Ancaman Perang Dunia III seharusnya membuat takut semua orang, tapi anehnya justru ada yang berharap perang besar tersebut terjadi. Mengapa bisa demikian?
“This is a war to end all wars” – Woodrow Wilson, mantan Presiden Amerika Serikat
Perang yang meletus di Ukraina akibat serangan Rusia pada 24 Februari silam masih terus berlangsung hingga sekarang. Alih-alih mereda, perkembangan yang terjadi justru malah mengindikasikan bahwa konflik yang sudah menewaskan lebih dari 9.000 warga sipil tersebut menjadi akar dari sejumlah permasalahan yang rumit, seperti potensi krisis pangan dan energi, misalnya.
Di Indonesia, karena letak geografis kita yang begitu jauh, kita hanya bisa menerka keadaan lapangan di medan perang melalui berita-berita yang muncul. Mungkin kita bisa bersimpati ataupun berempati, tapi kita tidak akan bisa merasakan seperti apa rasanya hidup dalam sebuah negara yang setiap harinya digempur serangan militer. Secara spesifiknya, kita tidak akan tahu bagaimana pola pikir seorang warga sipil yang setiap paginya mengkhawatirkan ada sebuah bom jatuh di wilayah mereka.
Namun, salah satu berita dari Ukraina yang muncul pada Bulan Oktober kemarin justru memperlihatkan sesuatu yang agak sulit dicerna secara awam. Berbagai kantor berita seperti The Jerusalem Post, Vice, dan New York Post mengabarkan bahwa setelah Presiden Rusia Vladimir Putin mengisyaratkan penggunaan senjata nuklir, sebanyak 15.000 warga Ukraina mengkonfirmasi akan melakukan orgy (pesta seks) jika Rusia memang akhirnya memutuskan mengirim senjata pemusnah massal tersebut.
Hal ini bahkan direspons oleh salah satu filsuf modern asal Slovenia bernama Slavoj Žižek dalam tulisannya The Orgy at the End of the World yang melihat bahwa itu adalah akibat efek ketakutan kolektif warga Ukraina yang berusaha mencari titik terang di balik ancaman malapetaka.
Yang lebih absurdnya lagi, sebuah platform kripto bernama Polymarket bahkan membuka sebuah taruhan tentang apakah Putin akan menggunakan nuklir sebelum tahun 2022 berakhir. Menurut keterangan di situsnya, Polymarket menyebut taruhan itu terinspirasi dari permintaan sejumlah orang yang antusias melihat terjadinya sebuah perang besar, alias Perang Dunia III (PD III).
Di Indonesia sendiri, antusiasme sekelompok orang terhadap perang nuklir yang bisa diinisiasi Rusia juga cukup tinggi. Di sejumlah post Instagram @pinterpolitik tentang Perang Ukraina, misalnya, kita dengan mudah akan menemukan komentar yang isinya mendorong Putin agar cepat-cepat mengirim nuklir. Bahkan, ada yang mendukung Rusia dan Tiongkok menjadi kelompok yang mampu menantang dominasi negara Barat.
Ya, fenomena sosial pengharapan dan mensyukuri adanya sebuah perang besar memang mulai bermunculan di sekitar kita. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Ketidakpuasan Terhadap Dunia?
Jangankan jauh-jauh melihat isi komen akun Instagram, sejumlah individu yang ditemui tim PinterPolitik.com bahkan mengaku memiliki beberapa teman dekat yang menginginkan sebuah perang besar antara Rusia ataupun Tiongkok dengan Amerika Serikat (AS). Walau mungkin sebagian melihat itu sebagai bahan bercandaan, intensitas pembicaraan yang terjadi tentang antusiasme PD III pantas kita perhatikan.
Kalau kita mengacu pada tulisan-tulisan karya Sigmund Freud, khususnya Beyond the Pleasure Principle, fenomena ini sepertinya mencerminkan apa yang disebut sebagai death drive atau dorongan kematian. Freud menjelaskan bahwa perilaku manusia ternyata tidak hanya termotivasi oleh insting untuk bertahan hidup, tapi juga keinginan untuk menyebabkan kematian, terlibat dalam kematian, serta berkeinginan untuk mengembalikan segala hal ke bentuk semulanya.
Freud percaya bahwa manusia biasanya menyalurkan dorongan kematian ini ke luar (outward), yang bermanifestasi sebagai bentuk agresi terhadap orang lain. Namun, manusia juga dapat mengarahkan dorongan ini ke dalam (inward), yang dapat mengakibatkan tindakan melukai diri sendiri atau bahkan bunuh diri. Singkatnya, Freud mendasarkan teorinya ini pada pengamatan klinis, dengan mencatat bahwa orang yang mengalami peristiwa traumatis ternyata sering membuat reka ulang di pikirannya atau mengunjunginya kembali.
Namun, dalam merealisasikan death drive-nya, manusia cenderung akan mencari justifikasi agar tindakannya tersebut bisa dianggap lumrah ataupun mulia.
