Cross BorderSudah Saatnya G20 Dibubarkan?

Sudah Saatnya G20 Dibubarkan?

- Advertisement -

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 akan dilaksanakan pada 15-16 November 2022 di Bali. Meski banyak yang berharap baik, tidak sedikit juga yang mengkritisi keefektifan pertemuan para negara ekonomi terbesar di dunia ini. Bagaimana kita perlu memaknainya?


PinterPolitik.com

Pada tanggal 15-16 November 2022, Indonesia menjamu 20 pemimpin dari negara-negara perekonomian terbesar di dunia dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali. Dengan tagline optimistisnya, “Recover Together, Recover Stronger”, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan KTT ini diharapkan dapat menghadirkan kerja sama yang konkret yang dapat membantu dunia dalam pemulihan ekonomi global.

Meski memiliki tujuan yang begitu mulia, di sisi lain, KTT G20 tahun ini juga barangkali menjadi salah satu pertemuan multilateral yang paling kontroversial. Tentunya, tingginya antisipasi orang kepada KTT G20 disebabkan keadaan internasional saat ini.

Tidak dipungkiri, beberapa isu besar internasional dinilai akan menjadi “gajah dalam ruangan” di pertemuan tersebut, contohnya seperti Perang Rusia-Ukraina, inflasi yang mulai terjadi di sejumlah negara, dan, kalau kata Forbes, perang mikrocip antara Amerika Serikat (AS) dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang sepertinya baru saja dimulai. Yap, pertemuan ini syarat akan benturan kepentingan politik dan ekonomi para negara-negara besar.

Meski begitu, Jokowi beberapa kali menegaskan bahwa KTT yang katanya tidak akan dihadiri Presiden Rusia Vladimir Putin ini tidak akan menjadi pertemuan yang berkutat pada masalah-masalah politik internasional karena jiwa pertemuan-pertemuan G20 dimaksudkan untuk ekonomi dan pembangunan.

Well, tidak hanya Jokowi, beberapa pengamat politik juga berpandangan demikian. Pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno, misalnya, menyebutkan pertemuan G20 dibuat untuk kepentingan negara-negara di dunia, bukan hanya untuk kepentingan satu atau dua negara tertentu yang ‘perang dingin’, seperti AS dan Rusia.

Kalau melihat sejarah pendiriannya, forum internasional ini memang diciptakan untuk menjadi sesuatu yang dapat menciptakan konsensus dari para negara-negara ekonomi paling berpengaruh untuk mencegah adanya krisis dunia seperti ketika tahun 1997 dan 2008 terulang kembali. Akan tetapi, mengacu pada beberapa hasil pertemuan terakhir yang kerap kali tidak menghasilkan konsensus, tujuan besar itu sepertinya patut kita pertanyakan ulang.

Lantas, benarkah pertemuan yang akan dihadiri Jokowi, Joe Biden, dan Xi Jinping besok benar-benar bisa akan fokus terhadap isu ekonomi? Dan, bagaimana kita merefleksikan realitasnya terhadap keberadaan G20 yang seutuhnya?

image 75

G20 Ditakdirkan untuk Gagal?

Sebelumnya sudah disebutkan bahwa pertemuan-pertemuan G20 kerap kali tidak berhasil menghasilkan suatu konsensus. Dalam pandangan yang lebih luas, banyak bahkan yang berkesimpulan G20 tidak pernah benar-benar menghasilkan sesuatu yang begitu berdampak terkecuali pada pertemuan pada tahun 2008.

Well, anggapan seperti itu tampaknya tidak sepenuhnya salah, dalam pertemuan G20 yang terakhir di Roma, Italia, misalnya, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) António Guterres sendiri menyayangkan bagaimana ekspektasinya dalam pertemuan tersebut tidak bisa diwujudkan.

Kalau kita lihat penyebabnya, memang tampak ada beberapa syarat politik yang membuat pertemuan di Roma tidak berjalan sesuai harapan. Yves Tiberghien dalam tulisannya The good, the bad and the incongruous at the Rome G20 menyebutkan ada tiga alasan utama: pertama, absennya RRT, meski negara yang dipimpin Xi Jinping itu adalah aktor yang sangat penting dalam mengatasi pandemi Covid-19. Namun, sayangnya, RRT saat itu memiliki tensi politik yang begitu kuat dengan AS dan bahkan sentimen negatif akibat pandemi.

