Tragedi kebakaran Depo Pertamina di Plumpang, Jakarta Utara yang terjadi pada tanggal 3 Maret 2023 kemarin menyisakan duka bagi para korban. Mengacu pada diskursus yang mengemuka setelahnya, tragedi itu seolah merupakan buah dari kebijakan populis yang digunakan para aktor politik, yakni Anies Baswedan dan Joko Widodo (Jokowi). Benarkah demikian? Serta apa maknanya bagi kehidupan sosial-politik Indonesia ke depan?
Tragedi kebakaran sebuah depo milik Pertamina di Plumpang, Jakarta Utara menjadi sorotan karena begitu banyak korban yang terdampak. Hingga 14 Maret 2023, sebanyak 23 orang meninggal dunia, puluhan warga terluka, dan ratusan warga terpaksa mengungsi.
Menariknya, tragedi tersebut menggulirkan diskurus lanjutan dan mempertanyakan siapa yang patut disalahkan. Nama Anies Baswedan dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kemudian turut mengemuka dalam pusaran itu.
Jika melihat kembali pada saat keduanya menjadi Gubernur DKI Jakarta, baik Anies dan Jokowi dinilai sama-sama menelurkan kebijakan populis dengan melegalkan status pemukiman Tanah Merah, wilayah yang “menempel” dengan depo Plumpang.
Kebijakan pemerintah DKI Jakarta kepada warga Tanah Merah memang memberikan angin segar kepada warga yang “termarjinalisasi”. Plus, impresi dan ekspektasi serupa bagi warga yang termarjinalkan lain di DKI Jakarta dalam konteks berbeda.
Lantas, mengapa itu bisa terjadi? Dan benarkah populisme Jokowi dan Anies menjadi salah satu faktor berbagai dampak pelik hingga hilangnya nyawa sejumlah warga akibat tragedi Plumpang ?
Nyawa Warga, Korban “Gimmick ?”
Untuk dapat menggali permasalahan lebih dalam, kebijakan Jokowi dan Anies kepada warga kampung Tanah Merah saat masih menjabat sebagai DKI-1 kiranya perlu diperhatikan.
Singkatnya, pada masa kepemimpinan Jokowi, dirinya seolah melegalkan permukiman Tanah Merah dengan memberikan status wilayah RT/RW dengan membagikan Kartu Tanda Penduduk (KTP) untuk semua warga disana.
Ketua Forum Komunikasi Tanah Merah Bersatu (FKTMB) Muhammad Huda menjelaskan kebijakan tersebut merupakan bagian dari janji kampanye Jokowi pada tahun 2012.
Warga Tanah Merah merasa sangat senang ketika Jokowi menjabat sebagai Gubernur, karena masalah kependudukan sebelumnya menjadi masalah yang berlarut-larut dapat diselesaikan.
Pemberian KTP dan RT/RW pada masa Gubernur Jokowi itu juga mempermudah masyarakat Tanah merah untuk melakukan administrasi kependudukan.
Namun, Wali Kota Jakarta Utara pada saat itu, Bambang Sugiyono menjelaskan jika fasilitas kependudukan warga yang diberikan Jokowi tidak memengaruhi kepemilikan tanah. Maka, tempat tinggal warga Tanah Merah masih berstatus “lahan sengketa”.
Selanjutnya, status izin mendirikan pembangunan (IMB) warga Kampung Tanah Merah diberikan pada era Gubernur Anies Baswedan.
Kebijakan tersebut juga tidak terlepas dari janji kampanye mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) itu.
Anies juga menjelaskan IMB diberikan agar warga kampung Tanah Merah memeroleh hak yang sama seperti masyarakat Jakarta lainnya.
Tetapi, anggota DPRD DKI Jakarta Gembong Warsono mengungkapkan meskipun warga telah diberikan IMB, status kepemilikan tanah di Kampung Tanah Merah tetaplah ilegal.
Dengan diberikannya IMB, warga seolah-olah sudah mendapatkan legalitas “ekstra” untuk membangun bangunan di kawasan milik Pertamina itu.
Padahal, tanah yang ditempati merupakan aset Pertamina. Artinya, kembali, status kepemilikan tanah tetaplah ilegal.
Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (DPRKP) DKI Jakarta Sarjoko menjelaskan jika IMB yang diberikan hanya semata-mata dukungan untuk pemenuhan kebutuhan layanan dasar warga tanah merah agar bisa terpenuhi, seperti keterbukaan akses terhadap air bersih, air minum, dan aksesibilitas jalan untuk mobilitas masyarakat.
