HomeNalar PolitikJokowi Tidak Restui Anies Nyapres?

Jokowi Tidak Restui Anies Nyapres?

Dalam pidatonya di HUT ke-58 Partai Golkar, secara tersirat Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengingatkan agar jangan memilih capres yang menawarkan janji manis tidak masuk akal. Mungkinkah peringatan itu ditujukan kepada Anies Baswedan?


PinterPolitik.com

Dalam artikel PinterPolitik yang berjudul Jokowi Akhirnya Sadar Populismenya Keliru?, telah dijabarkan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) tampaknya memberikan kritik kepada politisi populis. Dalam pidatonya di HUT ke-58 Partai Golkar pada 21 Oktober 2022, di hadapan berbagai ketua umum partai politik, Jokowi mengingatkan agar jangan sembarangan memilih calon presiden (capres).

Secara satir, Jokowi menyampaikannya melalui analogi dua calon pilot. Yang pertama mengeluarkan pernyataan sesuai peraturan, yakni akan mematuhi hukum penerbangan internasional dan terbang di ketinggian 30 ribu kaki.

Sementara pilot kedua memberikan penawaran menarik yang begitu menggiurkan. Semua calon penumpang akan diberikan tiket bisnis dan diskon. Menurut Jokowi, banyak pihak tentu akan memilih pilot kedua meskipun penawarannya tidak masuk akal.

Seperti yang telah dijelaskan, tawaran menarik pilot kedua adalah bentuk kampanye populis. Janji pilot kedua untuk memberikan diskon dan tiket kelas bisnis adalah satir Jokowi terhadap mereka yang menjual kemurahan hati.

Tegas Jokowi, penawaran manis seperti itu tidak masuk akal. Secara cepat, kita langsung dapat mengetahui bahwa janji itu akan membuat industri penerbangan gulung tikar, yang pada akhirnya membuat semua masyarakat kesusahan.

Seperti yang disimpulkan dalam artikel Jokowi Akhirnya Sadar Populismenya Keliru?, sangat mungkin Jokowi telah menyadari kekeliruan atas kebijakan populisnya selama ini. Oleh karenanya, Jokowi hendak memberi peringatan untuk tidak tertipu pada janji populis yang tidak masuk akal.

Pada awal 2020, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani bahkan secara terbuka mengakui janji politik Jokowi maupun Prabowo Subianto di Pilpres 2019 membuatnya bingung hingga sakit perut. “Yang ini menjanjikan apa yang gratis, itu juga apa yang gratis. Saya banyakan sakit perut,” ungkapnya pada 30 Januari 2020.

Menurut Sri Mulyani, posisi APBN tidak memungkinkan apabila terlalu banyak program gratis. Sama seperti tawaran pilot kedua yang dijelaskan Jokowi, bagaimana mungkin industri penerbangan dapat bertahan apabila semua penumpang diberikan diskon tiket?

Lebih menarik lagi, Jokowi menutup pernyataannya dengan kalimat, “Silakan terjemahkan sendiri”. Lantas, mungkinkah kritik satir Jokowi ditujukan kepada sosok tertentu?

jokowi kritik populisme

Jokowi Sasar Anies?

Jika memetakan berbagai variabel dan gestur politik yang terlihat, cukup tinggi kemungkinannya Jokowi tengah menyasar Anies Baswedan. Ada tiga alasan utama atas simpulan ini.

Baca juga :  The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Pertama, telah lama Anies dikenal sebagai pemimpin populis yang menjual janji-janji manis. Kita tentu ingat janji politik rumah DP 0% Anies di Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017. Gubernur Bank Indonesia (BI) saat itu, Agus DW Martowardojo, bahkan turut memberikan komentar.

“Harus ada minimum DP untuk penyaluran kredit properti. Kalau seandainya nol persen itu menyalahi (ketentuan),” ungkap Agus pada 17 Februari 2017. Menurutnya, kebijakan itu tidak hanya menyalahi aturan, melainkan juga membutuhkan subsidi yang besar.

Kedua, Anies memiliki kemampuan retorika hebat yang membuatnya menjadi media darling. Wulan Yulian Anggini dan Febby Pratama Putra dalam Discourse on Communications Rhetoric: Political Rhetoric of Anies Baswedan, menyebut Anies mampu memposisikan diri sesuai lawan bicaranya.

Anies begitu piawai dalam memilih diksi, intonasi, dan cara bertuturnya tidak emosional. Menurut Anggini dan Putra, kemampuan retorika ini membuat Anies dapat menyampaikan dan membujuk khalayak ketika tampil di media massa.

Menurut mereka, di era modern saat ini, di mana akses informasi didapatkan dengan mudah, mutlak dibutuhkan kemampuan retorika dan memposisikan diri di depan media.

Ketiga, tidak lama setelah Partai NasDem mendeklarasikan Anies sebagai bakal capres 2024, berbagai serangan politik langsung menghujam partai yang dipimpin Surya Paloh tersebut. Bahkan, dorongan agar NasDem keluar koalisi disebut berhembus kencang.

