Alasan mulai aktifnya Tiongkok dalam perang Rusia dan Ukraina disebut demi perdamaian dunia dan membela sekutu terdekatnya yakni, Rusia. Selain itu, Tiongkok juga tampaknya ingin memberi sinyal menantang Amerika Serikat (AS) dalam memperebutkan pengaruh di dunia “via” Rusia. Benarkah demikian?
Perang antara Rusia dan Ukraina yang terjadi saat ini seakan mengingatkan pada perang di antara Kekaisaran Persia dan Kekaisaran Romawi. Masalah teritorial dan pengaruh menjadi penyebab perang tersebut.
Perang tersebut bermula pada tahun 499 SM. Pemberontakan Ionia yang dipimpin Aristagoras yang didukung oleh Kekaisaran Romawi adalah babak awal dari konflik besar antara Kekaisaran Romawi dan Persia saat itu.
Penyebab pemberontakan ialah ketidakpuasan kota-kota di Asia Kecil terhadap para tiran yang ditunjuk oleh Kekaisaran Persia untuk memimpin mereka. Pemberontakan ini kemudian membuat dendam Kaisar Persia kala itu, Darius.
Efek yang menghancurkan dari perang Kekaisaran Persia dan Romawi tersebut adalah bahwa kedua kekaisaran lumpuh. Persia terjebak dalam jurang perselisihan dinasti dan perang saudara.
Sedangkan Romawi, cadangan keuangan terkuras habis untuk membiayai perang. Ini menyebabkan krisis ekonomi yang berlangsung selama berabad-abad.
Kisah awal mula perang Kekaisaran Persia dan Romawi yang dijelaskan diatas seolah, tidak berbeda jauh dengan awal mula konflik Rusia dan Ukraina, di mana berawal dari perebutan wilayah Krimea yang memberontak ke Ukraina dengan dukungan Rusia.
Tanggal 24 Februari lalu genap sudah satu tahun Rusia melancarkan invasi ke Ukraina. Sampai saat ini belum terlihat adanya tanda-tanda perang akan berakhir.
Moskow yang semula diprediksi dengan mudah menaklukkan Kiev, ternyata menemui perlawanan alot. Ukraina di bawah Presiden Volodymyr Zelensky mampu memberikan perlawanan sengit terhadap serdadu Putin yang menyerbu Ukraina.
Berbagai macam cara telah diupayakan agar perang ini segera berakhir. Mulai dari ajakan ke meja perundingan hingga sejumlah sanksi telah dilakukan untuk menghentikan perang ini.
Namun, kerasnya ego dan kepentingan dua negara tersebut seolah membuat semua upaya tersebut menemui jalan buntu.
Konflik ini seakan diperparah dengan terlibatnya dua negara kuat Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok yang memiliki kepentingan lain di belakangnya. AS dan Tiongkok tampak terlihat memperebutkan pengaruh dalam pusaran konflik tersebut.
Keterlibatan Tiongkok dalam konflik Rusia dan Ukraina ini cukup menarik. Tiongkok seolah memiliki misi selain membela sekutu terdekatnya yakni, Rusia.
Tiongkok seakan menjadikan konflik ini sebagai “panggung” mereka dalam perpolitikan internasional. Presiden Tiongkok Xi Jinping seolah ingin memperlihatkan bahwa mereka bukan hanya maju secara ekonomi tapi juga pengaruh dalam politik internasional.
Lantas, mengapa Tiongkok terlihat ingin ikut berperan dalam konflik Rusia dan Ukraina?
Tiongkok Adalah “Kunci”?
Kemajuan ekonomi Tiongkok beberapa tahun belakangan membuat beberapa kalangan meyakini jika “negeri tirai bambu” itu akan menjadi pesaing serius bagi Amerika Serikat (AS) sebagai negara adidaya.
Setelah Uni Soviet runtuh, belum ada lagi negara yang dapat menyaingi kemajuan ekonomi dan politik AS di dunia. Bahkan, oleh Rusia sekalipun yang notabene adalah “minatur” Uni Soviet.
Dengan kemajuan ekonominya, Tiongkok melihat situasi kontemporer sebagai peluang. Sedikit demi sedikit mereka mulai mendekati pengaruh politik AS di dunia, bahkan melewati sekutu tua mereka, Rusia.
Ini sejalan dengan apa yang dijelaskan Suyash Desai dalam tulisannya Flashpoints on the Periphery: Understanding China’s Neighborhood Opportunism.
Desai menjelaskan bahwa oportunisme adalah bagian dari politik luar negeri Tiongkok. Sikap ini sepertinya berangkat dari doktrin politik luar negeri Tiongkok yang disebut dàguó wàijiāo atau diplomasi kekuatan besar.
Doktrin tersebut menegaskan Tiongkok sebagai negara yang berperan besar dalam politik global, dengan cara menghadirkan diri sebagai jawaban atas kebimbangan yang melanda negara lain. Termasuk yang sedang dirugikan oleh polemik politik.
