HomeNalar PolitikIda Dayak "Ungguli" Sistem Kesehatan Nasional?

Ida Dayak “Ungguli” Sistem Kesehatan Nasional?

Fenomena viralnya pengobatan tradisional Ida Dayak seolah membuka ruang interpretasi bahwa sistem kesehatan nasional di mata sebagian masyarakat tidak dapat mengakomodasi mereka. Tak langsung menaruh vonis minor kepada pengobatan tradisional kiranya perlu dilakukan pemerintah dengan mengintegrasikan metode sosiokultural itu ke sistem kesehatan nasional. Mengapa demikian? 


PinterPolitik.com

Belakangan ini masyarakat Indonesia tengah ramai membicarakan Ida Dayak. Dengan memakai pakaian khas adat Dayak ia mengobati pasiennya dengan minyak tradisional yang disebut ampuh untuk menyembuhkan berbagai penyakit. 

Namanya mulai dikenal setelah beredarnya berita bahwa Ida Dayak berhasil menyembuhkan Pangeran Arab Saudi Al-Waleed setelah koma selama 18 tahun. 

Meskipun keberhasilan Ida Dayak menyembuhkan Pangeran Arab Saudi ternyata hoax, masyarakat tetap antusias berdatangan. 

Keberhasilan Ida dayak menarik pasien mendapatkan perhatian dari pemerintah terutama Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kemenkes Siti Nadia Tarmizi menyatakan praktik pengobatan tradisional harus memiliki surat terdaftar penyehat tradisional (STPT). 

Oleh karena itu dalam merespon viralnya Ida Dayak, Kemenkes akan melakukan pembinaan. Hal ini seperti yang tercantum di dalam sejumlah peraturan seperti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 103 Tahun 2014 Tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional. 

Lebih lanjut, menurut Nadia, semua jenis praktik pengobatan harus didukung dengan penelitian empiris serta berdasarkan kajian ilmiah sesuai ilmu kedokteran.  

Selain Kemenkes, sejumlah pihak juga menyayangkan sikap masyarakat yang masih percaya dengan pengobatan alternatif tradisional ala Ida Dayak. 

Hal itu seperti yang disampaikan oleh Direktur Utama BPJS Prof. Gufron yang menganggap tingginya minat terhadap pengobatan tradisional disebabkan kebanyakan masyarakat di Indonesia masih belum dapat berpikir rasional. 

Pengobatan tradisional merupakan topik yang menarik untuk dibahas terutama dalam konteks keberagaman kebudayaan masyarakat Indonesia. 

Sebelum masuknya ilmu kedokteran Barat, masyarakat di Tanah Air memanfaatkan local genius mereka untuk menciptakan pengobatan alternatif. Kemujaraban pengobatan alternatif yang diciptakan kemudian diwariskan secara turun-temurun. 

Lantas, apakah salah jika masyarakat masih memanfaatkan pengobatan alternatif yang dalam beberapa kasus terbukti mujarab? Serta apakah masyarakat pengguna pengobatan alternatif memang bisa disebut tidak rasional? 

Tradisionalisme di Tengah Modernisasi 

Di era modernisasi saat ini, manusia dituntut untuk selalu menggunakan akal sehat mereka sendiri agar dapat bekerja secara efisien. Perkembangan modernisasi kemudian juga mempengaruhi cara kerja institusi. 

Menurut Sosiolog Amerika Serikat George Ritzer, di era modernisasi institusi sosial bekerja seperti restoran cepat saji. Fenomena ini oleh Ritzer disebut sebagai McDonaldisasi. 

Menurutnya, semua birokrasi di era modern akan bekerja dengan berpegang pada empat prinsip yaitu efisiensi, prediktabilitas, penekanan pada kuantitas dibandingkan kualitas, dan penggunaan teknologi. Fenomena Mcdonaldisasi sepertinya juga merambah di institusi kesehatan nasional saat ini. 

