Dalam pidatonya di HUT ke-58 Partai Golkar dan HUT ke-8 Partai Perindo, Presiden Jokowi (Jokowi) mengingatkan agar partai politik jangan sembarangan memilih calon presiden (capres). Seolah merespons peringatan itu, berbagai partai politik mengingatkan Jokowi agar jangan terlalu mencampuri kedaulatan partai politik dalam menentukan capres. Jika ketegangan terus mengalami eskalasi, mungkinkah Jokowi akan dihancurkan secara politik selepas 2024?
“Do not think you command your way through like a Roman emperor.” – Rolf Dobelli, buku The Art of Thinking Clearly
Sampai detik ini banyak pihak menaruh tanda tanya soal keputusan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 lalu. Saat itu, Partai Demokrat dapat dikatakan powerful. Pada Pemilihan Legislatif (Pileg) 2009, Partai Demokrat memperoleh 21.703.137 suara atau 20,85% suara nasional. Kursi DPR yang dimiliki mencapai 148 (26,42%), yang mana itu melebihi capaian PDIP di Pileg 2019 dengan 128 (22,26%).
Yang menjadi pertanyaan adalah, kenapa SBY tidak menunjuk penerusnya? Bukankah status SBY sebagai Presiden yang masih menjabat adalah kekuatan politik yang besar?
Terlebih, saat itu Partai Demokrat juga telah melaksanakan konvensi partai yang melahirkan nama Dahlan Iskan.
Sekelumit pertanyaan itu sekiranya terjawab sekarang. Setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengingatkan partai politik agar jangan sembarangan memilih calon presiden (capres) dalam pidatonya di HUT ke-58 Partai Golkar dan HUT ke-8 Partai Perindo, berbagai partai politik terlihat bereaksi.
Pada 8 November 2022, Kepala Bappilu Partai Demokrat Andi Arief menilai Jokowi terlalu mencampuri kedaulatan partai politik. “Partai memiliki kedaulatan. Sayangnya kedaulatannya sedang diganggu oleh kepentingan dari personal politik yang kita lihat Pak Jokowi terlalu mencampuri terlalu dalam kedaulatan partai-partai,” ungkap Arief.
Banyak dari kita mungkin menyimpulkan pernyataan itu keluar karena status Partai Demokrat yang merupakan partai oposisi. Terlebih, partai berlambang merci memiliki hubungan tidak harmonis dengan PDIP, partainya Jokowi.
Sayangnya, kesimpulan itu harus digugurkan. Di hari yang sama, Ketua DPP PDIP Ahmad Basarah juga mengingatkan Jokowi untuk tidak terlibat dalam urusan Pilpres 2024 mendatang. “Presiden RI kan tidak boleh terlibat di dalam kontestasi pemilu,” ungkap Basarah.
Setelah Partai Demokrat dan PDIP angkat suara, PKS juga mengeluarkan nada serupa. “Presiden itu kepala pemerintahan sekaligus kepala negara, maka sikapnya harus sebagai negarawan bukan politisi semata. Apalagi menjadi supporter kandidat, itu tidak baik,” ungkap Juru Bicara PKS Muhammad Kholid pada 9 November 2022.
Kembali pada pertanyaan sebelumnya. Alasan SBY memilih diam di Pilpres 2009 sepertinya adalah untuk menghindari friksi dengan berbagai partai politik.
Seperti yang terlihat saat ini, SBY kemungkinan sudah memprediksi dirinya akan mendapat label “terlalu ikut campur urusan pencapresan” jika menunjukkan sikap seperti Jokowi.
Presiden di Persimpangan Jalan
Djayadi Hanan dalam bukunya Presidensialisme Multipartai di Indonesia: Upaya Mencari Format Demokrasi yang Stabil dan Dinamis dalam Konteks Indonesia, memberikan kita pijakan teoretis yang baik untuk menjelaskan kesimpulan tersebut.
Dalam bab Koalisi: Mengapa dan Bagaimana Cara Kerjanya?, Hanan menjelaskan, meskipun ada pandangan koalisi adalah asing dalam sistem presidensialisme, berbagai pihak sepakat bahwa dalam realitasnya di Indonesia, koalisi menjadi sebuah keharusan.
Alasan utamanya adalah demi stabilitas pemerintahan dan membuat DPR mendukung pemerintah dalam menjalankan agendanya.
Hanan menyebutkan, banyaknya partai politik membuat upaya konsensus menjadi sulit karena membutuhkan banyak diskusi, musyawarah, dan perdebatan. Dengan adanya koalisi, terlebih jika menjadi mayoritas, partai politik menjadi lebih akomodatif.
