HomeNalar PolitikBenarkah 2024 Asal Jangan PDIP?

Benarkah 2024 Asal Jangan PDIP?

Diskursus Pemilu dan Pilpres 2024 hingga kini tampak belum berfokus pada visi konkret dari para aktor di dalamnya. Sebatas adu popularitas kandidat hingga tajuk “asal jangan PDIP”, misalnya, justru menjadi yang mengemuka dan digemari dibanding narasi substansial. Lalu, mengapa itu bisa terjadi? 


PinterPolitik.com 

Semakin dekatnya kontestasi elektoral 2024 agaknya belum membuat para aktor yang akan bertarung menyuarakan narasi substansial yang akan dibawa jika kembali berkuasa atau berhasil merebut kekuasaan. 

Tengok saja ajang pemilihan presiden (pilpres) yang seolah masih sebatas membicarakan sosok calon presiden (capres) maupun calon wakil presiden (cawapres), serta koalisi politik penyokongnya. Terutama drama-drama yang mengiringi. 

Sejauh ini, terdapat dua sosok yang telah dan hampir pasti akan menjadi capres di 2024, yakni Anies Baswedan dan Prabowo Subianto. 

Terkait Anies, misalnya, diskursus yang muncul masih berkutat di intrik pencapresannya oleh Partai NasDem, entitas politik yang merupakan penyokong pemerintah saat ini. 

Intrik mengemuka dikarenakan selama ini, Anies kerap dinilai merupakan antitesis pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Teranyar, berbagai tafsir mengemuka setelah RI-1 bertemu Ketua Umum (Ketum) Partai NasDem Surya Paloh yang dinilai untuk meluruskan pemahaman soal pencapresan Anies serta isu reshuffle

Sementara itu, Prabowo pun masih belum hadir dengan gagasan menarik sebagaimana manuver sang Ketum Partai Gerindra itu di dua edisi pilpres sebelumnya. 

image 95

Untuk case Prabowo, gagasan template untuk meneruskan visi pemerintahan Presiden Jokowi kiranya cukup masuk akal berkat keberadaannya di kabinet sebagai Menteri Pertahanan (Menhan) saat ini. 

Hal berbeda sebenarnya bisa dilakukan Anies. Namun, sayangnya hingga kini urung terlihat. 

Selain dikarenakan deklarasi yang jamak dinilai terlalu dini, kegamangan Partai NasDem yang menyebut masih setia kepada pemerintahan Jokowi yang diwarnai dengan “gertakan” reshuffle boleh jadi menghambat keleluasaan Anies untuk bermanuver. 

Padahal, Anies dan Partai NasDem bisa memanfaatkan serta memaksimalkan sentimen minor yang belakangan jamak tertuju pada pemerintahan Presiden Jokowi dan partai politik (parpol) di belakangnya, yakni PDIP. 

Mulai dari kasus rasuah bantuan sosial (bansos) yang menjerat eks Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara, gestur dan pernyataan kontraproduktif dari elite PDIP seperti Puan Maharani hingga Megawati Soekarnoputri, sampai kebijakan secara umum kerap mendapat respons kurang baik. 

Respons itu sendiri setidaknya dapat dilihat dari berbagai komentar warganet di linimasa. 

Bahkan, jika pada dua edisi pilpres terakhir sempat muncul istilah “asal jangan Prabowo”, kini tajuk “asal jangan PDIP” tak jarang diangkat netizen sebagai salah satu formula menentukan pilihan di Pemilu maupun Pilpres 2024. 

Tak hanya dari pantauan komentar warganet, hasil survei Algoritma Research and Consulting juga menemukan bahwa PDIP menjadi  partai politik (parpol) dengan tingkat resistensi atau penolakan publik tertinggi. 

Baca juga :  PDIP and the Chocolate Party
image 94

Kembali, ironisnya, rakyat turut larut dalam diskursus intrik para aktor politik tersebut dan seolah kurang mempertanyakan visi dan substansi politik yang benar-benar dibawa bagi kemaslahatan bersama. 

Lantas, mengapa itu bisa terjadi? 

Gosip Lebih Menggairahkan? 

Jika dielaborasikan, paling tidak terdapat dua hal yang melandasi minimnya substansi yang dibawa para aktor politik, terutama korelasinya dengan tuntutan masyarakat terhadap mereka, tak terkecuali perspektif “asal jangan PDIP”. 

Pertama, terdapat evaluasi kolektif dari masyarakat terhadap para aktor politik yang kerap tidak menepati janjinya. Ihwal yang dianalisis oleh Robert Thomson dan Heinz Brandenburg dalam Trust and Citizens’ Evaluations of Promise Keeping by Governing Parties

Menurut temuan Thomson dan Brandenburg, evaluasi itu menjadi penting mengingat dapat menentukan tingkat kepercayaan rakyat sebagai konstituen dalam sebuah pemilihan. 

Dari karakteristik individu ini, keduanya fokus pada kepercayaan politik sebagai perkara heuristik. Itu didefinisikan Patti Tamara Lenard dalam The Roles of Trust, Mistrust and Distrust in Democracy sebagai ketidakpercayaan atau sinisme dan ekspektasi pengkhianatan. 