Implementasi dari doktrin tersebut kini mulai terlihat sedikit demi sedikit pada era Xi Jinping. Tiongkok kini mulai menunjukkan pengaruhnya secara ekonomi dan politik di sebagian besar negara-negara Asia dan Afrika.
Tiongkok agaknya hadir sebagai jawaban dari permasalahan yang melanda negara-negara tersebut. Tiongkok menawarkan bantuan ke negara tersebut dengan imbalan tertentu, baik berupa materiil maupun immateriil.
Pola ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan AS yang sudah lebih dahulu menggunakannya. Kini, Tiongkok mulai mengincar peluang yang lebih besar untuk menegaskan pengaruhnya di politik internasional dalam konflik Rusia dan Ukraina.
Selain bertujuan untuk membela Rusia, Tiongkok tampaknya juga memanfaatkan Rusia yang terlibat dalam konflik ini dan merupakan sekutu dekat mereka untuk melebarkan serta mempertegas pengaruh mereka dalam politik internasional jika poin-poin perundingan mereka disetujui kedua negara.
Xi Jinping telah mengajukan 12 poin untuk perundingan damai antara Rusia dan Ukraina. Poin-poin tersebut berisi mulai dari saling menghormati kedaulatan hingga resolusi pasca konflik.
Jika semua poin tersebut disetujui, maka ini merupakan kemajuan bagi politik internasional Tiongkok. Hal ini menandakan Tiongkok dapat diterima semua pihak. Plus, kembali menegaskan pengaruhnya dalam politik internasional.
Dalam poin-poin yang diajukan terlihat bahwa Xi Jinping tidak ingin meninggalkan dan mempermalukan Rusia dalam perundingan damai.
Sebaliknya, Tiongkok memperlihatkan Rusia bukan sebagai pihak yang kalah tapi juga ingin perang berakhir dan pada akhirnya melegitimasi tujuan mereka yakni, negara yang memiliki pengaruh besar.
Lalu, apakah hanya sebuah keuntungan pengaruh yang hendak dicapai Tiongkok dalam perang di Ukraina?
Demi Bisnis Senjata?
Ahli strategi militer Tiongkok kuno, Sun Tzu dalam bukunya The Art of War pernah mengatakan “in the midst of chaos, there is also opportunity”. Kata-kata Sun Tzu tersebut nampaknya dipahami betul oleh seorang Xi Jinping dalam melihat kesempatan di balik pertikaian geopolitik.
Meskipun dunia dalam keadaan tidak menentu, di mana sulit menemukan sesuatu yang pasti, Xi tampaknya tetap terlihat tenang.
Xi Jinping dapat menggunakan konflik itu dengan strategis dan membuat negaranya memperoleh keuntungan dalam kekacauan tanpa menyita perhatian dunia secara berlebihan.
Dalam konteks perang di Ukraina, Xi Jinping memainkan peran itu dengan sangat baik. Dia bisa melihat apa yang perlu negaranya lakukan agar dapat memainkan peran lebih diantara Rusia dan Ukraina.
Namun, tindakan Tiongkok dalam mengupayakan perdamaian di Ukraina bukannya tanpa cela. Utamanya, terkait dengan aspek nilai moral ideal.
Carmen Nobel dalam publikasinya yang berjudul When Business Competition Harms Society menyoroti khusus isu perilaku yang berlawanan dengan etika atau unethical behavior.
Nobel memfokuskan tiga variabel antara lain perbedaan perspektif, keuntungan jangka pendek, serta kepentingan politis yang dapat menjadi pemicu unethical behaviour dalam sebuah persaingan pemenuhan kebutuhan pasar dalam aspek apapun.
Berkaca dari penjelasan Nobel, perilaku Tiongkok yang kabarnya akan mengirimkan bantuan persenjataan berupa drone kepada Rusia untuk digunakan dalam perang dapat dikatakan merupakan unethical behavior.
Tiongkok seakan bermain politik dua kaki ketika pada saat mengupayakan perdamaian, namun di sisi lain juga tetap membantu persenjataan Rusia di medan perang.
Tiongkok tampak tidak mau kehilangan keuntungan dalam penjualan drone ke Rusia meskipun itu perilaku yang berlawanan dengan etika.
Dengan adanya isu penjualan drone tersebut, menarik melihat langkah Tiongkok selanjutnya dalam memainkan peran di pusaran konflik Rusia dan Ukraina.
Bagaimanapun juga, banyak pihak berharap Tiongkok dapat membawa perdamaian di Ukraina dan tidak hanya mementingkan keuntungan mereka sendiri. Mengingat Tiongkok merupakan pihak yang dapat diterima, baik oleh Rusia dan Ukraina.
Berkaca dari sejarah perang Kekaisaran Persia dan Romawi yang sudah dijelaskan sebelumnya, sejatinya tidak ada pemenang dalam sebuah peperangan. Melainkan hanya sebuah kehancuran. (S83)