HomeHeadlineMakna Mengerikan di Balik People Power

Makna Mengerikan di Balik People Power

Mendekati masa Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 istilah people power kembali dimunculkan. Apakah istilah tersebut benar-benar merepresentasikan aspirasi masyarakat? Atau jangan-jangan ada hal lain yang perlu kita maknai bersama tentang people power?


PinterPolitik.com

Kalian mungkin pernah mendengar sebuah istilah yang berbunyi people power. Yess, paska Pemilihan Umum 2019 (Pemilu 2019) kata-kata itu sempat digunakan oleh Amien Rais ketika menduga adanya kecurangan dalam proses penghitungan suara.

Baru-baru ini, istilah people power kembali dipopulerkan pengamat politik Rocky Gerung saat dirinya mengungkapkan ada kekuatan massa yang besar di balik bakal calon presiden (capres) Anies Baswedan bila Pemilihan Presiden 2024 (Pilpres 2024) nanti ditunda.

Mengaku pernah berbicara dengan salah satu pendukung Anies, Rocky sebut mereka akan berusaha sekuat mungkin agar Anies bisa “bertanding”.

Namun, pernahkah kalian bertanya, apa yang sebenarnya dimaksud dengan people power?

Tentu, secara harfiah people power umumnya diterjemahkan sebagai kesatuan aspirasi rakyat yang bergerak apabila ada kekuatan yang menghalangi mereka, tanpa peduli itu satu kelompok tertentu atau bahkan pemerintah.

Akan tetapi, apakah benar di era modern ini people power benar-benar kekuatan rakyat? Atau jangan-jangan istilah itu hanyalah istilah halus yang digunakan untuk memperlembut sebuah fenomena politik?

image 68

People Power Bukan Milik Rakyat?

Sebagai sebuah negara demokrasi, pemerintahan Indonesia tentu harus disesuaikan dengan kehendak rakyatnya. Jika hal itu bisa dijalankan secara efektif, maka good governance atau pemerintahan yang baik akan tercapai.

Terkait pemerintahan yang baik, Aristoteles dalam bukunya Politics menjelaskan ada tiga bentuk pemerintahan yang “bagus”, yaitu monarki, aristokrasi, dan demokrasi. Tetapi, tiga bentuk pemerintahan ini dibayang-bayangi oleh bentuk pemerintahan yang “terburuk”, yakni tirani, oligarki, dan mobokrasi.

Baca juga :  The War of Java: Rambo vs Sambo?

Menariknya, kalau kita coba pahami bersama, people power sebenarnya sangat berkaitan dengan salah satu pemerintahan yang buruk menurut Aristoteles, yakni mobokrasi.

Mobokrasi berasal dari kata “mob” yang artinya adalah “massa”, atau gerombolan orang-orang yang tidak teratur.

Sederhananya, mobokrasi bisa diartikan sebagai pemerintahan yang diselenggarakan dan dilaksanakan oleh massa atau segerombolan orang yang tidak teratur dan digerakkan berdasarkan rasa amarah semata.

Oleh karena itu, alih-alih menjadi solusi, mobokrasi justru bisa saja malah akan menimbulkan efek kekacauan karena mengandaikan pembagian kekuasaan yang merata, namun tidak terkontrol dan tanpa arah.

Dan kalau kita mau gali lebih dalam lagi, persoalan people power ini tidak hanya terkait mobokrasi, tetapi juga konsep opini publik itu sendiri di era informasi.

Seperti yang pernah ditulis dalam artikel PinterPolitik yang berjudul GoTo Bisa Kendalikan Pemilu 2024?, dengan adanya teknologi canggih seperti big data, saat ini kita perlu terus mempertanyakan setiap preferensi politik yang populer, karena bisa jadi opini tersebut sebenarnya adalah opini artifisial yang dibuat oleh para pemain politik yang memiliki akses ke kekuatan teknologi.

Dalam kata lain, apa yang kita anggap sebagai people power, mungkin saja sebenarnya itu adalah sebuah gerakan yang memang didesain sedemikian rupa oleh para kompetitor politik yang sedang merasa dirugikan. Pada akhirnya, gerombolan massa yang terkelabui oleh kohesitas people power tidak lain hanya menjadi bidak dari pemain politik lainnya.

Fenomena seperti ini sebenarnya sudah mulai diprediksi oleh para pengamat, dengan memberinya istilah tech-dystopia atau distopia teknologi. Jonathan Zittrain, profesor hukum sekaligus ilmu komputer di Universitas Harvard dalam artikel wawancara Are We Already Living in a Tech Dystopia?, mengatakan saat ini yang terjadi adalah perkembangan teknologi yang seharusnya memperbaiki kesalahan umat manusia, justru telah bertransformasi menjadi senjata yang digunakan untuk “menundukkan” kita.

Baca juga :  Prabowo, the Game-master President?

Ketika disisipkan kepentingan politik, media massa modern akan sangat merusak tatanan kebebasan masyarakat dengan cara yang sangat sadis, yakni tidak membuat mereka tahu bahwa mereka saat ini telah jadi korban pembelokkan narasi.

Akan tetapi, tentu semua ini hanyalah interpretasi dan dugaan-dugaan belaka. Yang jelas, saat ini kemajuan teknologi dan politik sudah semakin mendalam dan kita perlu berpikir berulang-ulang kali sebelum mengatakan atau melakukan sebuah aksi yang mengatasnamakan kepentingan rakyat. (D74)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

Prabowo, Kunci Kembalinya Negara Hadir?

Dalam kunjungan kenegaraan Prabowo ke Tiongkok, sejumlah konglomerat besar ikut serta dalam rombongan. Mungkinkah negara kini kembali hadir?

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

More Stories

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?