Baca juga :  PDIP and the Chocolate Party

Kedua, adanya friksi yang begitu kuat antara negara-negara maju, khususnya AS sebagai hegemon ekonomi, dengan negara-negara lain yang berharap begitu banyak pada kedermawanan AS untuk membantu mereka, spesifiknya dalam penanganan dampak pandemi. Ini kemudian jadi penilaian tersendiri terhadap keefektifan G20 secara keseluruhan, di mana kerap kali terjadi deadlock atau benturan antara permintaan dari negara maju dan negara berkembang.

Ketiga, tidak tercapainya perubahan positif perekonomian dunia dalam pertemuan G20 di Roma dan pertemuan-pertemuan G20 lain secara umumnya juga diakibatkan masing-masing negara anggota memiliki pertimbangan politik domestik sendiri yang sering kali dianggap akan merugikan mereka jika berkomitmen membantu dunia, bukannya fokus membangun perekonomian negara sendiri.

Pada akhirnya, tiga poin yang disampaikan Tiberghien tadi mengacu pada kesimpulan bahwa meski digadangkan sebagai sebuah forum yang serba ekonomi, kenyataannya G20 sering terhambat dengan kepentingan politik. Hal ini berkorelasi dengan teori neorealisme yang disampaikan pakar politik internasional, John Mearsheimer.

Mearsheimer berpandangan bahwa negara berdaulat selalu menjadi aktor utama dalam sistem internasional. Lembaga internasional, organisasi non-pemerintah, forum internasional, perusahaan multinasional, individu dan aktor sub-negara atau trans-negara lainnya dipandang memiliki pengaruh politik yang sangat kecil. Di samping itu, negara pada dasarnya akan bersikap agresif dan terobsesi dengan keamanannya sendiri, bahkan dalam forum internasional sekalipun.

Hal ini kemudian membuat pertemuan-pertemuan seperti G20 selalu tidak efektif karena konsensus yang dicari setiap negara adalah zero-sum game, di mana mereka akan menerima memberikan sesuatu jika keuntungan baginya benar-benar nyata.

Kelemahan ini menariknya juga disorot dalam pandangan neoliberalisme. Robert Keohane dalam tulisannya The Global Politics Paradigm: Guide to the Future or Only the Recent Past menyebutkan bahwa kerja sama antar negara dalam forum internasional akan sulit dicapai jika ketegangan antar negara masih ada, bahkan jika kerja sama tersebut bermanfaat bagi berbagai pemangku kepentingan yang terlibat.

Oleh karena itu, meskipun selalu disebutkan sebagai sebuah forum yang fokus membahas ekonomi dan mencoba mengesampingkan obrolan politik, kenyataannya intrik-intrik politik akan selalu tetap mempengaruhi pertemuan-pertemuan G20, baik secara langsung ataupun tidak. Dan selama hal itu masih belum bisa dipisahkan, maka sesuatu yang dapat berguna untuk kepentingan banyak tidak akan terjadi, apalagi jika sesuatu tersebut menuntut adanya pengorbanan dari suatu pihak, seperti biaya tambahan dari negara maju, misalnya.

Poin ini lalu membawa kita ke pertanyaan selanjutnya, yakni bagaimana kita melihat G20 di masa depan?

image 76

G20 Masih Berguna?

Ada satu poin menarik tentang G20 dari James McBride dan kawan-kawan dalam tulisan berjudul What Does the G20 Do?, di laman Council on Foreign Relations. Di dalamnya, mereka mengatakan bahwa meskipun terdapat sejumlah tantangan yang membuat G20 menjadi tidak efektif, ada satu hal yang membuatnya unik dibanding pertemuan-pertemuan internasional lainnya. Itu adalah fleksibilitas pertemuan.

Baca juga :  Haji Isam: Yury Kovalchuk-nya Prabowo?

Sudah menjadi rahasia umum bahwa mayoritas pertemuan di KTT G20 dilakukan di luar forum formal, bahkan sering kali pertemuan bilateral yang terjadi tidak membahas topik yang diangkat dalam G20, melainkan urusan-urusan antar negara. Dan seringnya, pertemuan informal tersebut ditentukan kemampuan personal seorang pemimpin untuk membuatnya menjadi sebuah keuntungan politik. Hal seperti ini adalah kekuatan G20, karena pertemuan serupa di forum-forum internasional lain umumnya tidak sefleksibel di G20.

