HomeHeadlineAnies Tiru Strategi Politik Trump?

Anies Tiru Strategi Politik Trump?

Anies Baswedan belakangan semakin sering melempar gestur politik yang kontroversial. Kalau kita melihat ke belakang, hal tersebut mirip dengan apa yang dilakukan mantan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump. Mungkinkah Anies sedang mainkan strategi yang sama?


PinterPolitik.com

Tidak dipungkiri Anies Baswedan belakangan ini menjadi tokoh politik yang paling sering dibicarakan warganet Indonesia. Itu pun tidak hanya klaim semata, dari data yang dikumpul oleh Cakradata, dalam tiga bulan terakhir ini Anies selalu menempati posisi paling atas sebagai tokoh politik yang paling populer.

Hal itu pun sepertinya bukan kebetulan yang terjadi tanpa alasan, karena kalau kita perhatikan, berita-berita tentang mantan Gubernur DKI tersebut memang hampir selalu ada setiap minggunya.

Dimulai dari penetapan sebagai calon presiden (capres) oleh Partai NasDem pada Oktober silam, gegap gempita calon wakil presiden (cawapres) pada bulan November, dan salah satu isu hangat terakhir adalah post Instagram Anies tentang kereta Argo Parahyangan yang dilihat publik sebagai kritik keras terhadap proyek kereta cepat Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Kalau kita mengacu pada pembahasan sebelumnya di artikel PinterPolitik berjudul Kita Semua Korban “Pancingan” Anies?, ada dugaan bahwa viralnya sejumlah berita tentang Anies adalah hal yang disengaja, karena dalam dunia komunikasi politik ada sebuah konsep yang disebut top of mind awareness.

Pada dasarnya, konsep ini sebenarnya paling sering digunakan dalam pemasaran produk. Semakin sering suatu produk disiarkan ke publik, produk itu akan semakin mudah diingat, dan semakin mudah sesuatu diingat, maka ia pun bisa jadi hal pertama yang dipikirkan publik ketika teringat akan isu yang berkaitan dengannya.

Akan tetapi, konsep ini juga tetap berlaku dalam politik. Jika suatu politisi selalu muncul dalam berita, bukan tidak mungkin ia akan jadi pikiran pertama yang terlintas dalam benak para calon pemilih ketika nanti akhirnya politisi tersebut menjadi capres dalam pemilihan umum (pemilu).

Dengan demikian, strategi kampanye yang dilakukan adalah sesering mungkin menjadikan politisi tersebut sebagai buah bibir masyarakat.

Namun, seperti yang bisa kita lihat sendiri, viralnya sejumlah berita tentang Anies terkadang malah memancing perdebatan sengit, ada yang membela dirinya, dan banyak juga yang justru mengkritik dan menentang.

Oleh karena itu, sepertinya viralnya Anies tidak hanya untuk top of mind awareness saja, melainkan ada tujuan lain yang sedang diincarnya, apakah itu?

image 97

Anies Agitasi Persuasi Pasif?

Jika kita coba perhatikan ramainya perbincangan politik di dunia maya saat ini, kita akan sadari bahwa tanpa politisi yang dibicarakan terlibat secara langsung pun, diskusi yang terjadi di kolom-kolom komentar bisa berlangsung sangat sengit dan tidak jarang, panas.

Baca juga :  Sekamar dengan “Prabowo” Simbol Politik Anies?

Di akun Instagram @pinterpolitik saja kita sering temukan perdebatan yang menarik ketika bicarakan tokoh politik besar seperti Anies atau Ridwan Kamil, misalnya.

Ini artinya, proses persuasi yang dilakukan antar kelompok masyarakat di dunia maya bisa berjalan begitu hidup dengan sendirinya tanpa mobilisasi yang kentara, mungkin hanya menggunakan sedikit buzzer saja.

Fenomena tersebut sebenarnya termasuk salah satu hal menarik yang dikaji dalam dunia komunikasi politik. Brian E. Weeks, dan kawan-kawan, dalam tulisan Social Media Use, Opinion Leadership, and Political Persuasion, menilai bahwa diskusi tentang politik yang terjadi di internet ternyata sangat berdampak pada psikologis para penggunanya.

Dengan sebuah istilah yang disebut passive political persuasion atau persuasi politik pasif, Weeks melihat bahwa semakin sering seseorang terlibat dalam diskusi politik, semakin kuat pula mereka menganggap dirinya berpengaruh dan paham tentang politik. Akibatnya, mereka pun lambat laun akan merasa semacam ada dorongan untuk menjadi pemimpin opini di dunia maya.

Jika sudah demikian, maka yang terjadi adalah para pengguna media sosial tersebut selanjutnya cenderung merasa lebih “lentur” dalam membujuk orang lain untuk mengikuti pola pikir politiknya. Dengan begitu, tanpa sang politisi “idola” muncul di berita pun perbincangan tentangnya akan terjalin secara organik.

Secara sekilas, dari pandangan demokrasi, hal ini bisa dilihat secara positif, karena masyarakat bisa menjalin diskursus politik yang aktif di ruang publik. Kalau kita melihatnya secara lebih spesifik, fenomena tersebut juga menjadi perangkat politik yang sangat efektif bagi sang politisi.

