HomeNalar PolitikPiala Dunia U-20, Pemerintah Tak Termaafkan?

Piala Dunia U-20, Pemerintah Tak Termaafkan?

FIFA secara resmi telah membatalkan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20. Keputusan FIFA membuat seluruh Tim Nasional (Timnas) U-20 dan masyarakat Indonesia kecewa. Lantas, mengapa pemerintah seolah terlihat lalai dalam mengantisipasi skenario terburuk terhadap pembatalan menjadi tuan rumah Piala Dunia 2023 oleh FIFA? 


PinterPolitik.com

Batalnya Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 yang diputuskan secara resmi pada  hari Rabu pekan lalu membuat hampir seluruh masyarakat Indonesia kecewa. 

Kabar buruk itu sendiri diumumkan melalui situs resmi FIFA. Ihwal yang kemudian disampaikan secara lanjut oleh Ketua Umum (Ketum) PSSI Erick Thohir setelah membicarakan nasib tuan rumah Indonesia di Piala Dunia U-20 bersama Presiden FIFA Gianni Infantino di Qatar. 

Tetapi, FIFA tidak mengungkapkan alasan secara eksplisit alasan pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah. Hal ini lantas membuat banyak masyarakat bertanya-tanya atas keputusan FIFA tersebut. 

Pembatalan Piala Dunia U-20 2023 memberikan konsekuensi kerugian cukup besar dalam aspek ekonomi. Salah satunya adalah dari sisi anggaran pemerintah yang sudah digunakan untuk mempersiapkan segala sarana dan prasarana untuk pertandingan. 

Direktur Prasarana Strategis Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Iwan Suprijanto menyampaikan kementeriannya telah mengeluarkan dana sebesar Rp400 miliar untuk merenovasi stadion-stadion agar sesuai dengan standar FIFA.  

Tidak hanya itu, biaya ini belum termasuk dana yang dialokasikan dari APBN untuk Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), plus PSSI, yang juga mengeluarkan dana yang tak sedikit untuk mempersiapkan Timnas U-20 dibawah pelatih Shin Tae Yong. 

image 2

Dalam hal ini, yang menjadi persoalan adalah mengapa alasan penolakan FIFA dalam Piala Dunia U-20 terlihat samar? Lalu, mengapa pemerintah seolah begitu lalai dalam mengantisipasi skenario terburuk pembatalan menjadi tuan rumah Piala Dunia 2023? 

“Berlindung” Di Balik Apa Lagi?  

Mengacu pada surat resmi, FIFA tidak sama sekali menyebutkan alasan penolakan dalam keputusan mereka. Tetapi, FIFA malah menyinggung Tragedi Kanjuruhan di dalam surat resminya. 

A.R. Syamsudin dalam bukunya Studi Wacana: Teori Analisis Pengajaran menjelaskan terkait analisis wacana atau yang dalam bahasa kerennya discourse analysis

Baca juga :  The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Menurut Syamsudin, analisis wacana merupakan analisis hubungan antara struktur pembentuk teks secara tekstual dengan aspek kontekstualnya (lingkungan sekitar atau sosial masyarakat). 

Sementara itu, Eriyanto dalam bukunya Analisis Framing: Komunikasi, Ideologi, dan Politik Media menjelaskan tentang pendekatan analisis wacana, salah satunya melalui pendekatan konstruktivisme.  

Pendekatan konstruktivisme menekankan bahasa tidak lagi dilihat sebagai alat untuk memahami realitas obyektif, tetapi menjadikan subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan-hubungan sosialnya. 

Bahasa diatur dan dihidupkan oleh pernyataan yang bertujuan. Analisis wacana dalam paradigma ini dimaksudkan sebagai suatu analisis untuk membongkar maksud dan makna tertentu.  

Dalam konteks surat FIFA soal pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunai U-20, lebih tepatnya mengacu pada frasa “situasi yang terjadi saat ini”, agaknya memang terlihat multitafsir. Itu pun tampak tak hanya melingkupi diskursus penolakan terhadap Timnas Israel di Indonesia.  

image 1

Berdasarkan pendekatan konstruktivisme, frasa diatas kemungkinan memang sengaja dibentuk oleh FIFA. Pernyataan yang terkesan multitafsir itu pun agaknyanya memuat tujuan tertentu. 

Dalam hal ini, FIFA seolah terlihat ingin menghindari dirinya tengah terjebak dalam standar ganda, seperti negara-negara yang juga melakukan dugaan state crime serupa seperti Rusia dan Afrika Selatan. 

