HomeHeadlineLuhut "Kasih Tutorial” Junta Myanmar?

Luhut “Kasih Tutorial” Junta Myanmar?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan mengirimkan seorang jenderal TNI ke Myanmar untuk berbicara dengan pemerintah Junta Myanmar dalam momentum keketuaan Indonesia di ASEAN. Lantas, mengapa RI-1 menempuh pendekatan itu? Mungkinkah Jokowi kembali mempercayakan tugas khusus itu kepada Luhut Pandjaitan yang notabene juga adalah seorang jenderal?


PinterPolitik.com

Seorang jenderal akan dikirimkan dalam misi khusus untuk melakukan pembicaraan dengan para pemimpin Junta Myanmar. 

Itulah gagasan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam wawancara bersama Reuters di Istana Negara mengenai tema besar momentum keketuaan ASEAN 2023 yang diemban Indonesia. 

“Penindasan terhadap demokrasi” seolah menjadi salah satu tajuk esensial Presiden Jokowi. Meskipun tentu memahami prinsip nonintervensi di antara sesama anggota ASEAN, mantan Gubernur DKI Jakarta itu tampaknya ingin berupaya semaksimal mungkin menyelesaikan permasalahan negara satu komunitasnya. 

Satu harapan Presiden Jokowi di balik pengiriman jenderal ke Myanmar adalah refleksi bahwa Indonesia memiliki riwayat keberhasilan melakukan transisi menuju demokrasi dari rezim otoriter. 

Diketahui, Myanmar kini tengah dipimpin pemerintahan Junta Militer pimpinan Jenderal Min Aung Hlaing setelah angkatan bersenjata mengambil alih kekuasaan pada 1 Februari 2021 lalu. 

Pemimpin sipil yang digulingkan militer, yakni Aung San Suu Kyi, beserta sejumlah pejabat eksekutif ditangkap dan diadili. Suu Kyi lantas mendapat total vonis 33 tahun penjara atas sejumlah dakwaan, mulai dari korupsi, kepemilikan walkie-talkie secara ilegal, hingga melanggar pembatasan Covid-19. 

image 8

Secara historis, Myanmar seolah tak asing dengan kudeta junta militer sebagai dinamika politik yang cukup ironis, bahkan terhitung sejak tahun 1962. 

Menariknya, gagasan keterlibatan aktif Indonesia yang diutarakan Presiden Jokowi berbarengan dengan rencana latihan militer bersama antara negara-negara ASEAN dengan Junta Myanmar. Selama ini, Junta Myanmar sendiri kerap diisolasi dari berbagai forum multilateral pasca kudeta dua tahun lalu. 

Amerika Serikat (AS) secara gamblang merestui wacana latihan militer bersama itu, dengan didahului undangan pertemuan level menteri pertahanan (menhan) ASEAN-plus. 

Meski tampaknya cukup sulit, juru bicara (Jubir) Kementerian Pertahanan (Kemenhan) AS Martin Meiners menyebut upaya itu sebagai salah satu cara memulihkan demokrasi di Myanmar. 

Padahal, analis humanitarian David Scott Mathieson dalam Myanmar’s ‘peace talks’ a dangerous diversion menyebut pembicaraan damai dalam bentuk apapun dengan Junta Myanmar diistilahkan sebagai “nekrofilia” (penyimpangan seksual di mana pengidapnya menikmati hubungan intim dengan mayat). 

Dengan praduga kelicikan Junta Myanmar, ihwal itu disebut Mathieson hanya akan bermuara pada perdamaian semu yang tetap meninggalkan kesengsaraan bagi jutaan rakyat Myanmar. 

Kembali kepada inisiasi Presiden Jokowi untuk mengutus jenderal TNI ke Myanmar, mengapa pendekatan itu dilakukan? Serta mungkinkah jenderal yang dimaksud Presiden Jokowi adalah tangan kanan kepercayaannya selama ini, yakni Luhut Binsar Pandjaitan? 

Baca juga :  Pilkada 2024: Jokowi’s Next Battle?

Jenderal Sahabat Tua? 

Inisiasi Presiden Jokowi mengirim seorang jenderal ke Myanmar kiranya berdiri di atas alasan kuat dan cukup logis. 

image 7

Riwayat keberhasilan transisi Indonesia dari rezim otoriter ke demokrasi pada tahun 1998 silam memang tak lepas dari kesadaran para petinggi militer kala itu untuk “kembali ke barak”. 

Peneliti dari S. Rajaratnam School of International Studies (RSIS) Adhi Priamarizki menyebutkan istilah military maverick dalam publikasinya yang berjudul Military Reform and Military Maverick.  

Istilah itu diadopsi sebagai predikat bagi elite militer yang memainkan peran penting dalam mereformasi militer dan mendukung agenda demokratisasi. 

Setidaknya, terdapat nama Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Agus Wirahadikusumah, hingga Agus Widjojo yang kala itu memiliki kesadaran lebih atas pentingnya demokrasi dan profesionalisme angkatan bersenjata. 

Khusus, SBY dan Wirahadikusumah, keduanya bahkan telah mempublikasikan karya tulis di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad) mengenai esensi profesionalisme itu pada tahun 1993. 

Harold Crouch dalam Political Reform in Indonesia After Soeharto menyebut terdapat tiga rekomendasi tiga jenderal itu yang disebut berani, yakni membubarkan cabang urusan sosial dan politik (sospol) militer, menarik perwira militer yang memegang jabatan di pemerintahan dan birokrasi, dan mengurangi (hingga akhirnya) mencopot perwakilan militer di parlemen. 

