Analisis dari pengamat politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro yang menyebut Puan Maharani cukup mumpuni untuk kepemimpinan nasional kiranya justru seolah menguak kelemahan lembaga tersebut, plus politisi PDIP itu sendiri. Mengapa demikian?
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Peneliti Utama bidang Politik Siti Zuhro tampak menyiratkan sebuah sinyal yang dapat diperdebatkan. Itu terjadi saat dirinya menyampaikan sokongan politik tersurat kepada Ketua DPP PDIP Puan Maharani untuk menjadi calon presiden (capres) 2024.
Dengan mengedepankan perspektif urgensi kepemimpinan perempuan, Siti menyatakan Puan telah memiliki pengalaman yang cukup panjang di kancah perpolitikan nasional dan terbilang matang.
Tak ketinggalan, Siti menganalogikan Puan ibarat buah yang telah matang di pohon, bukan politisi yang tiba-tiba muncul menjadi kandidat RI-1.
Dia membeberkan, Puan merintis karier sejak menjadi anggota biasa partai politik (parpol) terlebih dulu, lalu maju sebagai anggota DPR RI, Ketua Fraksi, Menteri, dan saat ini meraih pencapaian sebagai Ketua DPR RI perempuan pertama sepanjang sejarah Indonesia.
Meskipun tak merujuk data lebih rinci, Siti bahkan menilai eksistensi dan sepak terjang Puan sebagai bentuk kerinduan banyak perempuan di Indonesia yang menginginkan kepemimpinan nasional dikendalikan oleh kaum hawa.
Namun, Siti juga melontarkan postulat yang bisa saja diterima karena beralasan sekian lama perempuan belum mendapat tempat yang betul-betul terbuka luas di masyarakat untuk menjadi pemimpin.
Terdapat satu penggalan kalimat Siti yang cenderung menyiratkan sokongan dan invitasi politik. “Maka seharusnya perempuan Indonesia mendukung dengan semangat perempuan dukung sesama perempuan,” tutur peraih Bawaslu Awards kategori Pengamat Politik Terfavorit 2014 itu.
Kendati memiliki justifikasi personal, apa yang dikemukakan Siti tampak rancu mengingat jabatannya adalah sebagai seorang peneliti di lembaga riset pemerintah.
Terlebih, analisis maupun argumennya bermuara pada kesan imbauan bagi perempuan untuk mendukung Puan sebagai capres di kontestasi elektoral 2024.
Lantas, mengapa Siti dan BRIN secara tidak langsung seolah meng-endorse Puan dalam konteks politik praktis?
BRIN “Diktator” Riset?
Sejak awal pembentukannya, BRIN sudah benar untuk diposisikan sebagai lembaga yang perannya murni untuk mengkoordinasikan dan mensinergikan lembaga riset yang ada di Indonesia.
Akan tetapi, karena ada motivasi tertentu, BRIN secara tergesa-gesa malah didorong untuk menjadi superbody yang seakan-akan berperan sebagai diktator lembaga riset.
Motivasi tertentu itu tampaknya tidak lain disebabkan ekspektasi terhadap BRIN yang memerlukan dukungan politik.
Perlunya dukungan politik itu merupakan satu dari tiga masalah utama riset Indonesia yang dikemukakan Ahmad Najib Burhani, dkk, dalam analisis mereka yang berjudul The National Research and Innovation Agency (BRIN): A New Arrangement for Research in Indonesia.
Disebutkan, riset yang efektif dan menguntungkan harus disesuaikan dengan kebutuhan dari masing-masing kementerian, oleh karena itu, peran serta politikus di sini menjadi penting.
Dalam analisis tersebut juga ditegaskan bahwa selama ini muncul pandangan keliru, yakni dianggapnya politisi yang lebih dahulu masuk ke ranah riset. Padahal, justru kalangan peneliti yang mengajak politisi untuk terlibat, karena mereka pun ingin hasil penelitiannya bisa lebih mencapai publik dan diapresiasi.
Meski demikian, poin analisis Najib dkk mengenai dukungan politik agaknya tidak sepenuhnya tepat. Akuntabilitas serta subjektivitas tampak menjadi abu-abu dan cukup sulit untuk dihindari korelasinya dengan dinamika politik yang begitu dinamis.
Valerie Pattyn dan Gilles Pittoors dalam Who are the Political Parties’ Ideas Factories? menjelaskan posisi lembaga penelitian tak bisa dipungkiri sangat penting untuk memberi saran atas kebijakan.
Namun, dari sisi politik, Pattyn dan Pittoors menjelaskan lembaga penelitian di negara maju seperti Amerika Serikat (AS), Kanada, dan Jepang terbebas dari ideologi dan kepentingan politik tertentu sehingga tak memengaruhi kualitas analisa dan produk riset yang mereka hasilkan.
Kembali dalam kesan dukungan Siti terhadap Puan, nuansa politis kiranya tak bisa dihindari.
Padahal, Siti sebelumnya merupakan peneliti politik kawakan Indonesia di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Reputasinya telah diakui dan setiap pernyataannya tentu memiliki relevansi teoretis, konseptual, maupun praktikal.
Tak ada salahnya memang untuk mengedepankan kesetaraan perempuan dalam kepemimpinan politik dan pemerintahan. Akan tetapi, ketika mengerucut pada satu nama tertentu, agaknya impresi rancu akan cukup sulit dihindari dalam konteks dan substansi dikedepankannya persoalan itu.
