HomeCelotehMegawati Bukan Elite Politik Biasa?

Megawati Bukan Elite Politik Biasa?

“Jika Ganjar dipilih maju sebagai capres PDIP, maka dilemanya terdapat di cawapresnya karena mustahil Prabowo yang menjadi cawapres” – Fitri Hari, Peneliti LSI Denny JA


PinterPolitik.com

Siapa yang dalam hidupnya tidak pernah dirundung dilema? Dilema selalu hadir mewarnai kehidupan kita, mulai dari dilema memilih makan hingga memilih pasangan hidup.

Nah, rupanya dilema juga menghantui dunia politik loh. Hal ini diungkapkan oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI Denny JA) yang menyebut Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri tengah menghadapi dilema pencalonan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.

LSI Denny JA membagi dilema Mega dalam tiga skema. Pertama, Mega dianggap dilema jika berkoalisi dengan Gerindra karena sulit memilih siapa calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang sesuai.

Mega dinilai enggan menjadikan Puan ataupun Ganjar sebagai cawapres Prabowo. Ada kemungkinan pilihan lain, yaitu untuk meninggalkan Prabowo dan mengusung kadernya sendiri sebagai capres.

Skema kedua adalah jika Mega akhirnya menyerahkan Puan sebagai cawapres untuk Prabowo, maka besar potensi bagi Ganjar akan dipinang oleh partai lain sebagai capres.

Dan untuk skema dilema ketiga, yaitu jika menyerahkan Ganjar sebagai cawapres bagi Prabowo, bukankah elektabilitas Ganjar lebih tinggi dan PDIP hari ini lebih besar dibanding Gerindra.

Kenapa pilihannya skema dilema selalu PDIP sebagai cawapres? Tentu, hal ini tidak lepas dari komitmen Gerindra yang sudah menegaskan mengusung Prabowo sebagai capres.

image 49
Awal Mula Keretakan Ganjar-PDIP

Anyway, soal skema dilema, muncul pertanyaan lanjutan. Apakah Mega dengan pengalamannya yang panjang di dunia politik Indonesia sulit untuk keluar dari jebakan-jebakan dilema seperti ini?

Kristin Samah dalam bukunya Megawati Dalam Catatan Wartawan: Menangis Dan Tertawa Bersama Rakyat menceritakan bagaimana Mega berhasil buktikan kemampuannya di tengah sinisme lawan politik yang tidak menyukainya.

Baca juga :  Selinap "Merah" di Kabinet Prabowo?

Perjalanan sejarah membuktikan bahwa Megawati mampu menjawab keraguan terhadap pandangan miring itu. Ia tak hanya memiliki semangat perjuangan yang diwariskan ayahnya, Megawati juga mampu membaca bahasa rakyat.

Melihat kemampuan Mega haruslah dilihat sebagai seorang elite politik yang tidak hanya punya pengalaman, melainkan juga otentisitas kemampuan “politik perempuan” yang secara alami melekat dalam dirinya.

Carol Gilligan dalam bukunya Dalam Suara Yang Lain menjelaskan konsep otentisitas politik perempuan sebagai alternatif melihat kemampuan perempuan tanpa ada bias gender.

Gilligan melihat budaya patriarki yang melahirkan konsep gender berikut tali-temalinya telah menyebabkan pandangan bias gender yang, selain mengakibatkan ketidakadilan, juga telah menyebabkan kurang akuratnya ilmu-ilmu kemanusiaan.

Gilligan melihat perempuan tidak seharusnya menerima keadaan begitu saja sehingga kemampuan otentitas yang dimilikinya itu bisa muncul.

Prinsip etika semacam ini mirip dengan konsep virtue yang dikemukakan oleh filsuf Niccolo Machiavelli. Virtue menggambarkan pada kualitas-kualitas utama seorang pemimpin dalam mencapai kegemilangan dengan melepaskan ketergantungan pada pihak lain.

Konsep ini berbeda dengan fortune yang berarti nasib baik. Fortune adalah dimensi yang selalu mengelilingi dan menentukan arah hidup kita. Alih-alih menerima nasib ketika di tekan atau disudutkan, Mega pasti punya cara untuk membalikkan keadaan.

By the way, soal kemampuan perempuan untuk membalikkan keadaan, jadi ingat ungkapan Erick F. Gray, seorang penulis buku Nasty Girls kelahiran New York, Amerika Serikat (AS). 

Gray menyebut, “Whatever you give a woman, she will make greater.Kurang lebih, artinya dalam Bahasa Indonesia berbunyi, “Apapun yang kau berikan kepada perempuan, dia akan membuatnya lebih besar.

Kutipan di atas terasa mengagetkan tidak hanya bagi kaum laki-laki tetapi juga kaum perempuan sendiri yang tak pernah berpikir bahwa mereka selalu membalas apa yang diberikan laki-laki dengan balasan yang lebih besar. 

Baca juga :  Effendi Simbolon: Membelah Laut “Merah”?

Hmm, kalau skema dilema yang dinyatakan LSI itu terjadi pada tahun 1980-an, mungkin akan membuat Mega benar-benar ragu memilih sikap politik. Namun, Mega yang dulu bukan-lah Mega yang sekarang. Hehehe. (I76)


Ini Yang Terjadi Jika Megawati Tidak Jadi Presiden
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

#Trending Article

More Stories

Ganjar Punya Pasukan Spartan?

“Kenapa nama Spartan? Kita pakai karena kata Spartan lebih bertenaga daripada relawan, tak kenal henti pada loyalitas pada kesetiaan, yakin penuh percaya diri,” –...

Eks-Gerindra Pakai Siasat Mourinho?

“Nah, apa jadinya kalau Gerindra masuk sebagai penentu kebijakan. Sedang jiwa saya yang bagian dari masyarakat selalu bersuara apa yang jadi masalah di masyarakat,”...

PDIP Setengah Hati Maafkan PSI?

“Sudah pasti diterima karena kita sebagai sesama anak bangsa tentu latihan pertama, berterima kasih, latihan kedua, meminta maaf. Kalau itu dilaksanakan, ya pasti oke,”...