“Saya di dalam sana. Jadi saya tahu perilakunya satu-satu. Kalau Anda bilang ada dua faksi sih tidak, berfaksi-faksi. Ada kelompok yang tiga periode, ada kelompok nyari duit dengan nyari event. Wah, macam-macam lah,” – Immanuel Ebenezer, Ketua Relawan Jokowi Mania (Joman)
Siapa sangka, selain partai politik, rupanya relawan seorang kandidat juga punya daya tawar di atas panggung politik. Di Amerika Serikat (AS), aktivitas relawan ini udah berlangsung begitu lama. Sampai-sampai, gerakan mereka ini diistilahkan dengan Political Action Committee (PAC).
Michael Levy dalam tulisannya Political Action Committee (PAC) menguraikan kalau PAC sejatinya bertujuan untuk memobilisasi pengumpulan dana kampanye seorang kandidat yang sedang bertarung dalam pemilu untuk meriah sebuah jabatan politik.
Umumnya, PAC ini dibentuk oleh perusahaan, serikat pekerja, asosiasi perdagangan, atau organisasi atau individu lain untuk menyalurkan kontribusi sukarela yang mereka kumpulkan kepada kandidat.
Persoalannya, PAC atau relawan di AS selalu melakukan aktivitasnya secara terbuka dan punya pertanggungjawaban sosial dan finansial yang jelas. Namun, di Indonesia, gerakan relawan ini malah terlihat bergerak malu-malu.
Dalam konteks politik Indonesia, relawan pendukung Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhir-akhir ini mendapat banyak atensi warganet. Terlihat sering kali sesama relawan berbeda pendapat dan beradu argumen meski mereka sama-sama pendukung Jokowi.
Merespons hal tersebut, Ketua Relawan Jokowi Mania (Joman) Immanuel Ebenezer menyebut relawan Jokowi terbelah ke dalam tiga faksi. Pertama adalah faksi yang fokusnya pada pembuatan event untuk mencari uang.
Kedua adalah faksi yang selalu mendorong agar wacana masa jabatan presiden tiga periode selalu didengungkan. Dan, ketiga, terdapat faksi yang berisi orang-orang yang juga mendukung perpanjang masa jabatan dan mencari kursi di pemerintahan Jokowi.
Mungkin, ketiga hal ini juga yang menjadi dasar pertimbangan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristianto yang menyayangkan tindakan relawan Jokowi akhir-akhir ini yang dianggap hanya memanfaatkan kebaikan Jokowi.
Anyway, historiografi politik mencatat gerakan volunteer (relawan) pertama kali digalakkan pada tahun 1755 oleh M. Fr Voluntaire yang saat itu memberi pelayanan kepada tentara yang sedang berperang.
Istilah relawan juga diambil dari bahasa Jerman, yaitu “aktivismus” yang muncul pada akhir Perang Dunia I. Kata ini lemudian digunakan untuk menandai prinsip keterlibatan politik secara aktif oleh kaum intelektual.
Biasanya, aktivismus dihubungkan dengan Kurt Hiller, pengarah organisasi Neuer Club yang menaungi para penyair ekspresionis awal, maupun Franz Pfemfert, pendiri majalah Die Aktion pada tahun 1911 yang sangat politis.
Dalam berbagai pengertian itu, kelompok militan terhadap seorang kandidat maupun aktivismus akhirnya dapat dikatakan sebagai bagian dari volunteer.
Kembali ke konteks Indonesia, fenomena relawan atau volunterisme dalam kontestasi elektoral menjadi kajian politik yang menarik untuk dikaji secara lebih mendalam.
Sebab, peran relawan menjadi begitu besar dalam membangun basis dukungan untuk memenangkan kandidat yang diusung.
Peran semacam ini tidak dapat dianggap remeh di tengah krisis kepercayaan kepada partai politik yang semakin hari semakin kehilangan legitimasi politiknya. Dan, pada akhirnya, relawan-lah yang muncul sebagai kekuatan baru yang mampu menjangkau sektor-sektor yang tidak mampu dijangkau partai politik – seperti floating mass, pemilih pemula, dan para pemilih apatis.
Maka dari itu, kehadiran relawan politik menjadi pemicu meningkatnya partisipasi aktif masyarakat dalam demokrasi elektoral. Kebangkitan gerakan relawan juga turut mentransformasi nilai-nilai politis yang bernuansa patrimonial dan oligarkis menjadi lebih partisipatoris.
Konsep semacam ini sejalan dengan konsep budaya politik partisipan yang diterangkan oleh Gabriel Almond dan Sidney Verba dalam bukunya The Civic Culture.
Dalam buku itu, dituliskan bahwa budaya politik dibagi menjadi tiga, yaitu budaya politik parokial, budaya politik kaula (subyek), dan budaya politik partisipan. Nah, relawan mampu membuat perubahan budaya politik di Indonesia.
Hmm, jadi akan sangat disayangkan, jika relawan yang punya kontribusi besar bagi pembangunan budaya politik yang lebih baik bagi demokrasi Indonesia ini malah tersungkur oleh segelintir orang yang ingin mendapatkan keuntungan.
Sampai-sampai, tidak berlebihan untuk mengatakan kalau ada “udang” di balik segala aktivitas relawan-relawan Jokowi, seperti yang diungkapkan Ebenezer di atas.
By the way, “tingkah” relawan semacam ini pernah loh diramalkan oleh Meggy Z melalui lagunya yang berjudul “Sakit Gigi”. Seperti syairnya sebagai berikut:
Putus lagi cintaku
Putus lagi jalinan kasih
Sayangku dengannya
Cuma karena rupiah
Lalu engkau berpaling muka
Tak mau menatap lagi
…
Daripada sakit hati
Lebih baik sakit gigi ini
Biar, tak mengapa
Rela, rela, rela, aku relakan
Rela, rela, rela, aku rela
Tuh kan, Bang Meggy Z aja bilang “cuma karena rupiah, lalu engkau berpaling muka.” Jadi, benar nih persoalan “rupiah” begitu sensitif. Oh, iya, pada syair terakhir malah lebih jelas, kalau ini lagu “rela, rela, rela, aku rela(wan)”. Upppsss. Hehehe. (I76)