Cross BorderKita Keliru, Perang Nuklir itu Nyata

Kita Keliru, Perang Nuklir itu Nyata

- Advertisement -

Puluhan tahun setelah Perang Dingin berakhir, momok mengerikan senjata nuklir masih membayangi kita. Kini, negara yang memilikinya malah semakin bertambah banyak. Apakah ancaman perang nuklir justru semakin mendekati kenyataan saat ini?


PinterPolitik.com

“The weapons of war must be abolished before they abolish us,” – John F. Kennedy, Presiden ke-35 AS

Bagi para senior kita yang sudah lahir dari tahun 1950-an ke bawah, ancaman perang nuklir mungkin adalah sesuatu yang sangat nyata. Kala itu, sengitnya persaingan Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet membuat banyak orang di seluruh dunia was-was menanti hari di mana kedua negara adidaya tersebut akhirnya memutuskan menekan tombol peluncuran nuklir. Ya, itu adalah masa Perang Dingin.

Akan tetapi, Hari Pengadilan yang ditunggu-tunggu itu akhirnya tidak pernah datang. AS terus menjadi negara adidaya tunggal dan Soviet runtuh menjadi hanya tinggal kenangan.

Banyak orang menilai tidak terjadinya sebuah perang besar ketika Perang Dingin adalah karena tidak ada pihak yang benar-benar berani menghancurkan satu sama lain, apalagi menggunakan senjata nuklir. Kedua pihak tahu bahwa jika mereka menggunakan senjata pemusnah massal itu, maka kemungkinan tidak akan ada yang selamat di Bumi.

Kementerian Pertahanan (Kemhan) AS menyebut pandangan seperti ini dengan istilah Mutually Assured Destruction (MAD) atau kehancuran bersama.

Karena ada perspektif demikian, muncul juga sebuah konsep yang disebut nuclear deterrence, yakni doktrin negara-negara pemilik nuklir yang meyakini bahwa satu-satunya cara menciptakan perdamaian dengan negara lain yang juga memiliki nuklir adalah dengan menyandingi kekuatan nuklirnya, sehingga mereka perlu berpikir dua kali akibat adanya potensi serangan nuklir balasan.

Walaupun beberapa tahun setelah Perang Dingin berakhir dunia dalam keadaan yang relatif damai, sebuah laporan dari Institut Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm (SIPRI) pada tahun 2021 menunjukkan bahwa dalam satu dekade terakhir jumlah senjata nuklir mulai mengalami tren yang meningkat.

Tidak dipungkiri, saat ini jumlah negara dengan senjata nuklir memang semakin banyak. Yang paling jadi sorotan mungkin adalah Korea Utara (Korut), Iran, Pakistan, dan India. Lalu, ada pula Tiongkok yang bahkan pemerintah AS sendiri mengaku tidak menduga pengembangan senjata nuklir di negeri Tirai Bambu bisa secepat sekarang.

Fenomena ini kemudian melahirkan pertanyaan, apakah munculnya kekuatan-kekuatan nuklir baru bisa membantahkan prinsip perdamaian melalui nuclear deterrence yang diyakini AS selama ini? Dan bagaimana dampaknya kemudian pada kemungkinan perang nuklir di masa mendatang?

image 51

Nuklir Tak Pernah Cegah Perang?

Salah satu produk politik pada masa Perang Dingin yang masih eksis hingga saat ini adalah Pakta Pertahanan Atlantik Utara alias NATO. Sebagai aliansi yang berisi negara-negara pemegang senjata nuklir, NATO pun memiliki kebijakannya sendiri dalam memandang prinsip nuclear deterrence.

Dalam sebuah artikel berjudul NATO’s nuclear deterrence policy and forces di laman situsnya, NATO menegaskan bahwa kekuatan nuklir yang dimilikinya tidak hanya bisa diartikan sebagai kekuatan saja, melainkan juga untuk bertindak layaknya gertakan dalam kontrol senjata agar senjata nuklir tidak semakin banyak. Tapi, seperti yang sudah dibahas di atas, sepertinya mulai terbukti bahwa misi besar itu sepertinya gagal.

Baca juga :  Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Yang menarik, kalau kita perhatikan, senjata nuklir sejujurnya tidak pernah terbukti menjadi alat gertakan pencegah perang yang efektif. John Lewis Gaddis dalam bukunya The Long Peace menjelaskan bahwa sangat keliru bila kita melihat senjata nuklir sebagai faktor terbesar yang menghambat meletusnya perang besar ketika Perang Dingin.