Tekanan itu terbaca jelas ketika Surya Paloh sampai harus bertemu langsung dengan Jokowi untuk menegaskan komitmen partainya menjaga pemerintahan eks Wali Kota Solo tersebut.

Selain berbagai serangan politik terhadap NasDem, kita juga dapat melihat perbedaan gestur politik yang begitu kentara. Ketika Partai Golkar ataupun Partai Gerindra menegaskan untuk mengusung ketua umum partainya sebagai capres di Pilpres 2024, serangan politik semacam itu tidak terlihat.

Tidak ada kritik terhadap Airlangga Hartarto maupun Prabowo. Dorongan agar Golkar dan Gerindra keluar kabinet juga tidak tercium baunya.

Lantas, jika benar Jokowi menyasar Anies, kenapa kritik itu disampaikan melalui metafora? Kenapa tidak menggunakan kalimat denotatif?

infografis jangan asal pilih capres 1

Jokowi Pilih Prabowo?

Amber Boeynaemsa, Christian Burgersa, Elly A. Konijna, dan Gerard J. Steenb dalam The Effects of Metaphorical Framing on Political Persuasion: A Systematic Literature Review, menjelaskan politisi memiliki kebiasaan menggunakan metafora untuk membingkai isu-isu politik.

Pernyataan metafora yang dikeluarkan dapat untuk menggambarkan diri mereka sendiri, lawan politik, atau agenda politik tertentu. Politisi menggunakan metafora untuk mengarahkan publik ke sudut pandang politik tertentu.

Baca juga :  “Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Dalam bahasa operasi penggalangan intelijen, ini disebut dengan to bring the target to our direction – mengarahkan target pada kondisi atau persepsi yang kita inginkan.

Dengan kata lain, alasan Jokowi menggunakan metafora dalam pidatonya adalah dua hal.

Pertama, ini untuk mengarahkan pihak yang menjadi targetnya untuk memikirkan dan membahas pernyataannya. Karena tidak menggunakan bahasa denotatif, pernyataan Jokowi perlu mendapat perenungan lanjutan, yang pada akhirnya membuat banyak pihak membahasnya.

Seperti kalimat penutup Jokowi setelah memberikan analogi dua pilot pesawat, “Silakan terjemahkan sendiri”.

Kedua, seperti dijelaskan ahli bahasa William Lutz, politisi tidak menggunakan bahasa denotatif untuk menghindari ketegangan terbuka. Tentu merupkan suatu blunder apabila Jokowi menyerang secara terbuka sosok tertentu.

Citra bahwa Jokowi tidak demokratis karena mengintervensi kandidat akan menjadi persepsi yang tidak terhindarkan.

Lantas, jika benar Anies tidak direstui maju di Pilpres 2024, mungkinkah Jokowi telah menentukan pilihan?

Untuk menjawabnya tentu cukup prematur saat ini. Namun, apabila kita mengacu pada variabel-variabel yang terkini, ada satu nama yang cukup mungkin, yakni Prabowo Subianto. Alasan utama atas kesimpulan ini adalah keamanan politik.

Di titik ini, mungkin ada yang menyebut Puan Maharani atau Ganjar Pranowo karena keduanya adalah kader PDIP seperti Jokowi.

Ganjar tentu potensial untuk itu. Berbagai relawan Ganjar juga menyebut Gubernur Jawa Tengah itu sebagai the next Jokowi. Namun, posisinya yang berkonflik dengan internal PDIP membuat pilihan ke Ganjar menjadi cukup berisiko.

Sementara Puan, ada kemungkinan Jokowi tidak bergitu nyaman dengan Ketua DPR RI tersebut. Kikue Hamayotsu dan Ronnie Nataatmadja dalam Indonesia in 2015: The People’s President’s Rocky Road and Hazy Outlooks in Democratic Consolidation, menyebut Megawati Soekarnoputri dan Puan Maharani memasang orang-orang favoritnya di pemerintahan untuk mengontrol dan melemahkan pengaruh Jokowi.

Bertolak dari Hamayotsu dan Nataatmadja, tentu Jokowi butuh sosok yang dapat dipengaruhinya, bukan sebaliknya. Untuk mendapatkan keamanan politik, Jokowi tidak boleh memberikan dukungan kepada sosok yang berpotensi mengintervensinya.

Dengan demikian, pilihan yang tersisa dan masuk akal adalah Prabowo. Tidak hanya soal pengaruh politik, potensi Prabowo untuk menang di Pilpres 2024 juga cukup besar. Faktor ini yang membedakannya dengan ketua umum partai lain, seperti Airlangga Hartarto.

Baru-baru ini, Jokowi bahkan secara terbuka menyampaikan dukungannya kepada Prabowo. “Sudah sejak awal, kok restu-restu, sejak awal saya menyampaikan mendukung beliau,” ungkap Jokowi pada 2 November 2022. (R53)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Dengarkan artikel ini: Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut. Meski belum juga terjadi, banyak yang...

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...