Baca juga :  “Parcok” Kemunafikan PDIP, What's Next?
perlu penguatan pidana obat berbahaya

Misalnya pada saat Pandemi Covid-19 merebak dua tahun lalu, institusi kesehatan seperti rumah sakit dituntut untuk bekerja layaknya restoran cepat saji. Masyarakat mengandalkan rapid test melalui PCR untuk mendiagnosis virus Covid-19 dalam waktu kurang dari 24 jam. 

Kemampuan PCR sangat dibutuhkan untuk menangani banyaknya jumlah masyarakat yang membutuhkan hasil tes tersebut untuk dapat berpergian. Selain itu proses tes PCR dapat dilakukan secara cepat melalui drive thru. Proses tes PCR sendiri mendapatkan kredibilitas yang tinggi dikarenakan penggunaan teknologi untuk mendiagnosis Covid-19.  

Akan tetapi, fenomena Ida Dayak menunjukan modernisasi pelayanan kesehatan tidak membuat masyarakat di era modern meninggalkan hal-hal yang berkorelasi dengan sosiokultural, bahkan spiritual. 

Berkembangnya pengobatan alternatif di era modern ini pun agaknya dapat dijelaskan melalui pemikiran filsuf Yunani kuno Sextus Empiricus yang menganggap ilmu kedokteran tidak hanya bekembang secara tekstual melalui perkembangan teori tetapi juga melalui pengalaman manusia. 

Universalitas ilmu kedokteran saintifik menurut Sextus Empiricus membuat bidang keilmuan tersebut terlihat sebagai sebuah dogma. 

Berkaca dari pemahaman Sextus Empiricus, Kemenkes yang menganggap masyarakat pengguna pengobatan tradisional adalah irasional menunjukan ilmu kedokteran modern saat ini kiranya tengah mengalami “dogmatisasi”. 

Hal tersebut seakan bertentangan dengan konteks masyarakat Indonesia yang memiliki kebudayaan yang beragam, termasuk dalam metode pengobatan. 

Akhyar Lubis dalam bukunya Pemikiran Kritis Kontemporer menyatakan seharusnya keberagaman dipandang sebagai mozaik kehidupan alih-alih ancaman atau rintangan. 

Keberagaman metode pengobatan juga seharusnya dapat dimaklumi semua pihak. Veena Bhasin dalam jurnalnya yang berjudul Medical Anthropology Review menyatakan praktek pengobatan di seluruh dunia memiliki metode yang beragam. 

Lagi, Bhasin menyebut konteks budaya di mana setiap tempat memiliki cara tersendiri mengenai apa yang membuat orang sakit, apa yang dapat menyembuhkan penyakit, dan bagaimana cara menjaga kesehatan sepanjang waktu.  

Universalitas ilmu kedokteran modern sebagai metode pengobatan kemudian dapat meminggirkan nilai-nilai masyarakat adat tentang cara mereka melakukan pengobatannya sendiri.  

Banyaknya pasien Ida Dayak pun menunjukan pengobatan tradisional tetap dipercaya di tengah perkembangan ilmu kedokteran modern. Karakteristik masyarakat Indonesia menunjukan adanya kedekatan lebih dengan pengobatan alternatif. 

Kedekatan tersebut juga kiranya tidak bisa dilepaskan dari masalah dalam sistem pelayanan kesehatan modern di Indonesia saat ini. Hal ini kemudian yang kemungkinan membuat sebagian masyarakat Indonesia memilih untuk menghindari modernisasi. Benarkah demikian? 

Kritik Sistem Kesehatan Modern? 

Tingginya minat masyarakat terhadap pengobatan alternatif seperti yang dilakukan Ida Dayak kemudian menimbulkan pertanyaan kritis terhadap efektivitas sistem pelayanan kesehatan di Indonesia. 

Baca juga :  Prabowo and The Nation of Conglomerates

Sampai saat ini, seringkali ditemukan masalah dalam pelayanan kesehatan di negara +62. Ombudsman RI, misalnya, yang pada bulan Maret lalu melaporkan banyak pengaduan terkait praktik pembatasan layanan pasien BPJS Kesehatan di sejumlah fasilitas kesehatan. 

Anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng mengatakan pasien dengan pembiayaan sendiri dan asuransi cenderung lebih diutamakan. Sementara pasien (pengguna) BPJS Kesehatan seolah selalu dianaktirikan. Pembenahan sistemik lantas disebutnya perlu dilakukan ke depan. 

Selain itu, status kelas ekonomi-sosial masyarakat agaknya juga memiliki pengaruh signifikan atas kecenderungan masyarakat menggunakan pengobatan alternatif. Sulitnya masyarakat kelas bawah dalam mendapatkan pelayanan kesehatan modern akibat terkendala biaya membuat mereka memilih pengobatan alternatif. 

Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Azusa Sato yang berjudul Does socio-economic status explain use of modern and traditional health care services?

Hasil penelitiannya menunjukan dalam konteks negara berkembang dimana sistem kesehatan bersifat plural, jumlah pendapatan seseorang mempengaruhi pilihan metode pengobatan yang digunakan.  

Kerumitan dalam sistem pelayanan kesehatan di Indonesia kemudian membuat masyarakat tetap mengandalkan pengobatan alternatif untuk menghindari sebuah fenomena yang menurut Sosiolog Jerman Max Weber disebut sebagai iron cage atau sangkar besi. 

Dalam bukunya yang berjudul The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, Weber menyebut iron cage merujuk pada sebuah birokrasi di dalam institusi sosial era modern yang bekerja mengejar profit dengan berdasarkan pada efisiensi, rasionalisasi, dan kontrol. 

Selain itu iron cage juga mengabaikan nilai-nilai dan tradisi yang dimiliki setiap individu yang ada di dalamnya. Fenomena iron cage di dalam birokrasi modern kemudian dianggap telah mendehumanisasi manusia di dalamnya. 

Hal ini berbeda dengan praktek pengobatan yang dilakukan Ida Dayak di mana pasien dibebaskan dari biaya. Ihwal itu akhirnya dapat membuat ia dapat menarik kalangan masyarakat kelas bawah di Indonesia yang boleh jadi sudah putus asa dengan sulitnya birokrasi sistem pelayanan kesehatan nasional. 

Selain itu, Ida Dayak juga menempatkan dirinya sebagai seseorang yang religius. Hal ini kemudian membuat ia dapat menyesuaikan diri dengan karakteristik masyarakat Indonesia yang religius dan masih memiliki kedekatan dengan nilai-nilai tradisional.  

Pada akhirnya, fenomena Ida Dayak kiranya dapat menjadi refleksi bagi pemerintah untuk memperbaiki sistem pelayanan kesehatan terlebih dahulu agar lebih inklusif ke semua golongan masyarakat. 

Jika pemerintah ingin seluruh masyarakat beralih ke pengobatan modern perlu adanya perbaikan sistematik dalam sistem pelayanan kesehatan nasional. Pemerintah juga tampaknya perlu mengkaji dan mengintegrasikan nilai budaya masyarakat ke dalam ilmu kedokteran modern. (F92) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Kecupan Maut The 1975 di Tanah Melayu?

Baru-baru ini publik dikejutkan dengan aksi ciuman yang dilakukan oleh vokalis band The 1975 Matty Healy dengan rekan  pemain bassnya Ross MacDonald ketika sedang...

Tembak Mati, Bobby Sedang Pansos?

Maraknya kasus begal di Medan mendorong Wali Kota Medan Bobby  Nasution kemudian mengeluarkan gagasan agar menembak mati para pelaku begal. Meskipun mendapat kritik karena...

Eropa “Terlalu Baik” Terhadap Imigran?

Kasus penembakan yang dilakukan oleh oknum aparat kepolisian terhadap seorang remaja imigran telah memicu protes besar di Prancis. Akan tetapi, kemarahan para demonstran justru...