Ketimbang gara-gara nuclear deterrence, Lewis justru mengatakan bahwa AS dan Soviet secara politik memang tidak pernah berniat untuk berperang secara langsung.

Mengapa? Well, jawabannya cukup sederhana, yakni karena kedua negara adidaya tersebut adalah pihak yang sangat diuntungkan dalam sistem internasional yang terbentuk setelah Perang Dunia II berakhir.

AS menjadi “majikan” Eropa yang babak belur. Begitu juga Soviet yang menjadi dambaan para negara-negara Asia dan Amerika Latin. Singkatnya, perang terbuka antara AS dan Soviet tidak pernah terjadi karena tidak ada motivasi politik yang kuat untuk melakukannya.

Karena itu, meski mungkin sejumlah jenderal di AS ataupun Soviet sangat ingin menyerang satu sama lain, para politisi di atas mereka tidak pernah mengamininya. Dan akhirnya, mereka malah melampiaskan intensitas politik yang terjadi melalui sejumlah konflik proksi, seperti Perang Vietnam dan Konflik Afganistan, yang tidak berdampak langsung pada AS ataupun Soviet.

Selain itu, kita pun tidak boleh menampik kenyataan bahwa keberadaan senjata nuklir justru malah meningkatkan risiko terjadinya tubrukkan kepentingan politik para negara besar. Kembali melihat sejarah, sejumlah pengamat militer menilai proyek nuklir pertama Soviet yang dijuluki proyek “First Lightning” adalah pemantik yang mendorong terjadinya Perang Dingin.

Dengan proyek tersebut Soviet secara sah menantang dominasi AS sebagai kekuatan militer terbesar dunia, dan memiliki modal kekuatan yang cukup untuk membuatnya berani memainkan politik internasional.

Ya, di satu sisi, kita juga bisa belajar bahwa kepemilikan senjata nuklir telah menjadi sesuatu yang secara banal diakui merupakan bukti legitimasi sebuah negara adidaya. Hal seperti ini disoroti oleh Kenneth Waltz dan Scott Sagan dalam buku mereka The Spread of Nuclear Weapons.

Mereka menyimpulkan bahwa dilihat dari sisi yang lebih kelam, senjata nuklir justru menjadi semacam imunitas bagi negara yang memilikinya untuk berlaku seenaknya di panggung internasional.

Contohlah yang dilakukan Rusia ke Ukraina tahun ini. Jika ada yang berani menghalangi Rusia secara langsung, maka Vladimir Putin pasti akan mengandalkan retorika nuklirnya dan mengatakan upaya intervensi tersebut adalah serangan terhadap kepentingan nasional Rusia.

Dengan demikian, perang terbatas atau limited wars (perang yang hanya menggunakan sebagian kekuatan militer) tampak seperti sebuah alternatif yang lebih mudah diterima dan dilumrahkan oleh sebuah negara agresor untuk menjustifikasi serangannya. Yap, alih-alih meminimalisir perang, senjata nuklir justru malah berpotensi dijadikan pembenaran untuk memperbanyak konflik-konflik kecil.

Dari penjelasan di atas, kita bisa simpulkan bahwa sepertinya narasi tentang senjata nuklir sebagai pencegah peperangan adalah sebuah ilusi besar. Bahkan, senjata pemusnah massal yang diagung-agungkan para negara besar ini justru malah jadi benih-benih terciptanya konflik baru.

Ini kemudian membawa kita pada pertanyaan selanjutnya, dengan tren yang belakangan menunjukkan senjata nuklir semakin meningkat, kira-kira seberapa mungkin sebuah perang nuklir akan terjadi?

Baca juga :  Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?
image 52

Perang Nuklir di Depan Mata?

Setiap kali kita membicarakan probabilitas perang, barangkali anggapan pertama yang umumnya muncul di benak banyak orang adalah itu tidak akan terjadi karena dampaknya akan merugikan semua pihak.

Secara akal sehat, anggapan yang terinspirasi dari tulisan James Joll berjudul The Origins of the First World War ini mungkin terkesan benar. Tidak mungkin para pemegang tombol nuklir nekat menghancurkan perekonomian mereka sendiri, bukan?

Well, orang-orang yang berpandangan demikian tampaknya terlalu berharap lebih pada politik. Masalahnya, apa yang terjadi dalam politik kerap berjalan tidak sesuai dengan akal sehat manusia.

Yuval Noah Harari dalam bukunya 21 Lessons for the 21st Century, menyinggung hal ini dengan mengatakan bahwa alasan sebenarnya manusia berani melakukan perang adalah karena pikiran mereka bersumbu pendek atau “bodoh”.

