Eks jenderal Polri seolah masih di bawah bayang-bayang eks jenderal TNI saat berbicara mengenai politik dan pemerintahan level teratas hingga saat ini. Namun, munculnya nama mumpuni seperti Tito Karnavian kiranya akan mengubah situasi tersebut ke depan. Lalu, mengapa selama ini eks jenderal Polri tampak tak bertaji di ranah politik? Mungkinkah Tito, misalnya, akan meramaikan politik level tertinggi, utamanya Pilpres, katakanlah di 2029 kelak?
Masih abu-abunya penerus “jenderal politisi dan pemerintahan” level tertinggi dari kalangan militer seperti Prabowo Subianto, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), hingga Wiranto, membuat peluang eks jenderal Polri bisa saja menguat untuk menggantikannya di kemudian hari.
Ya, dikotomi kepemimpinan negara (capres-cawapres) seakan masih lekat dengan frasa “sipil-militer” atau pun sebaliknya. Tak terkecuali di Pilpres 2024 yang sejauh ini memunculkan nama calon kandidat eks serdadu, yakni Prabowo dan putra SBY, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Sempat melebur bersama militer dalam ABRI, Polri yang selepas Reformasi berada langsung di bawah presiden memang tampak belum berkontribusi banyak menyumbangkan nama eks penggawanya di pemerintahan, baik sebagai menteri maupun capres-cawapres.
Kembali, dikotomi dengan frasa “sipil-militer” atau sebaliknya kiranya adalah indikator paling mudah untuk melihat signifikansi eks Polri di ranah politik dan pemerintahan level teratas.
Di sisi lain, jika berbicara kemungkinan, sesungguhnya terdapat beberapa nama potensial eks jenderal Polri dalam diskursus politik maupun kepemimpinan bangsa ke depan.
Bahkan, eks Kapolri yang kini menjabat Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Jenderal Pol. (Purn.) Tito Karnavian menjadi salah satu aktor yang bisa saja turut meramaikan pertarungan politik memperebutkan RI-1 di Pilpres 2029.
Lalu pertanyaannya, mengapa eks jenderal Polri seolah “pasif” dan luput dari kalkulasi politik dan pemerintahan dibanding, misalnya, dengan eks jenderal TNI? Serta, seperti apa peluang eks jenderal Polri potensial di kontestasi elektoral kelak?
Stigma dan Politik Distribusi
Satu adagium menarik mengapa sosok dari Polri kemungkinan kurang dilirik secara politik agaknya dapat ditelaah dari konstruksi stigma masyarakat.
Meski menunaikan tugas luhur sebagai institusi penegak hukum terdepan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat untuk mengatur ketertiban, impresi “bad guy” pun justru tetap tersemat dari berbagai dinamika interaksi yang ada.
Berdasarkan analisis Joel Miller dan kawan-kawan dalam sebuah jurnal berjudul Public Opinions of the Police: The Influence of Friends, Family, and News Media, terdapat sejumlah telaah yang menyebut kontak polisi-publik cenderung kurang konstruktif.
Pertama, perilaku polisi dalam pertemuan rutin dengan masyarakat dapat memengaruhi opini mereka tentang polisi melalui ripple effect atau efek riak, yakni orang yang pernah bertemu atau berinteraksi dengan polisi akan menceritakan kembali kisah mereka kepada keluarga, teman, maupun tetangga.
Kedua, “kisah” kontak polisi-publik atau contoh-contoh perilaku buruk atau perilaku korup di kepolisian yang mendapat perhatian media mengasumsikan stigma atau efek yang diperkuat.
Padahal, ihwal itu sendiri bisa saja tidak sepenuhnya tepat jika dibandingkan dengan sejumlah besar interaksi rutin polisi-publik yang positif dan tidak mendapat perhatian media.
Kendati demikian, tak dapat dipungkiri, politik dan pemerintahan selalu memasukkan variabel manajemen impresi sebagai daya tarik elektoral di hadapan masyarakat.