Di titik ini, kiranya dapat sedikit terlihat bahwa kebijakan Pemerintah DKI Jakarta di Tanah Merah merupakan kebijakan yang populis. Populisme secara umum sendiri merupakan paham yang mengakui dan menjunjung tinggi hak, kearifan, dan rakyat kecil.
Definisi populisme memang bisa menjadi agak rancu. Terlebih, di dunia politik saat ini, populisme kerap digunakan untuk menarik dukungan masyarakat tanpa memerhatikan potensi kemudaratan bagi masyarakat itu sendiri di kemudian hari.
Cass Mudde dalam bukunya Populism : A Very Short Introduction menjelaskan adanya dua kelompok besar di masyarakat yaitu the pure people and the corrupt elite. Menurut Cass, masyarakat miskin dipandang sebagai pure people yang perlu mendapatkan bantuan dari pemerintah.
Pemerintah akan cenderung memusatkan perhatiannya kepada masyarakat miskin karena jumlah populasinya yang sangat banyak. Maka dari itu, tidak menutup kemungkinan jika masyarakat miskin bisa menjadi korban dari gimmick populisme para aktor yang sedang maupun akan menjabat di pemerintahan.
Namun, pemberian kebijakan kepada warga Kampung Tanah Merah itu tampaknya hanya solusi yang instan. Bahkan, bisa dikatakan, kebijakan itu bukan merupakan solusi dan justru melahirkan masalah baru.
Artikel PinterPolitik sebelumnya yang berjudul Jokowi dan Populisme Batu Bara mengutip publikasi berjudul The Quick Wins Paradox karya Mark E. Van Buren dan Todd Safferstone.
Keduanya menjelaskan jika solusi instan yang merugikan muncul dari ketidakmampuan pemimpin menangani lima faktor.
Pertama, takut akan kritik; kedua, terlalu cepat berkesimpulan; ketiga, lemah dalam manajemen mikro; keempat, enggan menerima masukan dari pemangku kepentingan lain; dan kelima, luput dalam meliat konsekuensi berantai yang dapat terjadi.
Lima faktor tersebut yang kiranya melingkupi kausalitas politik di berbagai dampak pelik, hingga hilangnya nyawa warga akibat tragedi Plumpang.
Lantas, apa maknanya bagi konteks sosial-politik Indonesia ke depannya? Serta seperti apa solusinya?
Jangan Selalu Populis?
Nadia Urbinati melalui tulisannya yang berjudul The Populis Phenomenon menjelaskan jika populisme juga menjadi cara elite baru untuk memeroleh kekuasaan dengan cepat. Namun, strategi itu agaknya juga akan menimbulkan ancaman terhadap demokrasi Indonesia.
Jika mengacu pada konteks tragedi Plumpang, konteks tersebut kiranya merupakan salah satu ancaman demokrasi karena kebijakan yang populis akan berdampak pada keamanan masyarakat.
Kebijakan yang populis juga agaknya akan membuat pemerintah terjebak. Akibatnya, agenda konstruktif demokrasi bagi kemaslahatan besama tidak berjalan dengan maksimal.
Tragedi Plumpang pun tampak membuat pemerintah bingung. Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto menyoroti kurangnya koordinasi pemerintah dalam penanganan masalah tersebut.
Mulyanto turut menyebut jika pemerintah terlihat acak-acakan dalam menyelesaikan masalah tragedi Plumpang.
Mulyanto menanggapi pernyataan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan yang ingin memindahkan permukiman masyarakat di sekitar depo.
Tetapi di sisi lain, Wakil Presiden Ma’ruf Amin bersama dengan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir memiliki pandangan yang berbeda dengan Luhut.
Keduanya mengatakan jika akan memindahkan Depo Pertamina ke lahan milik Pelindo. Perbedaan sikap pemerintah ini tentunya akan menimbulkan kebingungan bagi para warga terdampak dan masyarakat secara umum, bahkan hingga saat ini.
Terkait hal itu, Dosen Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyakarya Herry Priyono menjelaskan masyarakat harus menolak tegas segala bentuk populisme. Jaminan rasa aman untuk hidup di negara +62 juga harus bisa diberikan penguasa.
Oleh karena itu, penting untuk diketahui bagi pemerintah, populisme yang berarti paham yang berpihak kepada rakyat, tidak hanya semata-mata untuk memenuhi permintaan rakyat sepenuhnya, plus korelasinya dengan dukungan elektoral.
Tragedi Plumpang agaknya juga mengajarkan bahwa pemerintah harus tegas dalam memberikan solusi yang adil kepada seluruh rakyat, agar dapat tercapainya rasa aman dan agenda pro-demokrasi dapat berjalan maksimal. (R86)