Kendati demikian, Hanan memberikan catatan menarik. Secara tersirat, Hanan menegaskan, loyalitas partai koalisi hanya terjadi ketika kepentingan mereka diakomodasi oleh Presiden.
Ini dicontohkan ketika SBY memilih Gubernur Bank Indonesia (BI) saat itu, Boediono, sebagai calon wakil presiden (cawapres) di Pilpres 2009.
Saat itu, partai koalisi SBY sebenarnya kecewa karena merasa diabaikan. Mereka bahkan berusaha “memberontak” dan akan mengusung calonnya sendiri. Sadar atas kekecewaan itu, SBY bersikap responsif dengan menjanjikan partai koalisinya tawaran menarik dan strategis. Pendekatan itu terbukti berhasil.
Tidak hanya pada kasus Boediono, pada berbagai situasi, partai koalisi tidak selalu sejalan dengan kebijakan pemerintah. Hanan menjelaskan fenomena ini dengan istilah “partai kritis”. Tanpa harus menjadi oposisi, kader partai koalisi di DPR nyatanya tetap bersikap kritis.
Pada kasus Hak Angket Mafia Pajak pada 2011, misalnya, berbeda dengan sikap Sekretariat Gabungan Koalisi (Setgab), Partai Golkar dan PKS justru menerima pembentukan panitia khusus (pansus) angket perpajakan.
Pada koalisi pemerintahan Jokowi, kita dapat melihat contohnya pada Fadli Zon. Meskipun Partai Gerindra merupakan partai koalisi, Fadli Zon tetap bersikap kritis terhadap berbagai kebijakan pemerintah.
Penjelasan Hanan memberi kita satu kesimpulan penting. Pada realitasnya, harus diakui bahwa kekuatan politik Presiden berada di bawah partai politik. Meskipun disebut sebagai RI-1, posisi dan pengaruh politik Presiden sekiranya berada di persimpangan jalan.
Seperti disebutkan Nassim Nicholas Taleb dalam bukunya Skin in the Game: Hidden Asymmetries in Daily Life, kebebasan itu tidak pernah gratis. Daya kontrol Presiden terhadap partai koalisi dibayar dengan berbagai tawaran menarik dan strategis.
Jokowi Terlalu Percaya Diri?
Mengacu pada penjabaran Hanan dan reaksi berbagai partai politik saat ini, Jokowi sekiranya perlu lebih berhati-hati. Jika dinilai terlalu ikut campur dalam kedaulatan partai untuk menentukan capres-cawapres, tidak hanya partai oposisi, partai koalisi juga dapat memberikan serangan.
Sebagai renungan, Jokowi sekiranya perlu membaca buku Rolf Dobelli yang berjudul The Art of Thinking Clearly. Seperti kutipan Dobelli di awal tulisan, seseorang kerap membayangkan dirinya sebagai Kaisar Romawi yang memiliki kontrol penuh dan kekuasaan yang begitu besar.
Tendensi psikologis itu disebut dengan illusion of control atau ilusi kontrol. Ini adalah bias kognitif yang terjadi ketika seseorang meyakini dirinya memiliki kendali atas situasi yang berada di luar jangkauan pengaruhnya.
Melihat gestur politik Jokowi, kuat dugaan ia ingin menyiapkan penerus yang melanjutkan program dan memberinya perlindungan politik selepas 2024. Ambisi politik ini sepertinya membuat Jokowi terjebak ke dalam ilusi control.
Mungkin, karena merasa memiliki pengaruh politik yang besar, Jokowi kemudian mewanti-wanti partai politik untuk tidak sembarangan memilih capres di Pilpres 2024. Masalahnya, jika benih ketegangan saat ini terus mengalami eskalasi, Jokowi justru akan berhadapan dengan berbagai partai politik yang merasa terganggu.
Alih-alih mendapat perlindungan politik, Jokowi justru dapat menerima berbagai serangan politik, hingga dihancurkan secara politik selepas purna tugas di 2024.
Coba bayangkan, SBY yang memilih diam di Pilpres 2014 saja mendapatkan berbagai serangan, lalu bagaimana dengan Jokowi yang memilih aktif bersuara?
Jangan sampai Jokowi berakhir seperti peringatan Nassim Nicholas Taleb. Serigala merasa dirinya bebas karena mampu menerkam anjing. Padahal, di luar sana terdapat singa yang dapat memangsanya.
Hati-hati Pak Jokowi, partai politik itu bukan anjing, melainkan singa-singa yang dapat menerkam balik. (R53)