Pertimbangan daya tarik itu juga agaknya membuat para eks jenderal Polri yang telah terlebih dahulu terjun ke politik praktis dengan bergabung parpol tak mendapat impresi positif khalayak luas.
Oleh karena itu, peluang sosok dari unsur Polri untuk turut aktif dan masuk hitungan sebagai “pemain utama” politik memang tidak mudah.
Utamanya, untuk bersaing dengan eks jenderal TNI yang secara institusional tak memiliki kontak interaksi langsung dengan masyarakat dalam konteks penegakan hukum.
Tak hanya dalam politik yang memang sangat sensitif dengan stigma, itu pula yang kiranya memengaruhi hingga ke pemerintahan, misalnya, mengenai “jatah menteri” dari unsur kepolisian di Indonesia.
Dalam The political economy of policy-making in Indonesia, Ajoy Datta dan kawan-kawan menyiratkan terdapat semacam kultur dalam pengangkatan menteri.
Dikatakan, kemampuan teknis hanyalah salah satu dari beberapa faktor yang dipertimbangkan karena keragaman Indonesia secara sosial, budaya, ekonomi, hingga persepsi sosio-politik.
Realitanya, mengingat ketidakmampuan partai politik (parpol) pasca Reformasi untuk mendapatkan mayoritas kursi di parlemen, pembuatan kebijakan politik dan pemerintahan telah dicirikan oleh pola dan dinamika koalisi.
Hal itu lah yang mengembalikan esensi politik sistem multipartai Indonesia ke ranah politik distribusi dan alokasi. Sesuatu yang kemudian menghadirkan riwayat serta kultur “jatah” menteri Indonesia bagi entitas tertentu.
Jika pos menteri di era Orde Baru (Orba) kental dengan sosok-sosok militer yang menempati pos strategis, parpol tertentu seolah memiliki jatah khusus di pos kementerian tertentu setelah Reformasi.
Meski bukan pola yang tetap, setidaknya hal itu dapat tercermin dari relasi unik “jatah” menteri, seperti misalnya Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) bagi PKB, Menteri Agama (Menag) dari Nahdlatul Ulama (NU), serta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) dari Muhammadiyah.
Meski demikian, mengingat penunjukan menteri merupakan hak prerogatif presiden yang dipengaruhi daya tawar parpol dalam koalisi, penyesuaian memang terkadang dilakukan.
Seperti yang dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali memasukkan menteri dengan latar belakang eks jenderal Polri yaitu Komjen Pol. (Purn.) Syafruddin yang mengampu Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Men PAN-RB) pada tahun 2018 lalu.
Sebelumnya, hanya ada satu nama jenderal Polri yang dipercaya menjabat menteri, yakni Jenderal Pol. (Purn.) Awaloedin Djamin yang dilantik sebagai Menaker di Kabinet Ampera tahun 1966. Menariknya, Awaloedin mengampu jabatan itu sebelum menjadi ditunjuk sebagai Kapolri.
Kini, kepercayaan Presiden Jokowi menunjuk Tito Karnavian sebagai Mendagri kiranya dapat mengubah peluang politik jenderal Polri di masa mendatang.
Terutama sosok Tito sendiri yang kiranya cukup menjanjikan. Bahkan, lebih jauh lagi, yaitu untuk bertarung di Pilpres 2029 kelak. Benarkah demikian?
Buka Jalan Tito dan Polri?
Mendagri adalah pos vital atau istilah kerennya triumvirat dalam struktur kenegaraan. Konstitusi Indonesia pun mengamanatkan Mendagri, bersama Menteri Luar Negeri (Menlu), dan Menteri Pertahanan (Menhan) menjadi pengisi kekosongan jabatan jika presiden dan wakil presiden tak dapat menjalankan fungsinya.