Meskipun jika diartikan dalam definisi tersebut esensi evaluasi politik berada dalam konteks informasi yang tidak lengkap serta diliputi ambiguitas, kebanyakan perspektif masyarakat terhadap politik dalam dimensi negatif memang diliputi stereotip aktor politik yang melanggar janji saat berkuasa. 

Basis konseptual itulah yang kiranya menjadi dasar pemahaman bahwa para aktor yang bersaing dalam sebuah proses politik “sama saja”. Sebuah impresi yang dalam pepatah berbunyi “dalam politik, tidak ada kawan dan lawan abadi, yang ada hanya kepentingan,”.  

Kedua, gosip maupun pembicaraan “receh” atau tak substansial seperti berbagai drama dan intrik aktor politik justru sering kali menjadi yang lebih digemari oleh masyarakat, termasuk dalam dimensi politik di Indonesia. 

Secara hakikat, Robin Dunbar dalam tulisannya yang berjudul Gossip in Evolutionary Perspective menjelaskan asal usul “gosip”, yakni sebagai mekanisme untuk menciptakan ikatan kelompok sosial seiring berkembangnya transformasi komunikasi verbal manusia. 

Dalam konteks politik kontemporer, sejarawan sekaligus penulis buku Sapiens: A Brief History of Humankind, Yuval Noah Harari juga menyiratkan masyarakat kini lebih menggemari intrik dan drama dalam politik sebagai sebuah gosip yang menggairahkan. 

Dalam wawancaranya bersama jurnalis Financial Times Alec Russell, Harari bahkan menyebutkan bahwa masyarakat selalu lebih tertarik pada intrik serta isu-isu politik daripada isu bencana alam. 

Dua postulat di atas kemungkinan menjadi feedback yang dipahami oleh aktor politik, utamanya yang akan berlaga di Pemilu dan Pilpres 2024. Elektabilitas yang berlandaskan popularitas menjadi basis utama yang kiranya lebih diperjuangkan para aktor tersebut. 

Baca juga :  Gibran Wants to Break Free?

Itu yang kemungkinan membuat sampai saat ini jarang terlihat aktor politik yang akan berlaga di pesta demokrasi 2024 membawa narasi substansial nan memikat. 

Namun di sisi lain, hal yang seolah “receh” karena hanya berkutat di persaingan popularitas aktor itu justru dapat menjadi konstruksi preferensi politik yang signifikan. 

Sampel kemunculan istilah “asal jangan PDIP” di 2024 bukan tidak mungkin akan mengulangi daya magis istilah “asal jangan Prabowo” di pertarungan politik edisi sebelumnya yang menjadi salah satu faktor kemenangan Jokowi dan PDIP. 

Lalu, mengapa kemudian terdapat perspektif spesifik yang mengarah pada pilihan untuk tidak memilih PDIP di 2024? 

image 93

Bosan Dengan PDIP? 

Jika pertanyaan terakhir dijawab dengan satu kata, yakni “bosan”, mungkin kesan receh dijawab dengan hal receh lain mengemuka. 

Akan tetapi, kebosanan dalam kehidupan sosial-politik nyatanya memang terjadi bahkan sejak era Romawi. 

Mariusz Finkielsztein dalam sebuah publikasi berjudul Between Pain and Pleasure: A Short History of Boredom and Boredology mengatakan kebosanan adalah pengalaman manusia yang universal namun begitu signifikan. 

Mengutip filsuf Abad Pencerahan asal Prancis Claude Adrien Helvétius, Finkielsztein mengatakan kebosanan merupakan kekuatan di alam semesta yang lebih kuat dan bertindak jauh lebih universal daripada yang biasa dibayangkan. 

Terdapat beberapa referensi mengenai asal-muasal kebosanan dan dampak signifikannya bagi peradaban. 

Namun, dapat dikatakan bahwa salah satu dampak kebosanan yang dapat ditelusuri adalah Revolusi Neolitik, yaitu transisi ke cara hidup menetap dan bercocok tanam. 

Dampak lainnya yang tak kalah tenar dari kebosanan, yakni kisah Pyrrhos dari Epiros sebagaimana dijelaskan oleh Plutarch dalam karyanya Bioi Parallelo

Disebutkan, selama Pyrrhos tidak berperang, dirinya tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan waktunya. Plutarch mengatakan Pyrrhos merasakan hal yang sama seperti orang Hellenes menunggu angin yang menguntungkan sebelum memulai Perang Troya di Homer. 

Sementara itu, penguasa Romawi menganggap kebosanan sebagai ancaman bagi tatanan sosial. Kebosanan berlebihan, utamanya terhadap penguasa dan kehidupan sosial-politik dianggap dapat memantik pemberontakan. 

Dalam dimensi yang hampir serupa, kebosanan bisa saja menjadi alasan kemunculan istilah “asal jangan PDIP” di 2024. “Kebosanan” – yang mungkin dianggap sebagai hal receh – dari sekelompok orang terhadap kekuasaan PDIP di dua periode terakhir, boleh jadi menyimpan manifestasi mendalam atas alasan sesungguhnya yang justru bersifat substansial. 

Akan tetapi, penjelasan di atas tentu masih sebatas interpretasi semata. Kemunculan “asal jangan PDIP” di 2024 pun belum tentu akan berdampak signifikan bagi peta politik di pesta demokrasi tahun depan. (J61) 

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Dengarkan artikel ini: Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut. Meski belum juga terjadi, banyak yang...

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?