Dalam kasus PD I misalnya, menurut artikel HistoryCrunch berjudul Excitement for World War I dan The soldiers across Europe who were excited about World War I di laman The Conversation, ternyata banyak kota-kota di Eropa pada awal PD I yang melakukan selebrasi setelah deklarasi perang dibunyikan. Sejumlah catatan sejarah menyebut selebrasi itu dilakukan karena banyak orang merasa mendapatkan kesempatan mati dengan mulia dalam sebuah peperangan.
Kalau menurut filsuf Jeman, Theodor Adorno, hal seperti ini adalah bagian dari sebuah teori psikoanalisis yang disebut wrong life claim (WLC), teori ini menjelaskan bahwa sejumlah orang melihat sebuah perang besar sebagai sesuatu yang harus terjadi karena umat manusia – menurut mereka – memang pantas mendapatkan sebuah penebusan besar.
Yang mendasari pemikiran seperti ini adalah, dari sejak pertama kali diajarkan tentang dunia, manusia selalu diberikan ilmu pengetahuan yang mengajarkan tentang bagaimana mengelola dunia dengan sebaik mungkin. Namun, ketika semakin dewasa, manusia pun semakin sadar bahwa dunia yang diperkenalkan oleh orang tua dan gurunya ketika kecil ternyata sangat berbeda jauh dengan realitas. Di dalam dunia nyata keinginan untuk perdamaian pun terkadang bisa berbenturan dan justru malah melahirkan kekerasan.
Kekecewaan seperti ini yang menurut Adorno membuat sejumlah orang berkesimpulan bahwa judgement day atau hari kiamat adalah sesuatu yang perlu terjadi agar kejahatan di dunia tidak bertahan lama. Padahal, kalau kita melihat secara lebih objektif, perang itu sendiri sebenarnya adalah bentuk kejahatan manusia. Tentu sangat aneh bila kita menjadikan produk terburuk umat manusia sebagai penebus kejahatan umat manusia yang lainnya.
Dan, menariknya, pandangan seperti itu ternyata beririsan dengan konsep penebusan dari aspek keagamaan.
Sebuah Kekeliruan Bernalar?
Dalam sejumlah tulisannya tentang redemption atau penebusan, Walter Benjamin, seorang filsuf yang juga berasal dari Jerman, melihat bahwa keinginan sejumlah orang untuk mengakhiri sistem dunia yang dihidupinya secara tidak sengaja membaur dengan konsep messiah atau penyelamat dalam beberapa agama.
Banyak orang yang melihat bahwa susahnya kehidupan yang mereka jalani adalah akibat sistem dunia yang memang didesain untuk membuat orang seperti mereka menderita, oleh karena itu, ketika ada seseorang atau sesuatu yang dapat menantang hegemoni para pengendali sistem dunia, otomatis ia juga akan dianggap sebagai sebuah penyelamat yang berkorelasi dengan ajaran agamanya.
Nah, dalam konteks wacana PD III dan persaingan antara negara Barat dan Rusia ataupun Tiongkok, bias semacam ini sepertinya juga terjadi pada sejumlah warga Indonesia. Banyak orang kita yang melihat Rusia ataupun Tiongkok sebagai sosok messiah yang mampu mengakhiri tirani sistem yang dipimpin AS, oleh karena itu, sebuah perang besar yang seharusnya dilihat sebagai ancaman, secara ironis, justru mereka artikan sebagai harapan.
Padahal kenyataannya mereka-mereka yang dicap sebagai penantang hegemoni barat seperti Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Tiongkok Xi Jinping pun hanyalah tokoh politik, yang bisa dipastikan memiliki ambisi-ambisi pribadi yang mungkin tidak terlalu bermanfaat bagi masyarakat awam secara menyeluruh. Apa jaminannya bila Putin atau Xi menang dalam peperangan melawan AS dunia akan menjadi lebih baik?
Dengan demikian, persoalan tentang sekelompok orang yang berharap akan adanya perang besar sesungguhnya adalah persoalan kesalahan bernalar. Karena realitas kehidupan kita memang terkadang terasa tidak adil dan menjenuhkan, setiap narasi yang bisa dicocok-cocokkan dengan konsep penebusan akan diperjuangkan oleh manusia.
Fenomena ini sebenarnya adalah bagian dari apa yang disebut sebagai moral absolutism atau absolutisme moral. Secara naluriah, manusia akan selalu berharap apa yang dipikirkannya benar sehingga realitas di sekitar mereka pun secara tidak sadar akan terbentuk berdasarkan doktrin yang mereka ciptakan sendiri.
Oleh karena itu, meskipun sangat menggoda untuk berharap bahwa ketidakadilan sistem dunia saat ini perlu diakhiri, perang, oleh siapapun itu, tidak akan dapat kita benarkan, karena bagaimanapun bentuknya, perang dapat merenggut harapan masa depan seseorang yang bisa saja memiliki kehidupan cemerlang.
Sebagai penutup, pembahasan ini mungkin juga dapat menjadi pembelajaran bagi kita semua. Ke depannya, jika Anda menemukan seorang teman yang berharap PD III dilakukan secepatnya, lebih baik kita menegur mereka. (D74)