Belakangan ini, warganet Indonesia sedang ramai membicarakan satu topik: harta pejabat negara. Kasus penganiayaan yang dilakukan oleh Mario Dandy telah membuka kotak hitam perilaku korup pejabat negara di Indonesia. Sekarang, warganet Indonesia tengah berburu pejabat korup di media sosial.
“Happy Hunger Games! And may the odds be ever in your favor.” – The Hunger Games (2012)
Masih ingatkah kalian dengan film The Hunger Games (2012)? Film yang diangkat dari buku novel ini bercerita tentang Katniss Everdeen – seorang perempuan miskin dari distrik 12 yang secara sukarela menggantikan adiknya dalam permainan Hunger Games.
Permainan ini adalah acara survival di mana setiap kandidat dari 12 distrik dipaksa untuk bertarung hingga mati – menyisakan satu pemenang. Hunger Games ini disiarkan secara langsung di televisi dan dinikmati oleh orang-orang kaya di Capitol.
Buku atau film ini menyoroti berbagai persoalan. Kesenjangan antara si miskin dan si kaya diilustrasikan secara ekstrem.
Orang-orang kaya tinggal di distrik berangka kecil, berpakaian sangat nyentrik, dan makan-minum secara berlebih. Di sisi lain, mereka yang miskin tinggal di distrik berangka besar, bekerja sebagai buruh, berpakaian sangat sederhana, dan dilanda kelaparan.
Gambaran situasi di buku maupun film The Hunger Games ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan realitas kita saat ini. Menurut laporan World Inequality tahun 2022, kesenjangan pendapatan di Indonesia adalah 1:19. Kelompok masyarakat kelas atas memiliki pendapatan 19 kali lebih besar daripada kelompok masyarakat kelas bawah.
Berkaca dari ketimpangan ini, tidak heran jika muncul gerakan whistleblower pejabat korup di instansi pemerintah. Saat ini, fenomena whistleblower inilah yang tengah terjadi di masyarakat.
Memang betul bahwa kasus Mario Dandy membuka kotak hitam pejabat korup di Indonesia. Namun, kasus ini hanyalah pemicunya.
Kotak hitam dibuka oleh warganet Indonesia yang gemas melihat ulah pamer harta Mario di media sosial dan memutuskan untuk mengulik Laporan Harta Kekayaan Penyelanggara Negara (LHPKN) milik ayah Mario, Rafael Alun Trisambodo. Hasilnya, Rafael dipanggil KPK dan puluhan rekeningnya dibekukan.
Tidak berhenti sampai Rafael, warganet Indonesia melanjutkan perburuan mereka dan mendapati Eko Darmanto yang kala itu menjabat sebagai Kepala Bea Cukai Yogyakarta yang terlihat memamerkan hartanya di media sosial. Tidak lama kemudian, Eko Darmanto dicabut dari jabatannya.
Ulah Eko Darmanto membuat Direktorat Jenderal Bea Cukai juga tersoroti. Sebuah akun Twitter bernama Partai Socmed pun membongkar gaya hidup mewah keluarga dari Kepala Bea Cukai Makassar Andhi Pramono. Saat ini, Andhi Pramono sedang diperiksa oleh KPK.
KPK juga memeriksa Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta Timur Sudarman Harja Saputra akibat gaya hidup mewah yang diunggah oleh istrinya di media sosial. Layaknya Andhi Pramono, Sudarman juga sedang diperiksa oleh KPK.
Fenomena whistleblower ini dapat dipahami menggunakan teori civil society milik Cohen dan Arato. Dalam bukunya yang berjudul Civil Society and Political Theory, Cohen dan Arato melihat bahwa tiap ranah masyarakat memiliki perannya masing-masing.
Dalam ranah masyarakat sipil (civil society), masyarakat berperan sebagai pengawas – atau istilah kerennya watchdog – dari ranah negara (state). Siapa yang diawasi? Ya seluruh institusi pemerintahan.
Perburuan warganet Indonesia terhadap pejabat negara tukang pamer harta adalah salah satu manifestasi dari fungsi watchdog masyarakat sipil. Oleh karena itu, jangan heran kalau masyarakat Indonesia sekarang sedang bermain Hunger Games dengan pejabat negara.
Satu persatu pejabat negara korup dikuliti dan dihabisi. Kira-kira, siapa lagi ya yang akan kena? (A89)