Walau poin itu bisa kita kembangkan menjadi peluang konsensus antar negara yang saling berkonflik, kita tidak boleh menutup mata bahwa secara keseluruhan ini justru semakin memperkuat argumen yang menilai bahwa G20 hanyalah sebuah ilusi agar ada pertemuan politik eksklusif di antara negara-negara besar. Terlebih lagi keanggotaannya sangatlah terbatas, tidak seperti PBB.

Kekhawatiran ini juga disampaikan Hung Tran dalam tulisannya The G20 risks becoming a mini-UN. That’s a bad thing., yang menilai bahwa jika pola seperti itu tetap dipertahankan, maka besar kemungkinannya G20 hanya akan menjadi versi miniatur dari PBB, dan bahkan justru berpotensi lebih buruk darinya karena faktor eksklusivitas tadi.

Lebih kejamnya, Tram menyebut bahwa G20 sebenarnya hanyalah sebuah permainan nama untuk menutupi fakta bahwa di dalamnya sebuah keputusan politik sangat dipengaruhi AS dan kawan-kawannya. Karena itu, Tram mengatakan G20 sebenarnya adalah G7+13, yakni pertemuan tujuh negara ekonomi terbesar yang mengundang 13 negara lain untuk sekadar menjadi legitimator keputusan politik.

Dan yang lebih menariknya, G20 tidak pernah memiliki piagam atau kesekretariatan untuk menguatkan apa yang diputuskan dalam hasil-hasil rapatnya. Di satu sisi, ini semakin memperkuat argumen bahwa sepertinya G20 adalah sesuatu yang tidak begitu bermanfaat bagi banyak pihak.

Melihat ke belakang, sebagai perenungan, pola power play atau permainan kekuatan seperti ini sebenarnya menyerupai konsep empire yang dipraktikkan Kekaisaran Romawi ataupun Kerajaan Persia, di mana sebuah pertemuan tingkat tinggi umumnya hanya dijadikan alasan agar para raja-raja kecil dari kerajaan-kerajaan bawahan (vassal/client states) melegitimasi keputusan sang kaisar atau raja besar.

Pada akhirnya, kita tentu berharap kekhawatiran-kekhawatiran ini tidak benar-benar terjadi. Besar harapannya pertemuan para pemimpin negara besar di Bali besok bisa menghasilkan sesuatu yang bermanfaat.

Terlebih lagi biaya yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan acara G20 tidak main-main. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan menyebut Indonesia setidaknya sudah menganggarkan Rp674,8 miliar untuk acara tersebut. Tentu kita harap uang sebanyak itu setidaknya menghasilkan sesuatu yang juga menguntungkan bagi kita, bukan?

Well, kita tunggu saja hasilnya besok. (D74)

spot_imgspot_img

More from Cross Border

Unlike Jokowi, Prabowo Will Be His Own Man

More assertive foreign policy and democratic backsliding are most likely on the horizon as Prabowo Subianto becomes the next Indonesian president.

Nuklir Oppenheimer Justru Ciptakan Perdamaian?

Film Oppenheimer begitu booming di banyak negara, termasuk Indonesia. Menceritakan seorang Julius Robert Oppenheimer, seorang ahli fisika yang berperan penting pada Proyek Manhattan, proyek...

Oppenheimer, Pengingat Dosa Besar Paman Sam?

Film Oppenheimer baru saja rilis di Indonesia. Bagaimana kita bisa memaknai pesan sosial dan politik di balik film yang sangat diantisipasi tersebut?  PinterPolitik.com  "Might does not...

Zelensky Kena PHP NATO?

Keinginan Ukraina untuk masuk Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mendapat “hambatan” besar. Meski mengatakan bahwa “masa depan” Ukraina ada di NATO, dan bahkan telah...

More Stories

Segitiga Besi Megawati

Dengarkan artikel ini: Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut. Meski belum juga terjadi, banyak yang...

Dompet Berjalan Presiden RI? #PART2

Part 2 udah ya gaes. Siapa nih nama yang kelupaan mimin sebut? Share di kolom komentar ya!

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?