Pemikiran dan gagasan tiga perwira tinggi itu pun dapat dipastikan tak berangkat dari ruang kosong, utamanya pengaruh eksternal. Baik SBY, Wirahadikusumah, dan Widjojo sama-sama memiliki riwayat pendidikan militer maupun pendidikan umum (magister) di AS. 

Sosok jenderal yang akan diutus Presiden Jokowi ke Myanmar pun dapat dipastikan merasakan “suka duka” transisi politik era Reformasi. Juga, kemungkinan mendapatkan doktrin dan pendidikan “rasa Amerika” – sebagai promotor utama demokrasi dunia. 

Di periode serupa saat reformasi angkatan bersenjata terjadi di Indonesia, Myanmar sendiri masih berkutat dengan kepemimpinan otoriter di bawah strongman militer, yakni Than Shwe (1992-2011). 

Meski begitu, di bawah kepemimpinan Soeharto, Indonesia menjadi salah satu pihak yang terus aktif merangkul Myanmar hingga menjadi negara anggota ASEAN pada tahun 1997. 

Di titik ini, walau tampak jauh dari kata sempurna, perjalanan demokrasi dan dinamika peran militer di Indonesia kiranya cukup menggambarkan reputasi serta peran yang dapat dibagikan kepada Myanmar saat ini. 

Lalu, apakah Presiden Jokowi memiliki visi merangkul Myanmar sebagaimana Soeharto di masa lalu atau berlandaskan pada visi serta kepentingan lainnya? 

image 6

Terinspirasi Soeharto atau Luhut? 

Merespons isu Myanmar dalam keketuaan ASEAN 2023, Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi menegaskan negeri +62 tidak akan menggunakan “diplomasi megafon” untuk mempersuasi Junta Myanmar. 

Baca juga :  IKN dan Sejarah Tanah Kerajaan Tanah Kalimantan

Akan tetapi, saat berbicara di World Economic Forum di Davos, Swiss bulan lalu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Panjaitan menyuarakan hal serius terkait Myanmar. 

Sosok yang kebetulan adalah jenderal di era Reformasi itu mendesak Junta Myanmar untuk menyerahkan kekuasaan kepada pemimpin yang “berkualitas”, dan meniru transisi politik Indonesia 1998. 

Menariknya, Sebastian Strangio dalam kolom tulisan terbarunya di The Diplomat mengatakan tidak akan menjadi pilihan yang mengejutkan jika Luhut-lah sosok jenderal yang diutus Presiden Jokowi untuk misi khusus ke Myanmar. 

Bagaimanapun, tokoh militer seolah memang memiliki cara komunikasi, bahasa, dan “kamus” yang berbeda sebagaimana disiratkan Samuel Finer dalam jurnal berjudul The Man on Horseback The Role of the Military in Politics

Finer menyatakan militer pada hakikatnya adalah kekuatan politik yang independen serta merupakan fenomena yang khas, terutama saat beririsan kepentingan dengan politik. 

Tak jarang, pemimpin negara berlatar belakang militer lebih nyaman berkomunikasi dan menjalin relasi dengan sesama pemimpin negara dengan latar belakang serupa. 

Sebagaimana sedikit disinggung sebelumnya, Indonesia dan Myanmar memiliki riwayat komunikasi pemimpin militer yang cukup baik, utamanya saat kepemimpinan Soeharto. 

Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra secara khusus pernah mengangkat kembali romansa itu saat Soeharto dikatakan menjadi aktor prominen penerimaan Myanmar sebagai negara anggota ASEAN. 

Meski ditekan sejumlah negara Barat, Yusril yang kala itu berkiprah di Sekretariat Negara (Setneg) mengatakan Soeharto – yang berlatar belakang militer – kala itu melakukan komunikasi yang baik dengan berbagai pihak, termasuk pemimpin Myanmar Than Shwe. 

Mengacu pada kombinasi berbagai variabel saat ini, inisiasi pengiriman jenderal sebagai utusan khusus Presiden Jokowi dalam urusan Myanmar kiranya cukup ideal untuk dilakukan. 

Benturan meja diplomasi formal, prinsip nonintervensi, momentum keketuaan ASEAN, riwayat transisi politik otoriter ke demokrasi, serta sosok Jokowi yang bukan berlatar belakang militer agaknya menjadi variabel-variabel tersebut. 

Terlepas dari efektivitasnya dalam tensi politik Myanmar, jika berhasil dieksekusi dan mendapat publisitas, inisiasi utusan jenderal Presiden Jokowi bukan tidak mungkin meninggalkan legacy politik luar negerinya. 

Selain gagasan di Myanmar, Presiden Jokowi sebelumnya telah mengeksekusi sendiri peran aktif di konflik mancanegara saat melakukan safari perdamaian ke Ukraina dan Rusia pada Juni 2022 lalu. Manuver yang bersamaan dengan momentum Presidensi G20 Indonesia. 

Di luar konteks kualitas demokrasi Indonesia beberapa tahun terakhir, khususnya peran militer di lembaga/kementerian, peran dan solidaritas aktif untuk menurunkan tensi politik di Myanmar yang telah merenggut banyak korban jiwa agaknya memang tetap harus diupayakan. (J61) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Anies Di-summon PKS!

Ahmad Syaikhu in a battle against Dedi be like, “I summon Anies Baswedan!”  #Anies #AniesBaswedan #PilkadaJawaBarat #AhmadSyaikhu #IlhamHabibie #PKS #pinterpolitik #infografis #politikindonesia #beritapolitik #beritapolitikterkini

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

More Stories

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).