Ambisi Presiden Tiongkok Xi Jinping untuk menjadikan sepak bola negaranya sebagai salah satu instrumen soft power Tiongkok di dunia internasional nampaknya sirna ketika klub-klub Chinese Super League (CSL) mulai memiliki masalah finansial dan program yang dicanangkan sang Presiden belum terlihat hasilnya. Lalu, apakah itu dapat dikatakan menjadi kegagalan Xi Jinping dalam mengupayakan soft power Tiongkok?
Sejak masih menjabat Wakil Presiden Tiongkok, Xi Jinping (2008-2013) sudah menaruh perhatian besar pada sepak bola negaranya tersebut. Xi yang juga menyukai olahraga “si kulit bundar” itu memiliki mimpi agar sepak bola Tiongkok menjadi salah satu kekuatan dunia pada tahun 2050 mendatang.
Mimpi itu kemudian perlahan direalisasikan oleh federasi sepak bola Tiongkok ketika dirinya mulai menjabat Presiden Tiongkok.
Salah satu cara Tiongkok mencapai target tersebut adalah menyediakan mekanisme bagi klub Tiongkok untuk menggelontorkan banyak uang demi memboyong pemain-pemain top dunia ke klub-klub Chinese Super League (CSL).
Sebagai negara dengan kekuatan supra-nasional, dana yang didapatkan klub-klub tersebut bersumber dari konglomerat dan pengembang yang berafiliasi dengan negara.
Para pemain itu pun mendapatkan bayaran yang sangat menggiurkan dari klub CSL, dan tentu saja lebih besar ketimbang bayaran klub Eropa.
Para pemain-pemain tersebut diharapkan dapat meningkatkan kualitas liga dan merangsang kemampuan pemain Tiongkok.
Akan tetapi, cara itu tampaknya tidak menjadi jaminan sepak bola Tiongkok menjadi lebih baik. Jangankan untuk berbicara banyak di dunia, menyaingi negara-negara Asia seperti Jepang, Korea Selatan, Iran, dan Arab Saudi pun masih kesulitan hingga saat ini.
Sejauh kompetisi modern, prestasi terbaik Tiongkok adalah runner-up Piala Asia 2004 yang di mana mereka menjadi tuan rumah. Tiongkok pun terakhir kali lolos ke Piala Dunia pada tahun 2002.
Hal tersebut diperparah ketika Pandemi COVID-19 mulai menyerang ditambah pengelolaan klub dan liga yang buruk membuat sepak bola Tiongkok terpuruk.
Banyak klub CSL yang mengalami masalah finansial sehingga membuat para pemain bintang satu per satu pergi karena klub kesulitan membayar gaji yang selangit.
Namun, pertanyaan menarik kiranya dapat dikemukakan sebelum stagnasi harapan sepak bola Tiongkok, yakni mengapa Xi Jinping berambisi menjadikan sepak bola sebagai salah satu instrumen kekuatan Tiongkok di dunia internasional?
Alat Diplomasi Xi Jinping?
Sejak berakhirnya Perang Dingin, instrumen diplomasi antar negara terus mengalami perubahan.
Kini, instrumen diplomasi tidak hanya sebatas pada isu-isu hard politics saja melainkan juga mencakup isu-isu soft politics, seperti aspek budaya higga kajian olahraga sebagai instrumen dalam diplomasi.
Stuart Murray dalam bukunya Sports Diplomacy: Origins, Theory, and Practice menjelaskan olahraga memiliki potensi yang kuat sebagai instrumen diplomasi karena olahraga dapat mendekatkan orang, bangsa, dan komunitas melalui sebuah kecintaan terhadap sesuatu yang sama.
Hal itu tampaknya juga disadari oleh Tiongkok dan Xi Jinping dengan menjadikan olahraga, termasuk sepak bola, sebagai salah satu instrumen diplomasi mereka.
Zhang Qingmin dalam publikasinya berjudul Sports Diplomacy: The Chinese Experience and Perspective menjelaskan dalam perspektif Tiongkok olahraga adalah arena politik dan diplomasi.
Zhang juga menjelaskan olahraga dipandang sebagai alat diplomasi yang sangat efektif karena signifikansi sosial dan budayanya berarti dapat digunakan untuk mengakses aktor kunci negara.
Merujuk pada penjelasan diatas, Xi Jinping kiranya ingin menjadikan sepak bola yang merupakan salah satu olahraga terpopuler di dunia untuk menjadi salah satu instrumen diplomasi Tiongkok.
Atas dasar itu, kemudian dicanangkan lah proyek ambisius Xi Jinping yang dinamakan soccer dream untuk menjadikan sepak bola negeri tirai bambu tersebut menjadi salah satu yang terkuat di dunia.
Sementara itu, Jonathan Sullivan dalam tulisannya berjudul Xi Jinping’s Soccer Dream MO mengatakan Xi Jinping tidak main-main untuk mewujudkan ambisinya tersebut. Xi mempunyai tiga tahap untuk sepak bola Tiongkok menjadi kekuatan dunia.
