Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Yudo Margono ditunjuk Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai Panglima TNI untuk menggantikan Jenderal Andika Perkasa. Menjabat hingga akhir 2023 nanti, Laksamana Yudo agaknya kembali menjadi penggugur mitos yang beredar bahwa TNI-1 harus dipimpin oleh matra darat di tengah rangkaian tahun politik. Benarkah demikian?
PinterPolitik.com
Awan cerah seolah melingkupi Markas Besar TNI Angkatan Laut di Cilangkap, Jakarta Timur begitu Laksamana Yudo Margono resmi ditunjuk Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai Panglima TNI suksesor Jenderal Andika Perkasa.
Kondisi itu berbanding terbalik dengan apa yang terjadi setahun lalu saat Laksamana Yudo urung ditunjuk RI-1 sebagai penerus Marsekal Hadi Tjahjanto meski disebut sebagai sosok paling ideal.
Saat itu, sebagaimana dilansir dari Tempo, orang dekat Laksamana Yudo bercerita para perwira tinggi Angkatan Laut tak berkenan membicarakan rotasi panglima.
Kendati demikian, Laksamana Yudo kemudian memerintahkan semua prajurit matranya untuk tetap loyal dan menghormati keputusan Presiden Jokowi.
Perintah itu dikatakan terdengar hingga Istana dan Presiden Jokowi dikabarkan memberikan kredit spesial ketika itu, walaupun keputusan menunjuk Jenderal Andika sebagai Panglima TNI tetap tak berubah.
Kesabaran Laksamana Yudo seolah berbuah manis saat di dalam Surat Presiden (Surpres) yang dikirimkan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno ke DPR soal calon Panglima TNI ke-22 terpatri namanya.
Kemarin lusa, Ketua DPR Puan Maharani mengatakan parlemen akan menindaklanjuti Surpres itu dengan menugaskan Komisi Pertahanan untuk menjalankan mekanisme pergantian Panglima TNI. Salah satunya adalah menggelar uji kepatutan dan kelayakan alias fit and proper test.
Penunjukkan Laksamana Yudo sebagai Panglima TNI sendiri sebenarnya bukan hal yang sederhana. Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Dudung Abdurachman disebut memiliki peluang serupa dengan Laksamana Yudo karena sama-sama memiliki masa pensiun serupa plus memiliki kelebihan tersendiri. Apakah itu?
Sebuah analisis dari Lab 45 pada Juni 2021 yang kala itu diprakarsai oleh Andi Widjajanto menyebut Panglima TNI dari matra darat dibutuhkan untuk mengawal stabilitas keamanan dan pertahanan negara jelang tahun politik 2024.
Andi, yang saat ini menjabat Gubernur Lemhanas, menjelaskan jika ingin Pemilu 2024 berjalan mulus, maka Panglima TNI angkatan darat idealnya sudah dipilih pada Maret 2023 atau sebelum tahapan politik dimulai.
Selain itu, Jenderal Dudung juga dikenal cukup berani mengeksekusi langkah yang memiliki tendensi politis meski disebut dalam koridor menetralisir situasi. Salah satunya adalah melibatkan anggotanya untuk menurunkan baliho Habib Rizieq Shihab (HRS).
Lalu, benarkah hipotesis yang menyebut matra darat sesungguhnya lebih ideal untuk menjadi pilar inti pertahanan dan back up keamanan di rangkaian tahun politik 2024?
Jokowi Cukup Adil?
Penunjukkan sosok Panglima TNI agaknya tak hanya terkait matra mana yang lebih tepat, termasuk dalam hal spesifik seperti korelasi dengan tahun politik.
Di titik ini, Presiden Jokowi kemungkinan lebih mempertimbangkan aspek fairness atau keadilan sebagaimana dijelaskan John Rawls dalam publikasinya yang berjudul Theory of Justice.
Rawls menjelaskan, demi menciptakan kondisi yang memuaskan, diperlukan adanya skema kerja sama dengan pembagian sama rata. Kerja sama itu sendiri wajib melibatkan semua pihak.
Masih mengacu pada konsep Rawls, Andi Tarigan dalam Tumpuan Keadilan Rawls mengemukakan salah satu kategori fairness, yakni keadilan distributif yang mana membicarakan mekanisme atau prosedur pembagian sesuatu secara proporsional, termasuk yang intangible seperti otoritas.
Selain itu, Presiden Jokowi yang dikenal memegang teguh filosofi politik Jawa agaknya hampir dapat dipastikan memahami filosofi kepemimpinan Hasthabrata yang mana di dalamnya menekankan pentingnya asas keadilan.
