“Mengembalikan pemilihan melalui DPRD juga sebenarnya demokratis karena sesuai dengan semangat sila keempat Pancasila,” – Bambang Soesatyo (Bamsoet), Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI)
Beberapa hari yang lalu, sempat muncul kembali wacana pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang akan dipilih melalui DPRD. Tentu, wacana ini menyebabkan kepala daerah – seperti gubernur, wali kota, dan bupati – tidak lagi dipilih langsung oleh masyarakat.
Usulan itu datang dari Ketua MPR RI Bambang Soesatyo – yang akrab disapa Bamsoet – ketika mengevaluasi sistem Pilkada. Bamsoet melihat adanya peningkatan kasus korupsi yang dilakukan oleh sejumlah kepala daerah dan ini bersifat sistemis.
Oleh karenanya, Bamsoet mengusulkan agar sistem Pilkada dilakukan di tingkat DPRD saja. Sebab, proses itu pun tetap demokratis dan sesuai dengan Pancasila sila keempat.
Anyway, usulan Bamsoet ini bukan wacana baru dalam sejarah demokrasi di Indonesia. Dan, mungkin, sejumlah pakar menyetujui wacana ini karena dianggap bentuk ideal dari penjelmaan demokrasi di Bumi Pertiwi.
Selama ini, konsep demokrasi yang awalnya lahir di Barat secara perlahan dicoba untuk diadaptasikan di berbagai negara belahan Timur, khususnya negara dunia ketiga yang melihat ada harapan menjadi bangsa yang beradab dari sistem demokrasi itu.
Dalam leksikal ilmu politik, demokrasi diterjemahkan sebagai sistem pemerintahan perwakilan yang dibangun oleh aturan-aturan mayoritas – di mana pemerintah sebagai wakil dari rakyat diminta pertanggungjawabannya dalam sebuah periodisasi tertentu.
Demokrasi sebagai proses bernegara bertumpu pada peran rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi – yang meliputi: pemerintahan dari rakyat (government of the people), oleh rakyat (by the people), dan untuk rakyat (for the people).
Pada sisi lain, demokrasi menjadi pilihan untuk disintesiskan dengan nilai-nilai Pancasila yang merupakan landasan bersama (common platform) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara masyarakat Indonesia.
Yudi Latif dalam bukunya Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila menyebutkan bahwa gagasan aktualisasi demokrasi Pancasila bersandar pada sistem yang menjunjung tinggi nilai-nilai permusyawaratan.
Secara historis, tidak bisa dipungkiri kalau Pancasila merupakan proses usaha para pendiri bangsa untuk melakukan apa yang disebut Robert D. Putnam sebagai “making democracy work”.
Pada konteks ini, demokrasi Pancasila diterjemahkan sebagai kumpulan nilai-nilai – seperti nilai perdamaian, tanpa kekerasan, kebebasan individu untuk menentukan nasibnya sendiri, saling menghormati perbedaan, dan tetap memiliki tanggung jawab mewujudkan ketertiban bersama.
Nah, kemungkinan usulan Bamsoet agar kepala daerah dipilih oleh DPRD merupakan bagian dari usaha untuk menerjemahkan nilai–nilai permusyawaratan yang tertera pada butir Pancasila.
Mungkin, ini bagian dari ikhtiar politik Bamsoet agar demokrasi kita bisa berkembang ke arah yang positif. Jangan sampai demokrasi di Indonesia malah menjadi “persoalan” bukan solusi.
Hal ini mengingatkan saya pada serial The Orville yang merupakan serial televisi di Amerika Serikat (AS) yang ber–genre science-fiction (Sci-Fi) – yang mana mengandung unsur petualangan, komedi, dan drama. Pertama kali menonton serial ini, saya pikir film ini hanya berusaha memarodikan serial Star Trek. Namun, ternyata salah.
Alkisah, dalam salah satu misinya, tanpa sengaja awak kapal The Orville menemukan sebuah planet yang isinya dipenuhi dengan manusia yang menggunakan sistem demokrasi yang ekstrem. Kenapa disebut ekstrem? Alasannya adalah karena demokrasi diukur berdasarkan rasa suka dan tidak suka masyarakatnya terhadap seseorang.
Nah, demokrasi yang tidak dijaga dengan nilai-nilai luhur yang juga menjadi platform bangsa ini akan membuat demokrasi di Indonesia akan kehilangan arah. Sebagai seorang ketua MPR, mungkin inilah alasan kenapa perlu memperjuangkan model demokrasi yang bersandar pada nilai-nilai Pancasila. Oke juga. Hehehe. (I76)