Saat Orba, setiap posisi Mendagri merupakan jatah militer, khususnya Angkatan Darat (AD). Memasuki era reformasi, jatah Mendagri pun berubah saat tahun 2009 Presiden SBY menunjuk sosok sipil, yakni Gamawan Fauzi. Kultur itu kemudian dilanjutkan Presiden Jokowi saat menunjuk Tjahjo Kumolo pada 2014.
Pada 2019, Presiden Jokowi tampak bereksperimen ketika menunjuk Tito sebagai Mendagri dari unsur kepolisian pertama sepanjang sejarah Indonesia.
Secara tekstual, alasan RI-1 saat menunjuk Tito sebagai Mendagri sendiri disebut demi menghadirkan sinergi dan kepastian hukum di daerah.
Sementara jika diinterpretasikan secara politik, kepercayaan itu juga kiranya menjadi warisan berharga sekaligus membuka peluang bagi jenderal Polri untuk masuk ke lingkar utama perpolitikan dan pemerintahan Tanah Air.
Bagaimanapun, variabel prestasi dan kemampuan dapat dipastikan masuk perhitungan dalam konteks sepak terjang eks jenderal Polri di politik dan pemerintahan level teratas, sebagaimana yang dimiliki Syafruddin dan Tito.
Khusus bagi Tito, kepercayaan mengampu salah satu triumvirat negeri ini tentu menjadi portofolio tersendiri bagi probabilitas kariernya, baik di pemerintahan, politik, maupun keduanya. Tak terkecuali dalam membuka ekspektasi politik dari sosok berlatar belakang eks jenderal Polri.
Terlepas dari bagaimana ambisi politik personalnya, Tito agaknya memang nama yang patut diperhitungkan dalam konteks kepemimpinan bangsa.
Mariel Grazella dalam sebuah kolom tulisan yang berjudul Tito Karnavian Signifies the Nation’s Future menyebut Tito dengan “man with a plan” atau sosok yang memiliki atau selalu memiliki rencana.
Disebut sebagai perwira kepolisian cerdas dengan berbagai prestasi di bidang akademik dan profesinya, Tito menganut forward-thinker dan dipuji karena begitu menekankan pentingnya pengetahuan konseptual dalam kepemimpinan dan organisasi.
Oleh karena itu, tidak berlebihan kiranya untuk menilai bahwa Tito memenuhi sejumlah pra-syarat yang dapat konversi menjadi modal politik kuat jika nantinya dinamika politik mengantarkannya pada seleksi pemimpin Indonesia kelak, misalnya di Pilpres 2029.
Bahkan, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM (Menko Polhukam) Mahfud MD pernah menyebut jika Tito adalah tokoh muda yang cerdas dan setiap pekerjaan yang dilakukannya selalu terukur.
Dalam pujiannya itu, tak lupa Mahfud mengungkapkan harapan secara eksplisit agar Tito dapat menjadi kandidat yang dapat memimpin negeri ini.
Akan tetapi, sejauh ini Tito – yang merupakan Kapolri termuda dalam sejarah Indonesia – tampaknya masih menjadi nama tunggal potensial dari sosok eks jenderal Polri saat berbicara kandidat capres maupun cawapres.
Belum terlihat lagi sosok sekaliber Tito di tengah terpaan serangkaian kasus hukum oknum jenderal di institusi Bhayangkara yang tak dapat dipungkiri turut andil mengkonstruksi impresi publik dan sosial-politik.
Meski demikian, peluang mantan maupun jenderal Polri yang kini masih aktif lain di masa mendatang tak sepenuhnya tertutup.
Tinggal, untaian variabel-variabel pendukung apa yang dapat membawa sang aktor dapat menasbihkan diri atau dilirik oleh entitas politik sebagai kandidat yang pantas memimpin negara.
Bagaimanapun, latar belakang pemimpin Indonesia kelak kiranya bukan menjadi persoalan. Dapat menunjukkan integritas kepemimpinan demi kepentingan masyarakat luas di tengah tarik menarik kepentingan politik saat menjabat lah yang kiranya jauh lebih penting. (J61)