Terlebih, seperti yang disebutkan sebelumnya, Presiden Jokowi telah mendengar riak kekecewaan internal matra laut saat lebih memilih Jenderal Andika pada 2021 lalu sebagai Panglima TNI.
Kabar mengenai gestur Laksamana Yudo yang menenangkan jajarannya dan diterima Presiden Jokowi ketika itu agaknya menjadi variabel positif lain yang memengaruhi penilaian komprehensifnya terhadap suksesor Jenderal Andika.
Di sisi lain, dalam proses penilaian Presiden Jokowi terhadap calon Panglima TNI di tahun 2023, sayangnya, Jenderal Dudung terlalu agresif dalam merespons sentilan dari anggota DPR Fraksi PDIP Effendi Simbolon.
Itu pula yang kemungkinan besar menjadi variabel lain di samping aspek fairness rotasi matra sebagaimana yang memang semestinya ditunjukkan Presiden Jokowi.
Kembali kepada konteks kepemimpinan matra darat di tahun politik dan dengan masa jabatan Laksamana Yudo yang hanya sampai November 2023, apakah Panglima TNI berikutnya yang berasal dari AD memang dipersiapkan di periode memanasnya persaingan politik 2024 sesuai dengan telaah Andi Widjajanto?
Hanya Mitos?
Dalam publikasi berjudul Tilik Data: Proyeksi Panglima TNI 2024, Andi Widjajanto dan Iis Gindarsah menyebut matra darat lebih ideal untuk memimpin di tahun politik dikarenakan lebih memiliki kendali terhadap Komando Utama (Kotama) kewilayahan yang diperlukan untuk memelihara stabilitas politik.
Analisis tersebut memang memiliki persentase relevansi tersendiri. Akan tetapi, kepemimpinan militer Indonesia pasca Reformasi kiranya telah menunjukkan bantahan terhadap postulat Andi dan Iis itu.
Ya, urgensi kepemimpinan TNI yang harus berasal matra darat saat rangkaian tahun politik telah dipatahkan di era Marsekal Hadi Tjahjanto saat berhasil menjadi support kekondusifan Pemilu dan Pilpres 2019.
Tak hanya itu, sebagai institusi yang berlandaskan kultur rantai komando, perintah Panglima TNI dari matra manapun dapat dipastikan akan dipatuhi oleh seluruh matra. Tidak hanya dalam tugas, pokok, dan fungsi (tupoksi) inti saja, tetapi para prajurit tentu akan patuh atas perintah untuk membantu pengamanan dan menciptakan stabilitas negara di proses kontestasi elektoral.
Lalu, beberapa bantahan bahwa matra tertentu lebih ideal mengawal tahun politik juga muncul dari beberapa pihak.
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai NasDem Hillary Brigitta Lasut, misalnya, yang menilai asumsi keharusan matra darat memimpin di tahun politik salah kaprah. Hillary sendiri berangkat dari analisis tugas pokok Panglima TNI itu sendiri yang bukan untuk mengamankan pesta demokrasi.
Dia merujuk pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 66 Tahun 2019 tentang Susunan Organisasi Tentara Nasional Indonesia, tepatnya di pasal 14.
Dari beleid yang disepakati, tugas utama Panglima TNI di antaranya berkutat pada melaksanakan kebijakan pertahanan negara, menyelenggarakan operasi dan strategi militer, serta memberikan pertimbangan pada Menteri Pertahanan (Menhan) dalam menyusun rencana strategis.
Oleh karena itu, postulat urgensi matra darat untuk memimpin TNI di rangkaian tahun politik kiranya hanya sebatas mitos belaka.
Jika memang kepemimpinan TNI dibutuhkan dalam aspek koordinasi teritorial dan kewilayahan di rangkaian tahun politik, pengganti Laksamana Yudo pada akhir 2023 nanti yang kemungkinan besar berasal dari matra darat tentu dapat mengisi “urgensi” itu.
Yang jelas, terlepas dari rotasi antarmatra, esensi kepemimpinan TNI saat ini agaknya lebih kepada mengimplementasikan gagasan untuk memperbaiki institusi. Ihwal yang selama ini tengah digalakkan oleh Menhan Prabowo Subianto.
Pun dengan konteks integritas. Wewenang Presiden Jokowi untuk menunjuk Panglima TNI, plus Kapolri, hendaknya juga digunakan untuk memastikan insitusi itu berada dalam track yang tepat dan tak melibatkan diri dalam ranah politik yang bisa merusak demokrasi. (J61)