HomeNalar PolitikBendung De-Soekarnoisasi, Jokowi Salah Kaprah?

Bendung De-Soekarnoisasi, Jokowi Salah Kaprah?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) tekankan pencabutan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (Tap MPRS) Nomor XXXIII/MPRS/1967 sekaligus menegaskan Soekarno sebagai pahlawan nasional. Namun, bagaimana validasi atas pencabutan Tap MPRS tersebut? Mungkinkah pernyataan Jokowi hanya upaya untuk menghilangkan de-Soekarnoisasi?


PinterPolitik.com

Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum lama ini memberikan penekanan atas pencabutan ​​Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (Tap MPRS) Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Soekarno.

Ketetapan itu sendiri menyiratkan bahwa Presiden Soekarno telah berkhianat kepada negara dengan melindungi tokoh-tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI).

Perihal pernyataan tersebut, Jokowi menekankan bahwa Tap MPRS itu tidak membutuhkan tindakan hukum lebih lanjut. Menurutnya pencabutan Tap MPRS itu telah dilakukan pada tahun 2003 sebagaimana diatur dalam Tap MPR nomor 1/MPR/2003 yang menyebut bahwa TAP MPRS Nomor 33/MPRS/1967 sebagai kelompok Ketetapan MPRS yang dinyatakan tidak berlaku lagi dan tidak memerlukan tindakan hukum lebih lanjut.

Jokowi juga menegaskan Soekarno merupakan pahlawan sekaligus proklamator negara sehingga bukan merupakan pengkhianat negara. Gelar pahlawan sebagai proklamator pun telah disematkan pada tahun 1986.

Pemerintah juga telah menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada Soekarno pada tahun 2012.

Pernyataan Jokowi itu kemudian disambut baik oleh putra Presiden ke-1 RI itu, yakni Guntur Soekarnoputra. Dirinya menilai pernyataan Jokowi mampu meredam gerakan de-Soekarnoisasi yang semakin berkembang di Indonesia.

Lantas, mengapa gerakan de-Soekarnoisasi terus berkembang di Indonesia meski peristiwa G30S PKI bahkan telah berlalu lebih dari setengah abad lamanya?

image 80

Doktrin De-Soekarnoisasi

Salah satu penyebab utama mengapa de-Soekarnoisasi terus berkembang kiranya berasal dari pengaruh pendidikan. Akibatnya, pelajaran yang ditelaah oleh para pelajar alias anak muda tampaknya sudah masuk pada ranah pendoktrinan.

Tak heran jika Megawati Soekarnoputri alias orang yang menduduki kursi nomor satu di partai penguasa sekaligus anak kandung Soekarno sempat mengusulkan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim untuk meluruskan sejarah yang berkaitan dengan Soekarno.

Doktrin de-Soekarnoisasi yang disisipkan sejak bangku sekolah dasar dinilai akan menciptakan perasaan takut maupun fobia kepada masyarakat akan munculnya gerakan separatis PKI yang mampu memecah bangsa.

Persoalan doktrinisasi dapat menjadi suatu bias dalam sejarah. Michael H. Romanowski dalam tulisannya yang berjudul Problems of Bias in History Textbooks mengungkapkan bahwa bahwa sejarah yang diceritakan melalui buku teks dan sebagainya sangat dipengaruhi oleh keyakinan politik, ideologis, dan moral – sekalipun keyakinan yang dipegang oleh “guru” – sang penulis.

Baca juga :  Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Pada umumnya, keyakinan tersebut mendukung pemahaman konvensional terkait apa yang patut dipuji, dicela atau bahkan disembunyikan dalam rentetan peristiwa sejarah tertentu.

Sehubungan dengan hal tersebut, sejarah dalam buku pendidikan selama ini cenderung memberikan narasi keberpihakan Soekarno terhadap PKI, terutama dirinya yang cenderung condong kepada negara-negara Blok Timur yang juga berpaham komunis.

Bahkan, ketika dirinya telah di-demonstrasi secara besar-besaran, Soekarno masih bersikeras untuk tidak membubarkan PKI dalam pidato pertanggungjawabannya yang berjudul “Nawaksara”. Namun pidato pertanggungjawaban itu ditolak oleh MPRS.

Setidaknya, terdapat tiga alasan mengapa Soekarno tidak mau membubarkan PKI. Menurutnya peristiwa G30S PKI sejatinya disebabkan oleh tiga aspek yakni pimpinan PKI yang menyesatkan, campur tangan intelijen pihak asing seperti CIA, dan adanya “oknum” yang tidak bertanggung jawab.

Kembali kepada pembahasan awal, layaknya peribahasa “nasi sudah menjadi bubur” alias suatu kejadian yang telah telanjur terjadi, apakah Tap MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Soekarno memang dapat dicabut setelah diterbitkan?

image 79

Bisakah Tap MPRS Dicabut?

Salah satu poin yang perlu di-highlight dalam pembahasan ini yakni suatu ketentuan bahwa presiden tidak memiliki kewenangan konstitusional dalam mencabut maupun menyatakan suatu Tap MPRS tidak berlaku lagi. Bahkan, Tap MPRS juga tidak dapat diujikan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA).