Apabila FIFA menyebutkan secara tersurat terkait penolakan atas keikutsertaan Israel, maka sudah sangat jelas ada praktik diskriminasi yang dipraktikkan FIFA saat menyikapi Israel. Ini tentu melanggar Pasal 3 Statuta FIFA yang memuat asas non-diskriminasi.  

Namun, penolakan Indonesia oleh FIFA seharusnya sudah diantisipasi oleh pemerintah. Terlebih, kemungkinan Timnas Israel U-20 tampil di Piala Dunia bukan sesuatu yang mustahil. 

Lantas, mengapa pemerintah dalam hal ini bisa dikatakan lalai dalam mengantisipasi skenario terburuk gelombang penolakan hingga terjadi pembatalan sebagai tuan rumah Piala Dunia 2023 oleh FIFA ? 

image

Pemerintah Kurang Gesit? 

Kegagalan komunikasi dan antisipasi pemerintah kemungkinan sebagai penyebab terjadinya polemik terhadap Timnas Israel, yang berujung FIFA mencopot Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20.  

Baca juga :  Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Di titik inim, pemerintah kiranya menjadi pihak yang paling lalai dan tidak melakukan antisipasi dini, setidaknya sejak Juli 2022 begitu Timnas Israel masuk putaran final Piala Dunia U-20. 

Maka, analisis wacana seharusnya dipakai oleh pemerintah untuk mencegah antisipasi risiko skenario terburuk, termasuk penolakan yang datang dari berbagai kalangan, termasuk sikap tegas dari partai penguasa, yakni PDIP. 

Dalam hal ini, antisipasi tidak hanya dilihat dari segi kesiapan infrastruktur dan keamanan saja. Tetapi pemerintah kiranya luput dari analisis wacana komprehensif yang seharusnya bisa diantisipasi. 

Antisipasi itu bisa dilakukan seperti pendekatan intelijen pemerintah ke kelompok-kelompok yang berpotensi besar menolak dan penolakannya bisa menjadi isu besar.  

Tak hanya itu, seharusnya pemerintah juga mampu “membanjiri informasi” bahwa keberadaan Timnas Israel di Piala Dunia U-20 tak memiliki konsekuensi minor apa pun. 

Padahal, itu telah disokong oleh pernyataan Duta Besar (Dubes) Palestina untuk Indonesia yang tidak mempermasalahkan Israel bermain di Piala Dunia U-20 Indonesia.  

Antisipasi dan kemampuan pemerintah untuk sendiri membanjiri informasi, menjamin dan meyakinkan pemahaman publik selaras dengan yang dijelaskan di dalam teori Huxleian. Huxleian merupakan istilah yang diambil dari penulis novel Brave New World (BNW), Aldous Huxley. 

Dalam paradigma tersebut disajikan distopia atas bagaimana negara mengontrol warga negaranya secara total. Huxley turut menguak sosok negara dengan kemajuan teknologi yang justru membanjiri informasi. 

Banjir informasi digunakan untuk menciptakan situasi kontrol yang dimotivasi oleh kenikmatan (pleasure) dan ketidaktahuan. 

Melalui tumpahan informasi, akan tercipta disinformasi masif yang membuat masyarakat tidak mampu membedakan mana informasi yang semestinya dipercaya. 

Kendati berkonotasi negatif, wewenang kontrol terhadap informasi itu semestinya dapat digunakan semaksimal mungkin oleh pemerintah Indonesia untuk mencegah skenario terburuk dari keikutsertaan Timnas Israel di Piala Dunia U-20. 

Oleh karena itu, sekiranya pemerintah mampu membanjiri informasi seperti yang telah dijelaskan dalam teori Huxleian, kemungkinan polemik gagalnya Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 2023 kiranya dapat dihindari. (R86)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka.

More Stories

Seandainya Kasus Mario Tidak Viral

Kasus penganiayaan yang dilakukan anak pegawai Ditjen Pajak Kemenkeu Rafael Alun Trisambodo menjadi titik awal terkuaknya transasksi keuangan janggal fantastis. Pejabat negara Sri Mulyani...

Willow Project, Biden Tiru Jokowi?

Pengesahan Willow Project oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden agaknya cukup serupa dengan apa yang dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada tahun 2020...

Saudi-Iran, Tiongkok Numpang Eksis?

Tiongkok seolah berhasil menjadi penengah dalam pemulihan hubungan di antara Arab Saudi dan Iran. Pemulihan ini ditandai dengan penandatanganan perjanjian yang dilaksanakan di Beijing,...