Terlebih, nama yang disebut Siti merupakan Ketua DPP PDIP , partai politik (parpol) penguasa saat ini, plus puti Ketua Umum PDIP yang juga Ketua Dewan Pengarah BRIN Megawati Soekarnoputri.
Sejak awal pendirian BRIN plus penunjukkan sosok Megawati, kritik jamak mengiringi setiap hasil telaah maupun pernyataan yang keluar dari lembaga tersebut.
Satu kritik yang cukup tajam dilontarkan mendiang akademisi dan cendekiawan muslim Indonesia Prof. Azyumardi Azra yang mengatakan keberadaan ketum parpol justru membuat BRIN riskan menjadi alat politik.
Secara teoretis, apa yang dikhawatirkan Prof. Azra agaknya berkelindan dengan konsep relasi kuasa yang dikemukakan Michael Foucault, seorang filsuf pelopor strukturalisme asal Prancis.
Eksistensi Megawati dengan status sosio politik dan kuasa yang dimilikinya dikhawatirkan membuat BRIN tidak lagi independen, melainkan berorientasi pada kepentingan politik tertentu yang cenderung pragmatis.
Sebagaimana yang dipostulatkan Foucault bahwa kekuasaan selalu diartikulasikan melalui pengetahuan dan pengetahuan memiliki efek kekuasaan, keberadaan ketum parpol dalam tubuh BRIN membuka probabilitas bahwa lembaga itu hanya melayani riset-riset yang membawa keuntungan bagi kekuasaan, bukan masyarakat.
Lalu, apakah yang dapat dimaknai dari endorsement terhadap Puan yang dikemukakan oleh seorang peneliti senior BRIN?
Puan Tak Relevan?
Satu hal yang selama ini kerap luput dari segelintir pengalaman politik Puan adalah pengakuan kualitas sosok yang kini menjabat Ketua DPR RI itu.
Pengakuan atas kualitas itu yang agaknya dibutuhkan Puan saat ini, tak hanya terkait rencana bersaing di Pilpres, tetapi juga dalam upayanya mendapat legitimasi kepemimpinan PDIP sebagai penerus Megawati.
Teori Hierarki kebutuhan yang dikemukakan Abraham Maslow, khususnya mengenai esteem needs atau kebutuhan akan penghargaan dan kelebihan kiranya dapat menjelaskan dua hal sekaligus.
Pertama, mengenai intensi hajat politik Puan. Kedua, mengenai landasan bagi Siti Zuhro untuk memberikan support itu kepada putri mahkota PDIP itu dalam dimensi kepemimpinan perempuan.
Sayangnya, representasi apa yang diwakili Puan masih berbenturan dengan persoalannya mendasar, yakni siapa politisi perempuan yang terpilih dan sumber apa yang dimiliki.
Walaupun jumlah kandidat perempuan melimpah, hanya politikus tertentu yang mendapatkan kesempatan dan terpilih.
Sally White dan Edward Aspinall dalam Why Does a Good Woman Lose? Mengungkapkan politisi perempuan yang terpilih di Indonesia justru adalah mereka yang memiliki koneksi keluarga – atau dikenal politik dinasti – dengan kekuatan-kekuatan politik lama.
Itu diperkuat oleh data Pusat Kajian Ilmu Politik (Puskapol) Universitas Indonesia (UI) yang menyebutkan 41 persen politisi perempuan di DPR memiliki koneksi politik dinasti.
Walaupun sebagian dari mereka memiliki kapabilitas yang mumpuni, hal ini dinilai menjadi penghambat bagi terwujudnya representasi perempuan sepenuhnya. Kegagalan representasi oleh perempuan-perempuan yang “baik” itu juga dinilai mempersulit terwujudnya representasi substantif (substantive representation).
Senada dengan analisis White dan Aspinall, Cornelia Natasya turut menguak keresahannya melalui publikasi telaah kritis dengan judul yang cukup menyentil, yakni Puan Maharani Ada dalam Penjara Representasi Tanpa Substansi.
Cornelia berangkat dari persoalan konkret yang selama ini luput dari perhatian Puan, sebagai perempuan yang mengaku mewakili kaumnya, salah satunya ketiadaan reaksi signifikan dalam merespons masifnya kekerasan seksual.
Menurutnya, selama ini isu mengenai “politik ketubuhan” selalu dijadikan pemanis di dalam dinamika Parlemen.
Sementara elite-elite politik, terutama Puan yang dibanggakan sebagai Ketua DPR perempuan pertama disebut Cornelia terus sibuk menyapu fakta-fakta kasus kekerasan dengan berbagai dalih moralitas tanpa pernah menyentuh akar persoalan.
Di titik ini, pemahaman atas penilaian objektif mengenai kualitas seorang individu, terlepas apakah dia lak-laki maupun perempuan, tentu akan mengemuka dengan sendirinya tanpa dipaksakan.
Ketika itu meninggalkan kesan dipaksakan, kiranya khalayak kini dapat dengan sendirinya melakukan pemilahan dan analisis rasional untuk melakukan peninjauan ulang, termasuk kemungkinan menentukan pilihan politik kelak di 2024. (J61)