Akan tetapi, ada satu kemungkinan negatif yang perlu jadi perhatian kita bersama. Di dalam psikologi, ada sebuah hal yang disebut Dunning-Kruger Effect. Ini adalah sebuah fenomena bias kognitif yang diambil dari tulisan David Dunning dan Justin Kruger yang berjudul Unskilled and unaware of it: how difficulties in recognizing one’s own incompetence lead to inflated self-assessments.

Bias kognitif ini terjadi pada orang-orang yang melebih-lebihkan pengetahuan atau kemampuan di bidang tertentu. Hal ini terjadi karena kita jarang merefleksikan atau merenungkan seberapa dalam kita mengetahui sesuatu. Seringnya yang terjadi adalah kita hanyut dalam kepercayaan diri dan malu mengakui ketidaktahuan.

Sederhananya, orang yang terkena efek Dunning-Kruger tersebut sebenarnya mungkin tidak terlalu paham tentang apa yang dibicarakannya, tapi karena menganggap dirinya sudah berpengalaman dalam diskusi politik, ia akan tetap memperjuangkan apa yang ia yakini, bahkan ketika poin-poin argumennya terbukti tidak benar sekalipun.

Semua itu bisa terjadi simply dengan perilaku politisi yang sering membuat kabar-kabar viral.

Lantas, bagaimana kita bisa memaknai hal tersebut jika memang itu terjadi?

image 98

Belajar dari Strategi Trump?

Kalau kita coba belajar dari sejarah, jika memang Anies punya pandangan seperti yang sudah dijelaskan di atas tadi di balik berita-berita viralnya, maka sepertinya yang dilakukan Anies tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan mantan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump ketika Pemilu 2016.

Baca juga :  Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Seperti yang dijelaskan David Smith dalam tulisannya How Trump won the election: volatility and a common touch, salah satu alasan kuat kenapa Trump bisa menang pada tahun 2016 adalah karena ia merepresentasikan dirinya sebagai politisi outsider, atau politisi yang “tidak wajar” karena ia berani membicarakan hal-hal politik sensitif yang umumnya dihindari politisi lain.

Akibat ciri khasnya itu, Trump mendapatkan banyak pendukung (umumnya republikan) yang melihat Trump layaknya seorang penyelamat yang berani melawan sistem tirani, yang selama ini membuat para warga AS “tertidur”.

Karena itu, Trump bisa dengan mudah mendapatkan dukungan banyak karena layaknya sebuah pemujaan, ia mendapat bantuan dari para influencer di media sosial yang sangat aktif dalam membelokkan opini publik.

Uniknya, beberapa tahun kemudian, sejumlah pengamat mengamati fenomena tersebut dan mulai menyoroti bahwa ternyata banyak sekali perbincangan politik yang diagitasi oleh para pendukung Trump, namun apa yang dibicarakan mereka tidak sepenuhnya benar.

Karena hal inilah istilah Dunning Kruger Effect yang sebelumnya sudah kita bahas kembali menjadi populer.

Kalau kita berkaca pada Anies, sebenarnya kita bisa menemukan beberapa kemiripan strategi komunikasi politiknya dengan Trump.

Belakangan ini Anies semakin aktif membuat sindiran-sindiran terhadap pemerintah, contohnya seperti postingannya tentang Argo Parahyangan tadi, dan beberapa waktu lalu juga, komentarnya terhadap kebiasaan pemerintah yang gemar membungkam kritik.

Jika dibandingkan dengan Trump, ia pun mengandalkan komunikasi politik yang cukup serupa, contohnya adalah mengagitasi kemarahan publik pada pemerintah terkait isu imigran dari Meksiko.

Pernyataan-pernyataan yang bersifat populis ini mampu mengagitasi perdebatan yang sengit di masyarakat karena menciptakan sensasi adanya gerakan perlawanan rakyat terhadap kaum elit (pemerintah).

Perbedaannya adalah, kalau kita nalarkan, mungkin dampak polarisasi yang tercipta akibat pernyataan Anies yang viral tidak separah apa yang dilakukan Trump. Dari segi personal pun, Anies masih tidak seberingas Trump dalam melempar kritik.

Pada akhirnya, kalau strategi persuasi politik pasif tersebut memang dilakukan, maka sebenarnya bisa kita simpulkan saat ini Anies dalam posisi yang begitu kuat.

Jika setiap pernyataan Anies direspons, sekalipun dengan sifat mengkritik, Anies tetap akan jadi topik perbincangan. Jika sebaliknya, kalau orang-orang mengabaikan apa yang dilakukan Anies, tentu “safari politik”nya akan berjalan lancar.

Yap, kayaknya gak terlalu berlebihan kalau kita bilang Anies saat ini adalah politisi yang overpowered. (D74)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Anies Di-summon PKS!

Ahmad Syaikhu in a battle against Dedi be like, “I summon Anies Baswedan!”  #Anies #AniesBaswedan #PilkadaJawaBarat #AhmadSyaikhu #IlhamHabibie #PKS #pinterpolitik #infografis #politikindonesia #beritapolitik #beritapolitikterkini

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

More Stories

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia?