Prabowo Subianto beberapa waktu lalu membuat sebuah utas di Twitter mengenai kisah dua shogun Jepang bernama Hideyoshi Toyotomi dan Ieyasu Tokugawa. Apakah politikus yang kini menjabat sebagai Menteri Pertahanan (Menhan) adalah tipe calon presiden (capres) pendongeng?
“Pessimism is a losing strategy. Leadership demands both confidence and optimism in abundance.” – Hideyoshi Toyotomi, Daimyō (1537-1598)
Nobunaga Oda, Ieyasu Tokugawa, dan Hideyoshi Toyotomi mungkin adalah beberapa nama yang bakal muncul bila kita bermain gim-gim video dengan judul Samurai Warriors, Kessen, Nioh, atau Sengoku Basara. Sebagian besar dari gim tersebut berpusat pada kisah-kisah perang yang terjadi di Jepang pada periode zaman Sengoku.
Zaman Sengoku (1467-1615) sendiri merupakan periodisasi sejarah Jepang ketika banyak pemimpin-pemimpin lokal (daimyō) saling berperang di antara satu sama lain di tengah kekosongan kekuasaan (power vacuum) akibat runtuhnya Keshogunan Ashikaga akibat Perang Ōnin pada tahun 1467-1477.
Beberapa klan daimyō besar yang saling berperang kala itu adalah Oda, Takeda, Uesugi, Date, Tokugawa, Mori, Azai, Asakura, Shimazu, dan lain-lain. Jepang bagian tengah yang pada akhir dekade 1500-an mulai didominasi oleh Oda akhirnya digantikan oleh Hideyoshi Toyotomi yang akhirnya kemudian harus berhadapan dengan Ieyasu Tokugawa.
Nah, mungkin, kisah sejarah periode Sengoku ini menginspirasi Prabowo Subianto, Ketua Umum (Ketum) Partai Gerindra yang kini menjabat sebagai Menteri Pertahanan (Menhan). Bagaimana tidak? Prabowo beberapa waktu lalu mencuitkan sebuah utas kisah pertemuan Toyotomi dan Tokugawa.
Dalam utas itu, Ketum Gerindra tersebut mengatakan bahwa Toyotomi dan Tokugawa sebagai dua shogun besar sudah siap untuk saling berperang. Namun, Toyotomi dan Tokugawa akhirnya berdialog terlebih dahulu.
Ketiga berdialog dan berbicara dengan satu sama lain, mereka pun akhirnya berdiskusi. Toyotomi mengatakan kepada Tokugawa bahwa kedua belah pihak sama-sama siap tetapi korban akan banyak berjatuhan ketika salah satu dari mereka telah memenangkan perang.
Berpikir dua kali, Toyotomi dan Tokugawa akhirnya bersepakat untuk tidak bertempur di medan perang kala itu dan memutuskan untuk berdamai. Kisah ini pun membuat Prabowo mencuitkan satu kalimat menarik yang berbunyi, “Seorang pendekar mampu mengalahkan perasaan pribadinya demi merawat persatuan kesatuan bangsa dan rakyatnya.”
Menanggapi utas Prabowo tersebut, Aaron Connelly dari International Institute for Strategic Studies mengatakan bahwa kisah yang dijabarkan oleh sang Menhan jelas merupakan sebuah alegori terhadap rekonsiliasi antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo pada tahun 2019 silam dengan adanya polarisasi politik dalam pemilihan umum (Pemilu) dan pemilihan presiden (Pilpres).
Namun, bisa jadi, kisah alegoris yang diceritakan oleh Prabowo ini menimbulkan sejumlah tanya. Mengapa Prabowo akhirnya semacam mengulang kisah tersebut? Sebenarnya, apa yang ingin disampaikan oleh Ketum Gerindra yang juga bakal maju sebagai calon presiden (capres) pada tahun 2024 mendatang tersebut?
Prabowo Suka Berdongeng?
Boleh jadi, alasan Prabowo menceritakan kisah Toyotomi vs Tokugawa adalah hanya karena sang Ketum Gerindra suka berdongeng. Namun, tentunya, sebagai seorang politikus besar, kisah-kisah yang didongengkan oleh Prabowo memiliki pengaruh pada masyarakat.
Pasalnya, tidak dapat dipungkiri bahwa kisah memiliki kekuatan tersendiri bagi banyak orang. Ada anggapan bahwa cerita (stories) bisa menggerakkan banyak orang pada ideologi atau tujuan tertentu.
Serial yang berjudul La Casa de Papel (2017-2021) atau Money Heist dalam Bahasa Inggris, misalnya, merupakan salah satu serial yang populer di banyak negara. Alurnya pun juga sejalan dengan perjuangan terhadap kemapanan (establishment) – menginspirasi banyak demonstran di berbagai negara.
Mengapa cerita dan kisah bisa menggerakkan banyak orang? Mengacu pada tulisan Linus Hagström dan Karl Gustafsson yang berjudul Narrative Power, narasi seperti kisah dan cerita menjadi bagian dari politik.
Dalam politik internasional, misalnya, narasi perjuangan melawan ketidakadilan menjadi salah satu cara Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) untuk merekrut simpatisan dan pejuang asing (foreign fighters).