Tulis Harari, “Sayangnya, bahkan jika perang tetap menjadi bisnis yang tidak menguntungkan di abad ke-21, itu tidak akan memberi kita jaminan mutlak akan perdamaian. Kita seharusnya tidak meremehkan kebodohan manusia.”

Pernyataan Harari dibuktikan dengan meletusnya Perang Dunia II, ketika tiba-tiba saja Adolf Hitler menantang Eropa Timur dan Barat berperang. Padahal, jika Hitler berpikir secara matang, Jerman yang meskipun pada masa itu memang maju, tidak akan mampu melawan kekuatan militer luar biasa yang dimiliki Soviet dan AS.

Lalu, jika probabilitas perang menjadi tinggi ketika ada pemimpin yang bersumbu pendek, bagaimana kita menalarkan hal tersebut dalam keadaan politik internasional kita sekarang?

Alexey Fenenko dalam tulisannya “Long Peace” and Nuclear Weapons, menjawab pertanyaan besar ini dengan mengisyaratkan bahwa kemungkinan terjadinya perang nuklir di masa kini sebenarnya lebih besar dibanding era Perang Dingin.

Ini karena kalau kita melihat kondisi politik internasional saat Perang Dingin, persaingan kekuatan nuklir kala itu terjadi di antara negara adidaya. Artinya, tidak ada yang benar-benar bisa mengintimidasi satu sama lain.

Namun, situasi dunia saat ini sangat berbeda dengan era Perang Dingin. Sekarang, AS adalah satu-satunya kekuatan yang bisa mengintimidasi siapapun jika mereka menginginkannya. Masalahnya, secara prinsip senjata nuklir adalah senjata yang diciptakan untuk hanya digunakan ketika memilikinya merasa putus asa dan berpikir tidak ada cara lain untuk menang selain menghancurkan diri bersama musuhnya.

Nah, mirisnya, saat ini negara-negara yang sedang dipojokkan dan terus mendapat intimidasi internasional adalah negara-negara yang memiliki senjata nuklir, contohnya seperti Rusia, Korea Utara, Iran, dan Tiongkok.

Kalau takaran perang yang sebenarnya adalah akal sehat para pemimpin pemilik senjata nuklir, maka secara komparasi, seperti yang dikatakan Fenenko, kemungkinan terjadinya perang nuklir akibat nuclear desperation atau keputusasaan nuklir saat ini sebenarnya bisa jadi lebih nyata dibanding ketika Perang Dingin.

Pada akhirnya, kita hanya bisa berharap para pemimpin negara-negara nuklir tadi tidak merasa putus asa dalam kemelut politik internasional. Jika mereka akhirnya berkesimpulan negaranya akan kalah, maka tidak akan ada yang bisa menghalangi mereka menekan tombol nuklir dan menghancurkan kita semua bersamanya. (D74)

spot_imgspot_img

More from Cross Border

Unlike Jokowi, Prabowo Will Be His Own Man

More assertive foreign policy and democratic backsliding are most likely on the horizon as Prabowo Subianto becomes the next Indonesian president.

Nuklir Oppenheimer Justru Ciptakan Perdamaian?

Film Oppenheimer begitu booming di banyak negara, termasuk Indonesia. Menceritakan seorang Julius Robert Oppenheimer, seorang ahli fisika yang berperan penting pada Proyek Manhattan, proyek...

Oppenheimer, Pengingat Dosa Besar Paman Sam?

Film Oppenheimer baru saja rilis di Indonesia. Bagaimana kita bisa memaknai pesan sosial dan politik di balik film yang sangat diantisipasi tersebut?  PinterPolitik.com  "Might does not...

Zelensky Kena PHP NATO?

Keinginan Ukraina untuk masuk Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mendapat “hambatan” besar. Meski mengatakan bahwa “masa depan” Ukraina ada di NATO, dan bahkan telah...

More Stories

Prabowo dan Filosofi Magikarp ala Pokémon

Pemerintahan Prabowo Subianto siapkan sejumlah strategi untuk tingkatkan investasi dan SDM. Mungkinkah Prabowo siap untuk “lompat katak”?

Belah PDIP, Anies Tersandera Sendiri?

Endorse politik Anies Baswedan di Pilgub Jakarta 2024 kepada kandidat PDIP, yakni Pramono Anung-Rano Karno justru dinilai bagai pedang bermata dua yang merugikan reputasinya sendiri dan PDIP di sisi lain. Mengapa demikian?

Putin Balas Rudal, Semua Kelabakan?

Bukannya mereda, malah makin ngeri di Ukraina?