Tiga tahapan tersebut mulai dari lolos ke Piala Dunia, menjadi tuan rumah Piala Dunia, hingga memenangkan Piala Dunia. Dan yang terpenting adalah tim sepak bola Tiongkok harus membuat negaranya bangga.
Pemerintah Tiongkok dibawah Xi Jinping memiliki banyak ambisi untuk sepak bola, sekaligus mekanisme yang berbeda untuk mengejarnya.
Selain tim nasional yang kuat, pemerintah Tiongkok juga mencari pengaruh dalam tata kelola permainan global, akuisisi luar negeri dengan nilai strategis, dan liga yang kuat sebagai simbol modernitas serta sebagai produk gaya hidup.
Meski tak langsung ke ranah permainan, hal itu mulai terlihat ketika Piala Dunia Rusia 2018 lalu dimana banyak merk-merk asal Tiongkok mulai menjadi sponsor turnamen FIFA. Terdapat sejumlah perusahaan besar Tiongkok, seperti Wanda Group, Hisense, dan Mengniu.
Bahkan, Alibaba Cloud mendapat kontrak lima tahun sponsor utama turnamen FIFA Piala Dunia Antarklub mulai tahun 2017 hingga 2022.
Sejak Xi Jinping menjadi presiden Tiongkok proyek untuk membuat Tiongkok menjadi adidaya dalam sepak bola dijalankan dengan teliti dan ambisius.
Di bawah arahan Presiden Xi Jinping, Tiongkok diarahkan menjadi pusat kekuatan sepak bola, dengan visi untuk mengangkat tim nasional Tiongkok menjadi yang terbaik di Asia pada tahun 2030.
Namun, sejak pandemi menyerang dan diikuti dengan masalah finansial klub-klub CSL, membuat segala program untuk mendukung ambisi Xi Jinping di dunia sepak bola itu tampaknya belum bisa terwujud dalam waktu dekat.
Sepak bola Tiongkok sampai saat ini belum bisa mewujudkan satu pun dari tiga tahapan yang direncanakan Xi Jinping agar negaranya menjadi salah satu kekuatan sepak bola dunia.
Lalu, melihat ambisinya yang begitu besar untuk sepak bola Tiongkok, apa keuntungan politik bagi Xi Jinping jika sepak bola Tiongkok menjadi salah satu yang terkuat di dunia kelak?
Demi Sebuah Reputasi Semata?
Olahraga secara umum sering dijadikan simbol kekuatan politik. Alexis Christensen dalam tulisan yang berjudul Gladiator Politics from Cicero to the White House menjelaskan para petarung yang bertarung dalam Colosseum mewakili citra politik tokoh-tokoh besar romawi.
Jika petarung tersebut tidak hadir atau mengalami kekalahan, kerugian bukan hanya terjadi pada sang petarung tetapi juga pada si tokoh besar yang menjadi penyokong. Reputasi politik si tokoh tersebut akan ikut terkena dampak.
Sementara itu, sepak bola sendiri memang kerap kali digunakan para pemimpin dunia untuk membuat reputasi seseorang atau sebuah negara menjadi lebih baik. Sejarah telah membuktikan bagaimana sepak bola digunakan sebagai mesin politik oleh para penguasa politik di masanya.
Pada masa Adolf Hitler, tim nasional (Timnas) Jerman menjadi mesin politiknya untuk membangkitkan semangat rakyat Jerman yang terpuruk pasca kekalahan dalam Perang Dunia I. Di Spanyol penguasa saat itu Jenderal Franco memanfaatkan klub Real Madrid yang berbasis di ibu kota untuk mempertahankan posisi politiknya.
Hal serupa juga pernah dilakukan oleh Benito Mussolini untuk membangun identitas kebanggaan bangsa Italia dengan memberikan ultimatum kepada para pemain tim nasional jika gagal menjadi juara di Piala Dunia 1934.
Merujuk pada penjelasan Christensen dan riwayat historis penggunaan sepak bola sebagai alat politik oleh para pemimpin negara bertangan besi diatas, maka sesungguhnya ambisi sepak bola Xi Jinping ini akan sangat berpengaruh pada reputasi politiknya baik itu ketika berhasil ataupun saat mengalami kegagalan.
Kembali, mengingat sepak bola merupakan salah satu olahraga terpopuler di dunia, maka impresi positif atau negatif yang didapat seorang Xi Jinping di mata pecinta sepak bola internasional akan tergantung pula dari berhasil atau tidaknya sepak bola Tiongkok menjadi salah satu kekuatan dunia.
Kini, tampaknya sepak bola Tiongkok sedang kembali membangun pondasi yang baru untuk mewujudkan ambisi sang pemimpin tertinggi untuk menjadi adi daya sepak bola.
Hal itu dimulai dengan pengelolaan liga yang lebih baik dan memberikan para pemain muda untuk kesempatan bermain di CSL dibanding kembali membeli para bintang eropa yang memiliki bayaran tinggi.
Patut dinantikan apakah ambisi Xi Jinping yang cukup ambisius itu mengingat Tiongkok adalah negara yang tidak memiliki kultur sepak bola yang kuat dapat menjadi salah satu kekuatan sepak bola dunia. (S83)