Pencabutan Tap MPRS itu kemudian turut diluruskan oleh Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (HNW). Menurutnya, instrumen hukum legendaris itu tidak dicabut, melainkan masih terus berlaku hingga saat ini.

HNW menyebut pernyataan Presiden Jokowi terhadap Tap MPR Nomor I/MPR/2003 yang disebut mencabut TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 kurang tepat. Hal ini didasari oleh tiga poin yang setidaknya dijelaskan pada hasil tinjauan TAP MPR Nomor I/MPR/2003 terhadap materi dan status hukum TAP MPR dan TAP MPRS sebelumnya dari tahun 1960 hingga tahun 2002 melalui beberapa kategori.

Pertama, Tap MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 yang disebut-sebut telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku melalui penetapan Tap MPR Nomor I/MPR/2003 dinyatakan tidak benar.

Kedua, Tap MPRS yang masih berlaku hingga saat ini yaitu Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 yang berkaitan dengan larangan PKI. Dengan demikian, larangan PKI masih menjadi salah satu penekanan pemerintah.

Terakhir, kategori yang perlu ditekankan oleh pemerintah yaitu kategori keenam dimana menjelaskan Tap MPRS yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut. Setidaknya ada tiga alasan antara lain bersifat einmalig alias norma yang berlaku sekali dan setelah itu selesai, telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan.

Baca juga :  Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Oleh karena itu, Tap MPRS Nomor XXXIIII/MPRS/1967 masuk ke dalam kategori keenam yang setara dengan 103 Tap MPRS lainnya. Dengan pencabutan mandat Presiden Soekarno dan pengangkatan Presiden Soeharto, peristiwa itu dianggap telah terjadi, lewat, dan berakhir sehingga dapat disimpulkan bahwa aturan itu bukan telah dicabut, melainkan bersifat ‘einmalig’ yang tidak memerlukan tindakan hukum lebih lanjut.

Lantas, mengapa Presiden Jokowi seolah memberi narasi yang seolah merujuk kepada upaya “bersih-bersih” nama tokoh besar yang kerap menjadi ciri khas andalan partai yang membesarkan namanya?

image 78

Impresi Politik PDIP?

Dalam strategi politik, terdapat suatu teori yang dinamakan dengan teori manajemen impresi politik. Teori tersebut diungkapkan oleh Christ’l De Landtsheer, Philippe De Vries, dan Dieter Vertessen dalam tulisannya yang berjudul Political Impression Management: How Metaphors, Sound Bites, Appearance Effectiveness, and Personality Traits Can Win Elections.

Setidaknya terdapat tiga aspek dalam manajemen impresi politik yakni kekuatan retorika politik melalui kutipan wawancara dan metafora yang sesuai dengan kondisi lingkungan, kesesuaian penampilan, dan profil politisi.

Khususnya pada poin profil politisi Soekarno kerap menjadi tokoh representasi PDIP. Bahkan, nama Soekarno berperan penting dalam memperkuat loyalitas partai tersebut.

Hal ini tidak terlepas dari identitas yang melekat pada Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri selaku politikus sekaligus anak dari Soekarno. Dirinya pun pernah menjabat sebagai presiden ke-5 Republik Indonesia.

Adapun, partai trah Soekarno ini juga diisi oleh anak dari Megawati itu sendiri yakni Puan Maharani yang saat ini menjabat sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).

Puan sendiri diprediksikan akan menjadi calon presiden (capres) pada pemilihan presiden (pilpres) tahun 2024 mendatang sehingga tak heran jika saat ini merupakan momentum yang tepat untuk “bersih-bersih” nama Soekarno yang juga bertepatan pada hari pahlawan.

Ini pun bisa jadi merupakan suatu upaya untuk meredam isu kudeta Megawati yang sempat berhembus dari pernyataan relawan Ganjar selaku kader PDIP yang juga kemungkinan akan dicalonkan sebagai capres pada pilpres mendatang.

Oleh karenanya, narasi de-Soekarnoisasi yang tumbuh dari doktrin pembelajaran selama ini tampaknya terus berkembang di masyarakat, sehingga Presiden Jokowi sebagai “tangan” partai kemungkinan merasa perlu memberi kontribusi untuk melakukan “bersih-bersih” nama Soekarno sebagai bagian dari manajemen impresi politik PDIP. (Z81)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Dengarkan artikel ini: Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut. Meski belum juga terjadi, banyak yang...

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Paspor Cepat Hanya Bisnis Imigrasi?

Permohonan paspor sehari jadi menuai respons negatif di jagat sosial media. Biaya yang dibutuhkan untuk mengakses pelayanan ini dinilai jauh lebih mahal ketimbang pelayanan...

Zelensky “Sulut” Perang di Asia?

Dampak perang Ukraina-Rusia mulai menyulut ketegangan di kawasan Asia, terutama dalam aspek pertahanan. Mampukah perang Ukraina-Rusia  memicu konflik di Asia? PinterPolitik.com Perang Ukraina-Rusia tampaknya belum memunculkan...

Bakar Al-Quran, Bukti Kemunafikan Barat?

Aksi pembakaran Al-Quran menuai berbagai sorotan, terutama kaum muslim di dunia. Kendati demikian, pemerintah Swedia menganggap aksi tersebut sebagai bentuk kebebasan berekspresi, namun secara...