kanada Erving Goffman dalam bukunya The Presentation of Self in Everyday Life memperkenalkan istilah impression management atau manajemen impresi. 

Goffman menjelaskan manajemen impresi adalah sebuah proses pengelolaan kesan yang dilakukan individu ketika berinteraksi. 

Singkatnya, ketika seseorang berhadapan dengan orang lain, ia akan memiliki motif untuk mencoba mengontrol kesan dan menggunakan teknik untuk mempertahankan kesan tertentu. Hal itu adalah upaya untuk menghindari gangguan dan aksi yang tidak diharapkan ketika berinteraksi.  

Dalam konteks PDIP, mereka tampaknya menunjukkan eksistensinya sebagai pemenang Pemilu 2019 dengan cara memainkan strategi manajemen impresi tersebut. 

Hal itu dilakukan dengan cara menunda pengumuman capres sampai last minute. Pengumuman di last minute tampaknya adalah bagian dari strategi PDIP agar pandangan politik capres mereka tidak terdikte dari parpol lain dan kepentingannya tetap terjamin. 

Dengan kata lain, PDIP kiranya ingin membuat parpol lain membutuhkan mereka dan akan menunggu PDIP dalam menentukan arah koalisi menghadapi pilpres. 

Jean Baudrillard dalam tulisannya yang berjudul For a Critique of the Political Economy of the Sign menjelaskan sebuah nilai intrinsik-simbolis bisa membuat dan meningkatkan harga “barang dagangan” (komoditas) dari sebuah obyek tertentu. 

Berkaca dari penjelasan Jean, pernyataan Hasto secara simbolis terkesan sedang berusaha untuk menaikkan daya tawar politik mereka di mata parpol lain sebagai satu-satunya parpol yang sudah lewat ambang batas pencalonan presiden. 

Mengingat kandidat capres lain seperti Prabowo Subianto dan Anies Baswedan tampaknya akan menjadi lawan yang cukup tangguh buat capres dari PDIP kelak. Entah itu Ganjar Pranowo atau Puan Maharani yang nantinya ditunjuk oleh Megawati. 

Dengan begitu, parpol lain akan mempertimbangkan untuk memilih berkoalisi dengan PDIP dan bisa saja sepakat dengan nama capres yang dicalonkan PDIP mengingat mereka adalah parpol pemenang Pemilu 2019. 

Pertanyaan menariknya, mengapa Hasto sampai perlu menunjukkan kesan eksistensi PDIP untuk koalisi Pilpres? Apakah sebenarnya PDIP justru bimbang untuk menghadapi PIlpres melihat nama capres dari parpol lain yang lebih menjanjikan? 

prabowo 1

Puan, PDIP dan Iba Prabowo? 

Berbagai penafsiran mengemuka saat PDIP hingga kini belum menentukan siapa capres yang akan mereka usung atau bahkan arah politik koalisi mereka mengingat pendaftaran untuk Pilpres akan dibuka sebentar lagi. 

Baca juga :  Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Mulai dari maju dalam Pilpres tanpa berkoalisi karena sudah memenuhi ambang batas presidential threshold hingga mengalah untuk pertama kalinya sejak era reformasi saat tidak mencalonkan kader mereka menjadi capres dalam Pilpres. 

Penafsiran terakhir agaknya menimbulkan persepsi bahwa PDIP kemungkinan menyajikan political humility atau kerendahan hati politik. Istilah itu diadopsi dari konsep intellectual humility atau kerendahan hati intelektual dalam psikologi. 

Istilah intellectual humility pun dijelaskan oleh Javier Zarracina dalam tulisannya yang berjudul ntellectual Humility: The Importance of Knowing You Might Be Wrong menjelaskan intellectual humility. 

Javier menjelaskan bahwa intellectual humility membuat manusia berpikiran terbuka dan dapat mengenali kelemahannya sendiri. Dengan hal itu menurut Javier manusia akan lebih bisa mendengarkan pandangan yang berlawanan. 

Berkaca dari itu, political humility dapat dikatakan sebagai kerendahan hati seorang politisi untuk mengenali kelemahannya dan kemudian dapat menerima secara rasional serta terbuka terhadap benturan eksternal apapun yang terjadi. 

Dengan asumsi dua nama yang selama ini digadang-gadang sebagai capres dari PDIP, Ganjar dan Puan tidak cukup menjanjikan untuk menang dalam pertarungan Pilpres 2024 melawan nama-nama seperti Prabowo dan Anies, kiranya wajar jika PDIP pada akhirnya akan mengalah untuk tidak mencalonkan kadernya sebagai capres pada Pilpres kali ini. 

Bahkan, Ganjar yang sebelumnya digadang-gadang sebagai kader PDIP yang paling memungkinkan menyaingi Prabowo dan Anies kini perlahan-lahan menurun elektabilitasnya dalam beberapa survei terakhir. 

Pernyataan Ganjar yang menolak kedatangan tim nasional (Timnas) Israel pada Piala Dunia U-20 sehingga menyebabkan turnamen itu batal digelar di Indonesia disinyalir menjadi salah satu penyebab anjloknya elektabilitas Ganjar. 

Atas dasar itu, tampaknya besar kemungkinan PDIP akan bergabung dengan Partai Gerindra untuk mencalonkan Prabowo sebagai capres dan PDIP akan “meminta” kadernya sebagai calon wakil presiden (cawapres) pendamping Prabowo. 

Jika hal itu terjadi, PDIP tampaknya akan mengharapkan “iba politik” Prabowo. Hal tersebut karena PDIP juga kemungkinan besar merasa berperan besar memberi restu dan merangkul Prabowo untuk menjadi Menteri Pertahanan (Menhan) di pemerintahan Presiden Jokowi pada 2019 lalu. 

Sementara itu, kecil kemungkinan untuk PDIP bergabung dengan koalisi yang mengusung Anies sebagai capres melihat intrik politik yang selama ini terjadi antara PDIP dengan Anies maupun para parpol pengusungnya. 

Namun, analisis diatas masih sebatas interpretasi semata. Yang jelas, menarik untuk menunggu kemana arah politik PDIP dalam menghadapi Pilpres 2024. 

Bukan tidak mungkin keputusan Megawati selaku Ketum PDIP dan dengan segala pengalamannya di dunia politik akan membawa kejutan besar. (S83) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

Anies “Alat” PKS Kuasai Jakarta?

Diusulkannya nama Anies Baswedan sebagai calon gubernur (cagub) DKI Jakarta oleh PKS memunculkan spekulasi jika calon presiden (capres) nomor urut satu ini hanya menjadi “alat” untuk PKS mendominasi Jakarta. Benarkah demikian?

Pemilu 2024, Netralitas Jokowi “Diusik” PBB? 

Dalam sidang Komite Hak Asasi Manusia (HAM) PBB, anggota komite Bacre Waly Ndiaye mempertanyakan netralitas Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait lolosnya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) dari Prabowo Subianto. Lalu, apa yang bisa dimaknai dari hal itu?