Selain ISIS, narasi kejayaan di masa lampau juga digunakan oleh pemerintah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) untuk kembali menjadi negara adidaya. Identitas Tiongkok sebagai Kerajaan Tengah (Middle Kingdom) menjadi dasar yang membangun semangat kebangkitan Tiongkok di panggung politik internasional.
Contoh-contoh kisah inilah yang akhirnya menunjukkan bagaimana storytelling memiliki pengaruh yang besar bagi banyak orang. Orang-orang dapat merasa relatable dengan karakter-karakter dalam kisah yang disajikan.
Upaya Prabowo untuk membuat orang lebih relatable dengan sosoknya pun tidak hanya kali ini saja dilakukan di akun media sosialnya. Dalam banyak kesempatan dan pidato, sang Menhan kerap menggunakan cerita untuk menyampaikan pesan-pesannya.
Cara-cara storytelling pun dilakukan oleh Prabowo saat masih menjadi capres pada tahun 2019 – tepatnya ketika bertemu dengan komunitas kesehatan di Hotel Bidakara, Jakarta. Kala itu, Prabowo bahkan bercerita bahwa dirinya kerap menjadi emosional bila berbicara soal kesehatan – mengingat ibunya juga merupakan seorang perawat.
Bila benar Prabowo suka berdongeng, pertanyaan lanjutan pun kemudian muncul. Mungkinkah storytelling merupakan strategi politik ala Prabowo? Mengapa bercerita dan berdongeng bisa menjadi salah satu taktik yang menjanjikan bagi Prabowo?
Inilah Dongeng tentang Prabowo
Di sini, tentunya, kisah atau cerita yang dibagikan oleh Prabowo bisa saja bersifat strategis. Namun, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yakni unsur-unsur yang ada dalam cerita itu sendiri.
Dalam hal ini kita mengacu pada konsep hero’s journey (petualangan sang pahlawan) dari Joseph Campbell, seorang profesor sastra di Sarah Lawrence College. Hero’s journey merupakan sebuah pola (template) cerita yang melibatkan seorang hero (pahlwan) yang mengarungi sebuah perjalanan untuk mencapai tujuan ‘kemenangan’.
Dalam perjalanannya tersebut, hero tidak serta merta memiliki kekuatan absolut yang akhirnya bisa mencapai tujuannya dengan mudah. Ada perjuangan (struggle) yang harus dilalui – misal kehadiran seorang musuh atau lawan (villain).
Pola cerita ini sering kita dijumpai di banyak kisah – mulai dari cerita pendek (cerpen), novel, hingga film. Dalam serial Game of Thrones (GoT) (2011-2019), misalnya, ada seorang heroine bernama Daenerys “Dany” Targaryen yang harus menghadapi para majikan guna membebaskan para budak dari cengkeraman roda ketidakadilan.
Dalam perjuangannya, Dany akhirnya mampu menginspirasi banyak mantan budak agar berjuang untuknya. Disebut sebagai the Breaker of Chains (Sang Pemutus Rantai), Dany akhirnya membebaskan banyak kota dari perbudakan.
Apa yang dilakukan Dany pun sebenarnya merupakan sebuah strategi politik. Zeno E. Franco dan rekan-rekannya dalam tulisan berjudul Heroism Research: A Review of Theories, Methods, Challenges, and Trends menjelaskan bahwa kemunculan satu sosok hero menjadikan cerita menjadi berkekuatan besar (powerful) – menjadi pengingat pada banyak orang bahwa kita semua bisa tetap melawan kejahatan tanpa harus menyerah kepada hawa nafsu dan kondisi.
Kehadiran Prabowo sebagai hero yang memikirkan nasib masyarakat dalam alegori Toyotomi-Tokugawa yang disebutkan di atas bisa jadi salah satu contohnya. Prabowo ingin tampil sebagai hero yang melawan struggle-nya – berupa keinginan berkuasa – untuk mencapai tujuan lebih besar, yakni perdamaian.
Dalam kampanye politik, pola storytelling yang menghadirkan hero’s journey seperti ini pun bisa digunakan. Salah satu politikus yang menggunakannya adalah George W. Bush yang menjabat sebagai presiden ke-43 Amerika Serikat (AS) pada tahun 2001-2009.
Dalam sebuah video di New York Times, Mark McKinnon yang merupakan manajer kampanye Bush menjelaskan bagaimana sang presiden AS menggunakan strategi-strategi naratif untuk memenangkan Pilpres. Mereka membuat hal-hal kompleks menjadi sederhana melalui kisah-kisah yang mudah dipahami yang mana melibatkan karakter-karakter seperti heroes dan villains.
Bagi Prabowo, hal ini juga bukanlah hal yang baru. Dalam pilpres-pilpres sebelumnya, Prabowo juga kerap memosisikan diri sebagai pihak yang berani melawan para elite politik yang dianggap merugikan bangsa dan negara sendiri.
Bukan tidak mungkin, dongeng-dongeng baru juga bakal muncul dari Prabowo – apalagi bila sang Ketum Gerindra benar-benar maju sebagai capres pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 mendatang. Mungkinkah Prabowo menjadi “pahlawan” yang kita tunggu-tunggu? Menarik untuk kita ikuti perjalanan sang “hero” ke depannya. (A43)